2 Jul 2010

Catatan Seorang Pendaki



Sedikit berbagi cerita tentang pengalaman pendakianku dulu sekaligus mencoba untuk membangkitkan hangatnya kenangan bersama kawan-kawan di alam pegunungan.

Gunung Lawu (April 2007)
Usiaku baru akan 16 tahun ketika aku memulai sejarah pendakianku. Saat itu aku masih duduk di kelas satu SMA. Masih ku ingat waktu itu betapa sulitnya aku meyakinkan ayah dan kakakku untuk mengikuti acara pendakian masal yang diadakan oleh kelompok pecinta alam yang ada di SMA N 3 Surakarta. Aku sendiri sebenarnya bukanlah seorang anggota pecinta alam dari organisasi tertentu sejak dulu sampai sekarang. Toh, keluarga akhirnya memberikan restu dengan alasan yang ku berikan bahwa ada beberapa guru juga yang ikut serta, meskipun pada akhirnya para guru tersebut kebanyakan hanya bisa mengantarkan samapi di POS II.
                Berbekal hasrat tinggi karena mendengar cerita beberapa kawan yang pernah ke sana, sore itu aku berangkat via truck bersama rombongan yang dibawa dari Warungmiri ke Cemoro Kandang. Tak banyak bekal yang ku bawa karena memang katanya pihak panitia telah siap untuk menyediakan segala peralatan dan perlengkapan. Cuaca hari itu memang agak tak bersahabat, hujan sempat turun sore harinya.
Momentum yang ku ingat selama pendakian pertamaku ini adalah ketakutanku ketika menyusuri rimba hutan di waktu malam, bahkan sampai tak berani aku memandang di sekelilingku, yang ku tahu mataku terus melihat ke depan, ke jalan setapak yang ada di hadapan. Aku sudah agak lupa tentang orang-orang yang tergabung dalam kelompokku, hanya Sari mungkin yang masih ku ingat, waktu itu kelompok kami menjadi yang terakhir saat tiba di Hargodumilah. Sunrise pun tak terkejar karena kami baru sampai setelah pukul 8.30. Diperjalanan kami sempat break terlalu lama di Pos III sebelum akhirnya aku dan bersama beberapa anak kelas X7 memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dari Pos III, ini pun akhirnya harus terpisah di tengah jalan.
Kumpul di depan UNS

Kapok juga sebenarnya aku mendaki gunung. Betapa mahalnya sebuah keindahan harus dibayar, oleh rasa letih. Masalahnya dalam mendaki gunung bukanlah hanya bicara tentang fisik, mental juga berpengaruh. Namun, dari sini pula ada perasaan tuman atau semacam penyakit yang disebut “gila alam” mulai menjangkit diriku.


Gunung Merbabu (Oktober 2007)
Ini pendakian paling melelahkan yang pernah ku alami. Selama tak kurang dari 3 hari setelah pendakian, aku tak mapu beranjak dari tempat tidur. Kakikku lempoh.
Pendakian ini bermula dari rencana beberapa anak rohis: Hendro, Salim, Priyatno dkk. yang mengajak untuk mendaki ke Merbabu setelah lebaran tahun itu. Berdelapan kami akhirnya berangkat ke Kopeng, Salatiga. Aku, Ahimsa, Hendro, Salim, Alwan, Priyatno, Faisal dan Harun (teman kampoengku yang sengaja memang ku ajak karena aku tak punya boncengan).
Saat awal berangkat, motornya Ahim sempat bocor di Mangkunegaran. Perjalanan selama dua jam lebih akhirnya mengatarkan kami ke rumah saudaranya Hendro yang tak jauh dari kaki Gunung Merbabu. Kami terlebih dahulu mampir ke base camp untuk mengurus perizinan dan meminta peta.  Selepas Ashar kami mulai mendaki, melewati perkebunan penduduk, dan mulai ke atas melewati hutan perbukitan. Sialnya, kali ini aku menjadi racun dalam kelompokku. Kondisiku tak begitu bugar, bahkan Ahim sering melontarkan cemooh untukku yang dikit-dikit minta break. Perjalanan kami sedikit dimanjakkan pemandangan yang begitu indah. Di sini ada beberapa tempat yang agak keramat. Berjalan terus melewati setapak yang tak  satu pun dari kami yang pernah ke sini akhirnya membuat kami beberapa kali tersesat, karena memang bukit yang ada di punggung gunung ini cukup banyak, bahkan gunung ini punya julukan seven summits. Salah satu hal yang kami alami ketika tengah malam adalah kekeliruan dalam memilih jalan yang justru membawa kami ke tempat pemakaman. Perlu di ketahui bahwa di sini tak ada air kecuali di Pos I. Pukul 02.00 dinihari kami memutuskan untuk mengecamp di rondo rante, kebetulan walaupun tempatnya agak terjal, pemandangan di sini cukup eksotik karena dapat melihat sunrise di ufuk timur dan juga Gunung Sindoro dan Sumbing di sebelah baratnya. Pagi harinya sekitar pukul 06.00 kami baru menuju puncak dengan turun bukit terlebih dahulu. Di puncak kelihatan Gunung Merapi yang angkuh berdiri di pelupuk mata. Kami berfoto-foto dan memasak makanan di sini.
Puncak Merbabu

