23 Nov 2010

Cerita di Balik Kabut


menyusur kembali jejak masa lalu. batin terhanyut oleh keramahanmu. dalam balut sejuk dan indahmu. masih membayang di benakku. kau tawarkan coklat dengan lugu. dan kemanisan senyummu berpadu. mengalun bersama angin gunung yang turun. menyejukkan irama saat itu. 
aku tak berbicara tentang cinta,,karena itu hanya berbuah luka
terlepas dari itu, ku harap kau masih menyimpan. asa dalam jalan setapak, kebisuan riak lakuku. gemercik bening sungai yang mengacakan letih kita.
aku tak berbicara tentang cinta, karena kita belum saling kenal. dibalik bukit itu, semua terukir. lekat terbayang dalam ingatan. meski tak kan pernah terulang. 

sekali lagi aku tak berbicara tentang cinta, bukankah kau sudah bosan membicarakannya?

Agustus, 09

17 Nov 2010

kegalauan


Beberapa hari yang lalu, Cendy (temanku yang sekarang kuliah di FH UI) bercerita kepadaku soal asmara yang kini melandanya. Dia mengakui jika gadis yang satu ini memang berbeda dari teman-teman wanitanya selama ini. Bila boleh ku katakan, mungkin dia sedang jatuh hati pada gadis tersebut. Gadis itu adalah mahasiswa FIB. Hal itu yang membuatku berfikir, bagaimana bisa Cendy yang selama ini ku kenal sebagai orang yang apatis tiba-tiba malam kemarin bercerita tentang hal itu.

Masalahnya mungkin bukan hal itu saja. Dia dihadapkan pada sebuah konsekuensi dari pandangan logisnya untuk tidak pacaran. Menurutnya, pacaran merupakan hal yang tidak rasional. Meski begitu , ia tetap mengakui jika yang ia alami sekarang membawanya pada sebuah posisi yang  sulit. Terang saja ia lantas berharap semua bakal menjadi angin, yang datang lalu pergi.

Memikirkan hal itu, aku serasa menj
adi melankolis dan membayangkan sesosok gadis yang selama ini turut menyumbangkan rasa pada hatiku. Secara terus terang ingin ku katakan bahwa gadis tadi sudah merupakan racun bagi diriku yang mengendap dalam tubuh selama hampir tiga tahun belakangan ini. Parahnya aku bukanlah orang yang mudah menanggalkan perasan-perasaan lama. Sudah lama ku akui jika aku tertarik pada paras manisnya, dan itu seolah menjadi getir yang ku kecap sendiri ketika sepi melanda dan membuatku bertanya-tanya pada Tuhan.

Sering aku berharap semua itu menj
adi angin lalu saja, sama seperti kisah-kisah yang telah terlalui sebelumnya. Namun, aku mungkin sama dengan Cendy, terasa disudutkan oleh sebuah kenyataan. Bedanya aku bertahan dalam lingkaran ini lebih lama. Lebih tepatnya aku galau pada hatiku mengenai hal ini apabila harus dihadapkan pada kenyatan-kenyataan yang ada saat ini. Aku sadar, mengutuki takdir tak akan membuat semua masalah menjadi selesai. Di lain sisi, perasaan ini tak ubahnya seperti sekam. Menyala di tengah keterpadaaman.

Bagiku, dia adalah sebuah cinta yang berlalu tanpa pesan. Apalagi kalau bukan segunung perbedaan yang membentang antara aku dengan dia. Tak ada kata yang terlintas untuk mengungkapkan, atau memang tak ada kesempatan. Entahlah. Semua berlalu seperti angin, tapi sialnya angin itu berputar di sekitarku. Kalaupun berhembus ke tempat lain, bayangannya tak terbawa. Perasaan seperti ini yang terkadang membuatku ingin berpaling dari kenyataan yang terasa semakin menyudutkanku.

Hanya rindu yang kini kerap menyandang ketika malam datang. Perjumpaan seolah menjadi sesuatu yang muskil untuk saat ini. Dan rasa itu kini terakumulasi di dalam mimpi. Memang hanya di dalam mimpi, terkadang semua terasa indah.

Apalagi memang yang harus ku perjuangkan di atas perasaan yang bernama cinta. Kecuali aku memang hanya bisa menyerahkannya pada takdir. Sementara waktu berjalan dan membuatku menjadi semakin tahu pasti. Ia tak kan mungkin bisa ku miliki.


13 Nov 2010

Pendaki Gunung Gede



Beberapa waktu lalu, selepas dari Merbabu, aku sempat berkeinginan untuk pensiun dari kegiatan mendaki Gunung. Alasanku untuk tak lagi mendaki adalah peristiwa yang aku alami di merbabu kemarin. Namun, beberapa bulan setelah itu, rasa-rasanya aku harus menelan kembali kata-kataku.
Kegiatan awal perkuliahanku semester ini praktis tak ada kesibukan. Setiap akhir pekan aku jadi mahasiswa pengangguran. Parahnya lagi, ini terjadi selama tiga hari berturut-turut dari Sabtu-Senin. Sewaktu ada acara pendakian umum yang diadakan oleh STAPALA awal bulan lalu, aku akhirnya memutuskan untuk ikut. Hal yang membuatku tertarik untuk ikut dalam msii ini adalah karena gunung yang akan kami daki adalah G. Gede, sebuah gunung yang beberapa tahun lalu sempat terfikir olehku untuk ku daki. Aku sendiri belum sekalipun pernah mendaki gunung ini. Tanggal 5-7 November kemarin aku berangkat ke sana.
Hari Pertama
Malam sabtu pukul 9 malam, kami serombongan dengan menggunakan dua truck TNI berangkat dari kampus. Jalur pendakian yang kami ambil adalah melalui G. Putri. Selama lebih dari 3 jam kami dikopyok di dalam truck karena jalan yang bergeronjal sewaktu mendekati tujuan. Maklum, di dalam satu truck berisi lebih dari 45 peserta! Lepas tengah malam, kami akhirnya sampai di tempat tujuan untuk selanjutnya mendirikan tenda dan mulai mendaki keesokan harinya.

Hari Kedua
Pukul 8 pagi, kami bersebelas akhirnya bertolak dari G. Putri untuk selanjutnya mendaki ke puncak. Tergabung dalam kelompok 2 yang mayoritas beranggotakan pendaki berpengalaman, kami langsung melesat menyusul kelompok 1.
Kelompok 2

Medan di awal pendakian menuju puncak G. Gede melalui jalur G. Putri awalnya melalui ladang penduduk. Selepas berjalan selama satu jam, kami memasuki pintu gerbang Taman Nasional Gede Pangrango. Awalnya Kombinasi jalannya adalah berbatu dan bertanah tetapi tak begitu berat. Setelah tiga jam berjalan, kami dihadapkan pada track yang begitu menanjak dan menguras banyak tenaga. Di sini kami sering break, apalagi kabutnya begitu tebal karena hujan turun. Di perjalanan kami juga sempat bertemu dengan banyak pendaki lain. Tak lupa kami juga mengabadikan beberapa sepenggal dari perjalanan kami dalam foto.
Di perjalanan, Sancong menjadi guide kami


Lelah selama berjalan tak kurang dari lima jam, akhirnya semua terbayar setelah sampai di Surya Kencana, sebuah padang edelweiss seluas lebih dari  50 hektar. Di sini kami foto-foto sebentar kemudian mendirikan tenda. Di tepi tenda kami ada sebuah sungai kecil yang bersih dan arusnya kuat. Kami sering mengambil air dari sungai ini untuk berbagai keperluan. Sayangnya, cuaca di sini sering tak tentu dan cenderung tak bersahabat karena hujan acap kali sering turun.
Hujan di jalan setapak Surya Kencana

Malamnya kami memasak segala apa yang kami bawa, sarden, kornet, mie, nasi, susujahe dll. Memang makanan apa saja terasa nikmat bila dimakan di Gunung. Persahabatan memang acap terjalin di dalam hangatnya tenda, begitulah suasana kami malam itu dengan diselingi canda tawa dan berbagai cerita dari masing-masing dari kami.
Menjalin persahabatan dalam hangatnya tenda

Hari ketiga
Pagi buta pukul 3, kelompok kami berencana untuk memuncak dan mendapatkan sunrise tetapi tak diperbolehkan oleh panitia karena kelompok lain masih terlelap dan panitia menginginan untuk berangkat bersama-sama saja. Kami kecewa, karena tak dapat sunrise dan akhirnya terpaksa mencari spot di sekitar Surya Kencana untuk beraL4y ria. Selepas berfoto-foto, kami kembali ke tenda dan sarapan pagi bersama.  Pukul 9 pagi kami bertolak ke puncak. Dari Surya Kencana, puncak dapat ditempuh selama kurang dari satu jam dengan medan yang sedikit agak nge-track.
Di puncak Gede
Sesampainya di puncak kami kembali berfoto-foto dengan berbagai gaya. Sayangnya kabut menutupi pemandangan di sekitar. Beberapa waktu kemudian gerimis turun dan membuat kami terpaksa untuk turun. Dua jam di puncak cukup membuatku kembali merasakan nafas alam. Di situ ada angin yang begitu sejuk terasa, pemandangan awan luas terbentang dipadu dengan kawah dari G. Gede yang masih aktif.
Kawah Gede yang masih aktif dan mengeluarkan asap belerang


Di perjalanan turun, kami sempat digoda oleh hujan yang sesekali turun lalu berhenti lalu turun lagi. Kami sempat terpisah satu sama lain. Walaupun begitu, akhirnya kami bertemu lagi di Kandang badak. Di perjalanan turun inilah ada sesuatu yang membuatku berdecak kagum dan membuat rasa lelahku dalam berjalan seolah terentaskan. Pertama adalah saat menyeberangi sungai yang airnya panas karena mengandung belerang. Kedua, kami sering menemui sungai lainnya yang membentuk air terjun. Ketiga, kami berhenti di air terjun Cibereum, untuk break dan berfoto-foto serta tak lupa melakukan ibadah. Di sini terdapat tiga air terjun dengan ketinggian lebih dari 50 meter dan masih terlihat bersih. Ada juga ganggang/semacam lumut merah yang endemic di sini. Dan kekaguman terakhir kami adalah melihat telaga biru (berwarna biru karena dipenuhi oleh ganggang biru) yang berada di dekat gerbang pendakian Cibodas. Total waktu turun adalah 6 jam.
Air terjun Cibeureum


Selepas Maghrib kami memutuskan untuk mencari makan di area perkampungan warga di sekitar basecamp dan berburu pernak-pernik mengenai TNGP (Taman Nasional Gede Pangrango).
Pukul 9 malam, kami meninggalkan Cibodas dan tiba di kampus kembali waktu tengah malam. It’s unforgettable memories!!!


Yang ikut dalam misi ini: Aziz, Yores, Apim, Gawon, Ali, Yoga, Sancong, Abu dkk.
November, 2010