Selepas turun dari puncak, kami sempat kehabisan air karena lost kontak dengan Alwan yang berada jauh di depan. Namun inilah petualanganku, aku menyusur ke dalam ruang ketidakpastian dan penuh dengan tantangan. Ku sadari sepenuhnya ketakutan itu hanya ada di pikiranku. Setibanya di kaki gunung, kami langsung kembali ke rumah saudaranya Hendro, melepaskan lelah dengan segala hidangan yang ada. My Life, my adventure.


Gunung Lawu (Januari 2008)
Bisikan Iblis mulut siluman babi akhirnya mengoyakkan pendirianku. Januari memang selalu menjadi musim tak bersahabat bagi siapa saja, terkecuali mereka yang suka hujan. Pendakian ini menjadi sebuah keputusan paling konyol yang pernah dilakukan oleh pendaki amatir seperti diriku. Bermula dari ajakan seorang teman kelas bernama Riris (nama aslinya siluman babi), proyek ini akhirnya ku “iya”kan meski agak sedikit terpaksa. Riris sendiri sebelumnya tak punya pengalaman dalam hal berbau survival semacam gini. Tak tanggung-tanggung, dia mengajak segerombolan pasukannya macam Panji, Istanto, Fery dkk. yang juga tak punya pengalaman. Aku sendiri akhirnya mengajak Rudy, Udin, dan Cendy. Terpaksalah aku menjadi leader karena memang hanya aku yang pernah ke sini sebelumnya.
Di perjalanan, Cendy, Udin, Rudy

Keberangkatan kami menuju ke Cemoro Kandang sudah disambut dengan badai, di perjalanan kami sempat break menanti hujan di Masjid Pasar Tawangmangu. Setelah melewati petugas perizinan di basecamp, kami mulai merangsek naik ke Gunung yang memiliki tinggi 3265 M ini. Kami akhirnya tiba di POS III setelah menempuh perjalanan 5 jam dari basecamp tadi. Di sini kami break dahulu, akan tetapi akhirnya aku memutuskan untuk mengecamp di sini karena memang cuaca sudah mulai senja dan aku lebih akan merasa nikmat kalau mulai mendaki pada keesokan harinya. Atas keputusanku tersebut, timbulah clash antara golongan dewa dengan siluman. Kelompok siluman yang diketuai Riris memilih untuk berlanjut. Aku, Cendy, Rudy, Fery dan Udin memilih untuk beristirahat di sini sambil menghangatkan badan. Tenda dan perlengkapan kami (kelompok dewa) bawa karena memang sejak awal kelompok siluman hanya bermodal “awak sehat” saja. Cuaca bertambah semakin buruk malam harinya. Badai datang menerjang. Kami yang berada di tenda tak habis pikir tentang yang dialami kelompok siluman di atas sana karena kami sendiri menggigil hebat walau sudah menyalakan tungku paraffin.
Meskipun cuaca buruk, pendaki spiritual masih ada yang berkeliaran di sini mengingat bulan Januari kala itu bertepatan dengan bulan Suro, terlihat beberapa dari mereka membawa domba sebagai persembahan. Napak tilas persembahan ini terlihat di POS IV keesokan harinya ketika kami memutuskan untuk menuju puncak menyusul kelompok siluman.
Puncak Hargodumilah

Sesampainya di puncak, kami hanya berfoto-foto sebentar sebelum akhirnya memutuskan untuk turun. Untuk kedua kalinya mendaki gunung ini, aku belum pernah mendapat sunrise. Akan tetapi, ini adalah pendakian paling bersejarah karena merupakan cikal bakal berdirinya sebuah organisasi bernama TPS (Tim Pengejar Sunrise).
Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar