11 Okt 2011

Diskusi Jodoh


Hari Minggu kemarin, (9/10), Cendy datang ke kosku. Ia, sengaja ku suruh datang ke kosku karena kebetulan Riris juga ada di sini, sekedar reunian kecil-kecilan dan tentu saja melakukan obrolan ringan mengenai perempuan. Riris sendiri datang ke sini karena dia baru saja menyelesaikan prajab sebelum balik kembali ke Batam.
Sambil menikmati makanan ringan dan tentunya partner setia kami selama menghadapi perjuangan selama ini yang bernama “rokok”, kami berhasil mencetuskan idea tau teori  baru terkait masalah perjodohan. Beberapa teori berhasil kami floorkan siang itu. Teori ini bukan plagiat dari siapapun, melaiknkan murni dari kami sendiri.


A. Teori Bus
Jodoh ibarat kita menunggu bus. Kita (laki-laki) adalah seorang pelamar pekerja yang sedang menunggu bus di halte untuk pergi ke kantor guna test wawancara sebagai tahap akhir bagi calon pekerja kantor tersebut. Di dalam sayarat peraturan kantor bagi calon pelamar mengindikasikan jika kita tak boleh datang terlambat. Wawancara bagi pelamar kerja dimulai pukul 07.30 pagi. Sedangkan kita sudah berada di halte pukul 07.00 pagi. Perjalanan ke kantor menggunakan bus bisa ditempuh selama 10 menit. Namun, sekali lagi kita tak boleh datang terlambat karena bisa berujung pada tidak diterimanya kita di kantor tersebut. Jalan kaki bukan merupakan langkah realistis karena tak bisa kita lakukan.
                Setelah menunggu 5 menit, bus yang kita tunggu datang. Bus yang datang kali ini masih baru dan kelihatan bagus. Akan tetapi, bus ini sudah penuh dengan orang-orang yang mau pergi berangkat bekerja. Bus itu bisa saja dinaiki tetapi resikonya kita harus berdiri. Karena waktu masih banyak tersisa, kita menghendaki untuk menunggu bus lain saja.
                Pukul 07.10, lewatlah sebuah bus yang sepi tanpa penumpang. Namun, bus tersebut jelek dan kotor serta tak layak pakai, ibaratnya seperti metromini yang sekarang banyak beroperasi di Jakarta. Dengan kondisi bus seperti itu, kita menjadi urung untuk naik dan memutuskan untuk menunggu bus lain saja dengan harapan mendapatkan bus yang baru atau setidaknya bagus dan bersih serta tentunya sepi dari penumpang sehingga kita bisa duduk dengan nyaman.
                Hampir menunggu selama 10 menit, ternyata tak ada bus yang seperti kita harapkan tadi lewat. Lalu tiba-tiba ada bus yang lewat. Mengingat waku kurang 10 menit. Kita mau tak mau harus menumpang bus tadi daripada harus tak dapat kerja. Dan jadilah kita menaiki bus tadi. Kita pun akhirnya bisa datang tepat waktu ke kantor. Selang beberapa hari kemudian kita menerima pengumuman bahwa kita diterima sebagai pekerja baru di kator tersebut.
                Kesimpulan yang dapat diambil dari kisah tadi adalah ketika tiba kita pada waktunya untuk memutuskan sesuatu karena “kepepet”, mau tak mau kita harus berani mengambil keputusan tersebut. Ibaratnya ketika kita sudah matang usia untuk kawin, mau tak mau kita ahrus kawin. Perempuan yang kita kawini terkadang tak sesuai dengan yang kita harapkan seperti yang bus kita tunggu tadi. Namun, sekali lagi kita harus kawin karena hal itu merupakan kebutuhan dan sunah rasul.
Riris, Preman Cukai Batam





B. Teori Badminton
Kita (lelaki) adalah seorang yang tak bisa bermain badminton sama sekali. Dan dalam beberapa hari  ke depan ada kejuaraan yang menuntut kita untuk berpartisipasi. Karena sama sekali tak bisa bermain, maka kita berlatih.
Latihan pertama adalah bagaimana caranya agar kita bisa service shuttlecock. Setelah latihan pertama berhasil, latihan selanjutnya adalah melop bola ke bidang lawan. Kedua bentuk latihan tersebut bisa dibilang menjadi aspek dasar pertama dalam bermain badminton. Akan tetapi, untuk bisa menang, kita tentunya juga harus bisa melakukan smash ke arah bidang lawan dengan pukulan keras dan tajam. Untuk itu, kita berlatih bagaimana caranya melakukan smash dan memukul bola secara sempurna. Kemampuan kita akan menjadi sempurna apabila kita juga bisa bertahan dengan baik menghadapi gempuran lawan. Sebagai penutupnya guna mempersiapkan diri ke kejuaraan, kita berlatih tanding dengan pebulutangkis lain.
Cendy Adam
Cerita yang ditelorkan Cendy di atas bermakna lebih tentang bagaimana kita sebagai seorang pria jomblo bisa mendapatkan perempuan. Hal yang pertama kita lakukan  adalah melakukan pendekatan sedikit demi sedikit sampai akhirnya kita bisa mendapatkan perempuan tersebut. Bisa dibilang, untuk mendapatkan perempuan ibaratnya hal yang kita lakukan adalah menganalogikan hal tersebut dengan sebutan “iseng-iseng berhadiah”. Hal pertama kali yang kita lakukan dalam mendekati perempuan adalah dengan perbuatan iseng-iseng dan secara tak langsung  bertujuan untuk menarik hati sang perempuan. Tanpa berharap lebih jauh untuk bisa mendapatkan sang perempuan ini, kita semestinya juga sudah siap kalau diacuhkan sang perempuan. Namanya juga iseng-iseng. Seperti halnya kita memancing, kadang dapat kadang tidak. Namun, terkadang kita memang harus merayakan kegetiran akibat penolakan perempuan.




9 Okt 2011

Pendakian Gunung Slamet



Prologue
Lagu Leaving on Jet Plane milik John Denver terdengar lirih dari balik ponselku yang sedikit memecah kesenyapan malam itu. Sementara kami masih berada dalam mobil angkutan yang melaju menembus kabut tebal sepanjang perjalanan Serayu ke Bambangan. Kabut tebal ini membuat saya kagum sekaligus sedikit khawatir. Belum pernah saya melihat kabut setebal ini, bahkan apa yang ada pada jarak 1 meter di depan sama sekali tak terlihat. Semuanya serba putih oleh titik air yang terdispersi oleh cahaya. Saya juga sedikit menyimpan rasa heran pada sopir mobil angkutan ini yang tetap mampu menggunakan instingnya melewati jalan pegunungan yang berkelok-kelok. Hampir 12 jam kami menempuh perjalanan dari Solo. Dan ini adalah transportasi terakhir yang kami naiki untuk sampai ke Bambangan, desa terakhir di kaki Gunung Slamet.
                Semua bermula dari sedikit niatan iseng saya yang menjadi pengangguran selama musim liburan kali ini untuk mengajak beberapa teman mendaki ke Slamet. Dari belasan orang yang saya ajak, akhirnya hanya lima orang  yang ikut dalam misi petualangan menaklukkan gunung tertinggi kedua di ranah jawa ini: Rudy, Bernard, David dan Yoga, termasuk saya.
                Senin pagi (5/11), kami berkumpul di Terminal Tirtonadi. Rencana awal kami ingin menaiki bus yang  langsung menuju Purwokerto. Namun, bis yang sedianya kami harapkan ternyata sudah berangkat. Alhasil, kami terlebih dahulu harus ke Terminal Giwangan, Jogjakarta, untuk mencari bus jurusan Purwokerto.

Kumpul di Terminal Tirtonadi, Solo

                Setibanya di Terminal Purwokerto, kami berjumpa dengan tiga pendaki dari Tasikmalaya yang baru saja turun. Dari mereka, saya sedikit mengorek informasi tentang kondisi dan situasi paling “gress” Gunung Slamet. Keharusan memakai ranger (porter) dan kondisi medan menjadi topic percakapan kami sembari beristirahat untuk shalat maghrib. Sebagai kenangan, mereka memberikan 2 dirigen air untuk kami.
                Di terminal ini, kami meneruskan perjalanan menuju Bobotsari dengan microbus dan  turun di pertigaan Serayu. Setibanya di Serayu, kami langsung disambut oleh sopir angkot yang menawarkan jasa untuk mengantarkan kami ke Bambangan. Sebagai kawasan kota terakhir, di sini kami melengkapi perbekalan dan menikmati makan malam dengan dua porsi sate kambing untuk lima orang.
                Kondisi malam di Bambangan sebenarnya tak terlalu dingin tapi kabut amat tebal. Kami yang berencana untuk mendaki pagi hari terlebih dahulu memutuskan untuk mendirikan tenda di Pondok Pemuda dan bermalam di sini. Hal ini kami lakukan karena basecamp sudah tutup karena hari sudah larut malam.
                Selasa (6/11) Pagi hari ketika akan shalat subuh di masjid yang notabene berada di bawah Pondok Pemuda, saya dan Bernard berpapasan dengan tiga pendaki dari Surabaya yang baru saja tiba di Bambangan. Merekalah yang akhirnya menemani petualangan kami.
                Setelah repacking, sarapan, dan membereskan administrasi, kami berdelapan mulai mendaki ditemani oleh seorang porter, Pak Kamen (Nama Samaran).

Merapi dari Pos Bambangan

Problematique
                Beberapa Elang Jawa terlihat terbang, mengalihkan kekaguman kami ketika melintasi ladang perhutani yang sangat terik, kering, dan berdebu. Ya… setelah lebih dari satu jam melewati perkebunan warga sejak pukul 09.00 pagi tadi, kami mengambil break sejenak sambil bercerita tentang pengalaman mendaki kami dengan tiga orang Surabaya tadi.
                Sinar matahari memancar langsung tanpa halangan membakar kulit kami. Vegetasi pepohonan di perhutani tak begitu rapat. Bahkan, akhir-akhir ini kebakaran sering terjadi akibat kondisi yang kering dan berdebu. Sementara itu hujan sudah tak turun selama berbulan-bulan. Di depan, Pos I sudah mulai terlihat tetapi masih menyisakan satu jam lagi untuk bisa sampai di sana. Ini diperparah dengan medan yang terus menanjak sejak keluar dari area perkebunan warga tadi.
                Setelah menapaki jalan selama hampir 2 jam, kami tiba di Pos I. Di sini, kami mengambil break agak lama sambil makan jeruk dan menjemur pakaian kami yang basah oleh keringat. Shelter yang ada di pos ini cukup besar  dan cocok untuk digunakan dalam beristirahat di siang hari. Pemandangan Kota Purbalingga mulai bisa terlihat dari sini. Dari Pos I, kami berpisah dengan tiga pendaki dari Surabaya tadi.
                Pada awal perjalanan menuju Pos II, Pondok Lawang, Yoga mengalami keram. Maklum ini pendakian pertamanya. Syukur Alhamdulillah yah, dia masih bisa melanjutkan perjalanan. Selepas dari Pos I, vegetasi pepohonan mulai agak rapat karena sudah memasuki area hutan gunung. Meskipun demikian, medan pendakian tetap terasa berat karena tracknya terus menanjak. Ketidaktersediaan air membuat kami mau tak mau harus menghemat air. Alhasil, sepanjang perjalanan kami hanya melepaskan dahaga dengan makan jeruk. Lebih dari 1 jam berjalan, kami tiba juga di Pos II.
                Perjalanan yang masih panjang membuat kami harus beranjak segera dari Pondok Walang. Kondisi medan menuju pos III lebih panjang. Saya, David, dan Rudy leading di depan terpisah jauh dengan Yoga dan Bernard yang ada di belakang karena cedera. Bahkan, Kami sempat menunggu cukup lama di Pos III, Pondok Cemara. Di sini juga lah kami berdelapan akhirnya bersama lagi.
                Perjalanan berlanjut ke Pos IV, Pondok Samaranthu. Sama seperti kondisi medan sebelumnya, tak ada diskon yang menyapa kami. Kali ini perjalanan terasa lebih cepat karena tak ada 1 jam selepas dari Pondok Cemara tadi. Stok nutrisari yang setia menemani pelepas dahaga kami habis di pos ini. Keinginan untuk sampai di Pos VII sebelum petang membuat kami bergegas kembali, mengingat waktu sudah menunjukkan hampir ashar.
                Di Pos V, Samyang Rangkah, terdapat sebuah shelter, Kami break cukup lama di sini karena harus sholat. Pendaki dari Surabaya dan Pak Kamen memutuskan untuk meninggalkan kami. Pemandangan Kota Purwokerto dan Purbalingga semakin terlihat jelas dari sini. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami akhirnya sepakat memutuskan untuk mengecamp di Pos VII dan melanjutkan ke puncak keesokkan harinya. Tak ingin terlena, kami segera mengejar waktu untuk bisa sampai di Pos VII sebelum petang.
                Pos VI berada setengah jam dari pos V. Namun, kami tak berhenti dan terus melanjutkan perjalanan. Saya dan David leading di depan. Keletihan David mulai menampakkan hasil. Sepanjang perjalanan menuju Pos VII, dia sering meminta break. Saya sendiri yang tak ingin kehilangan waktu terus memaksa dan menyemangatinya untuk bergegas karena sudah hampir jam 06.00 sore. Dia meminta untuk berganti ransel. Saya menyerahkan carier saya yang lebih berat ditukar dengan daypack yang ia bawa. Tak lama setelah itu, kami tiba juga di Pos VII.
                Pemandangan di sekitar pos VII tak jauh beda dari yang ada di pos V tadi. Bedanya, kali ini tempatnya lebih tinggi. Di sini juga terdapat shelter untuk bermalam. Setelah ini masih ada Pos Pelawangan, sebelum tiba di puncak. Pos ini bernama Samyang Kendhit. Ada sebuah kesia-siaan yang dilakukan Rudy di sini. Dome yang ia bawa serasa tak berguna karena memang kami tak memerlukannya. Shelter di sini cukup tertutup untuk bisa menahan angin karena dilengkapi dengan pintu. Kami tidur di atas dipan kayu yang muat untuk 6 orang. Sedangkan Kawan kami yang berasal dari Surabaya tidur di bawah dipan kami dengan mendirikan tenda, termasuk Pak Kamen yang berada di dalamnya.
                Setelah membersihkan dan merapikan tempat untuk beristirahat, mulailah kami memasak. Sedikit hal yang kami sesali di sini adalah kecerobohan dan keborosan kami dalam menggunakan air untuk membuat mie dan minuman hangat, entah itu kopi, susu, ataupun teh. Penggunaan air untuk hal-hal tersebut baru menjadi kendala ketika pagi buta kami tersadar bahwa air yang kami miliki tinggal dua botol untuk summit attack dan perjalanan turun. Hal ini karena kami memakainya untuk menanak nasi. Belum lagi saya juga sempat membuat bandrek untuk menghangatkan badan serta antisipasi masuk angin karena malamnya saya tak bisa tidur dan berkali-kali hampir muntah.
                Rabu (7/11) Pagi pukul 04.00 kami melanjutkan perjalanan menuju puncak. Kali ini Yoga tak bisa melanjutkan perjalanan. Pendaki dari Surabaya sudah berangkat mendahului kami . Yoga ditemani Pak Kamen di Pos VII.
Pos VII, Samyang Kendhit. Bernard dan Pak kamen

                Hampir 1 jam  kami berjalan, tibalah kami di Pelawangan. Dari Pos VII tadi, kami memang hanya membawa daypack yang berisi makanan kecil dan minuman karena selepas Pelawangan jalan akan sangat menanjak. Seperti halnya dengan gunung vulkanik lain yang masih aktif, kondisi medan dipenuhi oleh pasir dan kerikil yang sangat licin dan berbahaya. Di sini sunrise terlihat, kami memanfaatkan momentum ini untuk mengambil gambar.
Setelah lebih dari 1 jam bergulat dengan medan yang penuh batu, pasir dan kerikil, tibalah kami di puncak Slamet, 3432m.

Foto sesaat tiba di puncak G. Slamet, 3432 mdpl

                Matahari bersinar terang di puncak. Angin di sini bertiup cukup kencang dan dingin. Awan yang mengelilingi kami seolah-olah berbentuk seperti kapas. Gunung Sindoro, Sumbing, dan Ciremai gagah berdiri di hadapan kami. Di bawah kami, letupan asap dari kawah menggoda kami untuk mengunjunginya. Saya, David dan Rudy memutuskan untuk berkunjung ke kawah setelah turun melewati bebatuan terjal dan lautan pasir. Sementara itu Bernard memutuskan untuk kembali ke Pos VII.
                Tak lama kami di kawah karena Pak Kamen yang menyusul ke puncak telah menunggu. Selepas naik dari kawah, kami memutuskan untuk kembali ke Pos VII. Sebelum turun, tak lupa kami mengabadikan kenangan di puncak ini untuk yang terakhir kali.
                Sekembalinya di Pos VII, kami memasak nasi goreng dengan nasi yang telah dibuat tadi dan bumbu racik yang telah saya siapkan. Tak lama setelah sarapan, kami packing dan memutuskan untuk turun karena air yang tersisa tinggal setengah botol dan itu untuk bekal berlima. Pak Kamen dan pendaki Surabaya telah turun mendahului kami. Rasa-rasanya tak mungkin berharap untuk mengemis air dari mereka.

           Rudy, David berada yang terdepan untuk turun, saya menguntit di belakangnya, disusul oleh Yoga dan Bernard. Sengaja kami memang mengambil gap untuk menghindari debu.

Foto bersama sebelum turun

                Perjalanan turun terasa lebih cepat karena kami berlari. Dalam perjalanan turun ke  Pos IV, Rudy mulai kewalahan karena beban berat (dome) yang dibawanya. Saya dan David memutuskan untuk meninggalkan Rudy dengan konsekuensi tak membawa air. Kami berdua turun dengan gesit bagaikan ular hingga akhirnya tiba di Pos I. Di sini saya bertemu dengan Pak Kamen dan pendaki dari Surabaya tadi. Tak tahan akibat haus, kami berdua memutuskan untuk turun lebih dulu. Kami akhirnya sampai di base camp pukul 02.00 setelah menempuh perjalanan 3 jam lebih dari pos VII tadi. Di sini kami langsung membeli air untuk melepas dahaga yang mencekik, tak lupa pula minum kuku bima biar Roso…!

Epilogue
                Setelah ditunggu hampir 1 jam, tiga teman kami belum juga turun. Sembari membersihkan tubuh yang penuh dengan debu, saya putuskan memasak sarden dan air untuk mengisi perut dan menghabiskan bekal yang masih tersisa. Sesaat kemudian, Yoga dan Bernard datang. Kami benar-benar dirundung gelisah ketika waktu menunjukkan pukul 04.00.  Rudy yang dinanti tidak kunjung turun, bermacam prasangka menggelayuti kepala kami. Gap yang lebih dari 2 jam adalah sebuah keanehan mengingat Rudy sebenarnya merupakan pendaki yang cukup gesit. Pikiranku jelas melayang jika dia mungkin dehidrasi mengingat air dibawa oleh Yoga. Mungkin juga dia jatuh terpleset, tersesat, atau diserang Negara Api.
Karena angkot yang mengantar kami dari Serayu kemarin telah datang dan siap untuk menjemput kami, David akhirnya memutuskan untuk kembali mencari. Dan dengan bekal peta yang ia pinjam dari Dora the explorer, David akhirnya menemukannya di perkebunan warga. Rudy ternyata kesleo dan berjalan lambat bagai siput dengan menggunakan tongkat.
                Yah, memang inilah mendaki gunung. Ibarat sebuah perziarahan, kita melangkahkan kaki untuk mencapai tujuan. Dari sini kita bisa merefleksikan diri bagaimana perjalanan hidup ini yang sebenarnya, ada susah, senang, terjal, berliku bahkan terjatuh.
                Oleh sopir angkutan tadi, Pak Aang (Nama samaran), kami serombongan bersama dengan pendaki Surabaya dan pendaki dari Bekasi di antarkan sampai ke Terminal Purwokerto yang berjarak hampir 3 jam karena sempat mampir dulu di stasiun. Meskipun lelah, kami sempat juga membicarakan segala hal termasuk tentang kota ini, Purbalingga-Purwokerto, disertai canda dan logat bahasa Jawa ngapak khas Banyumasan.
                Dari terminal, kami langsung menuju Jogjakarta dengan menggunakan bus patas AC. Lewat tengah malam kami tiba di Giwangan kembali setelah menempuh 3 jam perjalanan. Kami tertahan cukup lama di Giwangan untuk makan malam dan bercerita soal pendakian kali ini.
                Pukul 04.00 kami pulang ke Solo via SK. Secara kebetulan, kami bertemu lagi dengan pendaki yang berasal dari Surabaya tadi, baru diketahui bahawa nama ketiga pendaki tadi adalah Yuko, Saka dan Katara.

Rincian Perjalanan
Pergi:
-          Solo-Jogja
2 jam, 15ribu. Tarif lebaran, jalan masih macet
-          Makan siang
angkringan belakang terminal
5ribu
-          Jogja-Purwokerto
6jam, Bus Ekonomi, 40ribu.
-          Purwokerto-Bobotsari (Turun di pertigaan Serayu)
1,5 jam , 20ribu, Mikrobus
-          Makam malam
Sate kambing 2 porsi untuk 5 orang, 40ribu
-          Serayu-Bambangan
Sewa angkot 90ribu

Pulang:
-          Bambangan-Purwokerto
3 jam, Sewa angkot per orang 30ribu
-          Purwokerto-Jogja
3 jam, 50ribu, Chitra-Adi AC patas
-          Makan Malam-Pagi
10ribu, angkringan belakang terminal
-          Jogja-Solo
1jam, 8ribu, Sumber Kencono




Beberapa Foto




Beberapa koleksi Sunrise di G. Slamet yang tertangkap kamera kami




Panorama di sekitar puncak

David Gilang

Me

Tugu Puncak G. Slamet

Bernard



Panorama di sekitar kawah


Kawah G. Slamet

Samudera Pasir


Rudy Purwanto


Negeri di atas awan






Di Kaki Gunung
Setiap ku rasakan sejuknya angin
Sedang pandanganku menembus bukit dan lembah
Aku tak tahu mengapa slalu ingat kamu
Memang dulu kita sering pergi ke gunung
Banyak bukit dan lereng yang pernah kita datangi
Aku slalu menggosok jarimu bila engkau menggigil
Saat itu slalu terbayang
 meskipun kita tak bersama
Kini kembali di kaki gunung
tanpa engkau bersamaku
Selendang leher yang kau berikan
Kini menyatu di pundakku

5 Okt 2011

TIM PENGEJAR SUNRISE


Edisi catatan saya kali ini akan membahasa tentang organisasi pendaki gunung yang beberapa tahun lalu cukup exist di lingkungan SMA N 3 Surakarta. Di tulisan ini, saya memfokuskan untuk bercerita tentang orang-orang yang  terlibat dalam organisasi ini.
Sudah lebih tiga tahun organisasi ini berdiri. Meskipun mengalami pasang surut, TPS atau yang kurang dikenal sebagai Team Laufennach Die Sonnenaufgang ternyata masih berdiri sampai sekarang. Pergantian ketua tim sampai berpencarnya anggota ke pelosok penjuru negeri tak mampu menghapus kebersamaan kami sebagai anggota TPS. Yakh, meskipun kami sekarang hanya bisa bersua setahun sekali.
Saya tak akan membahas sejarah berdiri dan perkembangan organisasi ini karena hal itu sedikit sudah tersirat dalam catatan saya terdahulu. Untuk itu perkenankanlah saya untuk memperkenalkan para anggota TPS di bawah ini.

MAIN MEMBER

Riris Aditya
Pria ini bisa disebut sebagai peletak pondasi pertama sejarah berdirinya TPS. Lewat kemampuan mulutnya yang berbisa, dia berhasil menggaet beberapa anak XI IA 1 untuk menjadi antek-anteknya. Secara mutlak dia terpilih menjadi ketua TPS periode pertama (2008). Pria yang berhobi berkaraoke ini sekarang bekerja di Kantor Kepabeanan tipe B di Batam. Semasa kepemimpinannya, TPS melakukan beberapa manuver untuk menunukkan exsisitensinya. Beberapa hal yang menjadi indikasinya adalah pembuatan jaket kebesaran TPS dan pendakian perdana ke Gunung Lawu. Di kalangan anggota TPS lain, dia dikenal sebagai pendaki yang hanya bermodal nekat. Bagaimana tidak, setiap mendaki dia hanya membawa dua bungkus supermie dan sering mebajak perbekalan teman-temannya. Pendakian pertamanya hampir berujung pada kematian, dia dihempas badai sewaktu akan menuju Hargodumilah dari Pos IV.  Selepas lulus SMA, gitaris amatir yang pernah dikhianati seorang pramuria ini melanjutkan pendidikannya di STAN PRODIP 1 BC Malang. Selepas itu mula, tampuk kepemimpinan TPS dimandatkan ke teman laki-lakinya, Kharisma.

Riris, siluman naga berkepala babi  

Kharisma Pribadi
Orang-orang lebih mengenalnya sebagai pongo. Pria kelahiran 1 April lebih dari 20th lalu ini merupakan ketua TPS periode kedua. Saat ini, mantan ketua kelas XII IA 1 ini sedang menyelesaikan sekolah sarjananya di jurusan informatika UNS. Di bawah kepemimpinannya, TPS melaksanakan pendakian paling masal ke Gunung Sumbing sebagai wujud diangkatnya dia sebagai ketua tim yang baru sekaligus perpisahan bagi anggota-anggotanya yang melanjutkan study ke luar kota. Jam terbang mendakinya bisa dibilang lebih banyak daripada Riris, tercatat dia sudah pernah ke tiga gunung yang berbeda, Lawu serta dua kali ke Merbabu dan Sumbing. Tampuk kekuasaannya diserahkan ke Basuki ketika mendaki Gunung Merbabu selepas lebaran taun lalu. Drummer amatiran yang bertempat tinggal di LA ini sekarang sudah sangat jarang dan bsia ditemui karena sibuk melakoni profesi barunya sebagai ustadz.

Kharisma Pongo

Basuki
Nama aslinya adalah Sandi. Nama panjangnya Sandi. Nama bapaknya adalah Harmo. Nama Panjang bapaknya adalah Harmo. Tempat tinggal di Kaliyoso. Pria paling tua (lahir 8 April 1990) dari kami ini adalah ketua TPS periode ketiga. Dia dikenal sebagai orang yang gemar boker saat mendaki karena hampir dapat dipastikan dia meninggalkan jejak berupa tai ketika mendaki. Pengalamannya bisa dibilang lebih banyak dari dua ketua pendahulunya. Semasa SMA dia pernah menginjakkan kakinya ke Lawu, Merapi, Merbabu dan Sumbing. Ini belum ditambah dengan segudang pengalaman yang ia peroleh karena menjadi anggota MAPALA ITS. Meskipun terlihat koplak, dia menjadi satu-satunya dari kami yang diterima oleh 2 PTN yang berbeda setelah lulus SMA: UGM dan ITS. Kiper amatir kelas IA 1 ini sekarang aktif di beberapa EO sehingga ia jarang pula untuk balik ke Kota Solo. Tak terdengar kabarnya selama 2th, akhir-akhir ini katanya dia sudah punya dua anak di Surabaya. Sebagai orang yang paling tua, sudah jelas dia yang paling calm di antara kami karena terlihat paling bijak dan paling dewasa. Akan tetapi anehnya, pria ini adalah yang paling tidak dilirik wanita sama sekali di antara kami. Satu hal yang masih sama pada pria ini adalah HP SEnya yang sudah dia pakai sejak SMP dan di dalamnya ada folder bernama virus.

Sandy alias Basuki

Rudy Purwanto
Asal Purwantoro. Mantan ketua X6. Penaksir beberapa wanita tapi tak ada yang didapat (sudah jadi resiko sebagai kutukan kalau mempunyai jaket TPS). Di antara kami, dia yang paling tulus dan setia pada kawan. Setiap mendaki, dia hampir selalu menjadi swiper untuk menemani kawan-kawannya yang mengalami gangguan fisik. Meskipun tubuhnya kecil, tenaganya besar. Dia bisa lambat, bisa juga gesit bagaikan ular. Seluruh gunung di Jawa tengah sudah pernah ia taklukkan, mulai dari Lawu, Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro dan yang terbaru: G. Slamet. Kebiasaannya ketika mendaki adalah membawa sepatu cat dan bendera Juventus, maklum dia penggemar setia Si Nyonya Tua, sama seperti bung Riris, meskipun tim kesayangannya terlanda kasus calciopoli. Saat ini dia sedang menempuh pendidikan D IV di STID Al Hadid Surabaya. Penggemar music grunge ini merupakan kandidat kuat pengganti Basuki sebagai ketua tim yang harus lengser tahun ini.

Rudy wowor

Alwan Zamroni Khalid
Anggota TPS termuda ini berasal dari Ngawi. Pendidikan menengah pertama dia selesaikan sebagai santri di Ponpes Assalam. Dia yang paling ambisius dan bersemangat di antara kami tapi juga paling ceroboh (kerap tabrakan).  Karir higlandernya maju begitu pesat ketika menjadi anggota PALASMAGA. Namun, seiring lulus dari SMA karirnya terus meredup. Sudah lebih dari dua tahun ia tak mendaki. Obesitas disinyalir menjadi penyebabnya. Kisah cintanya sewaktu SMA begitu tragis. Hal inilah yang membuat dia menjadi suwung. Kesuwungannya tergambar lewat banyak video lipsing yang ia buat ketika mendaki. Ini belum termasuk puisi-puisi yang tak bermutu dan selalu membuat kami tertawa. Sebagai contoh adalah kemarin sewaktu futsal. Berposisi menjadi bek, dia sempat-sempatnya berpuisi untuk menganggu konsentrasi penyerang lawan. Alhasil, seluruh pemain di lapangan tertawa terpingkal-pingkal. Meskipun saat ini pensiun sementara waktu, pencinta musik melayu (ex: ST 12) ini sudah cukup makan garam di dunia pendakian. Saking pengalamannya, dia selalu membawa sabun muka ketika mendaki dan menghabiskan air yang kami bawa untuk menggantengkan wajahnya yang unyu.  Saya tak tau apakah obsesinya menaklukkan Jaya Wijaya masih tersisa di jiwanya. Yang jelas, mahasiswa jurusan Akuntansi UGM ini dahulu adalah pelopor saya dalam mendaki.

Alwan si bocah suwung

Bima A. Putra
Sangat sulit menceritakan pria kelahiran Jayapura ini. Selain hobi menggunung, kegiatan berbau petualangan sampai kecintaan terhadap lingkungan ia jabani. Sudah tak terhitung lagi, berapa gunung yang ia daki, berapa pantai yang ia kunjungi, berapa pulau yang  pernah ia tapaki, dan berapa lautan yang ia salami. Yang jelas bangku perkuliahan (Kelautan UNDIP)  yang ia tempuh saat ini kelihatannya mampu untuk mangakomodir hal itu. Setelah lulus SMA, dia yang paling jarang berkumpul dan bertualang lagi dengan kami. Akhir-akhir ini terdengar kabar jika ia tergabung dalam LSM yang menangani konservasi orang utan.

Bima 

Cendy Adam
Pria kelahiran Banjarmasin sehari sebelum HUT RI ke 45 ini merupakan pria paling vocal di antara kami. Harus saya akui jika ia memang kritis. Hal itu bisa dilihat dalam catatan-catatan yang ia buat. Tak mengherankan jika ia dulu sewaktu SMA terpilih menjadi ketua muda OSIS. Perjalanan karirnya sebagai highlander dimulai bulan Januari 2008 yang kala itu juga merupakan pendakian cikal bakal berdirinya TPS. Sewaktu belum menjadi anggota, pria ini bisa dibilang cukup sukses di dalam percintaan. Akan tetapi hal itu berubah drastis setelah menjadi anggota TPS. Setelah keluar dari STID Al Hadid, ia saat ini menempuh pendidikan Hukum di Universitas Indonesia. Meskipun badannya kecil, ia mampu mendaki dengan gesit bagaikan ular. Pria ini kelihatannya sudah tak mendaki lagi, sama seperti Alwan. Hari-harinya disibukkan dengan kegiatan untuk menggapai obsesinya menjadi jaksa masa depan ditemani kawannya yang paling setia; Tuhan 9 cm.
Cendy, mahasiswa hukum UI 

Aziz M. Adi
You know me so well





ADDITIONAL MEMBER

Ahimsa D. Afrizal
Dulu sewaktu SMA, pria ini sering mendaki bersama kami. Apalagi dia juga tercatat sebagai anggota PALASMAGA, sama halnya dengan Alwan. Lawu, Merbabu dan Sumbing adalah saksinya. Meskipun sering terlibat dalam petualangan bersama kami, Ahim belum bisa disebut anggota utama TPS karena dia tak memiliki jaketnya. Hal inilah yang membuat nasib percintaannya tak sama seperti halnya dengan anggota utama. Harus saya akui juga, sebagai orang yang hobi membaca dan berwawasan luas, pria ini memang berpikiran lebih tajam di antarakami. Kandidat kuat ketua BEM UNAIR ini sementara waktu memutuskan pensiun karena mengalami problem obesitas.


Asep S.
Ikut mendaki sekali ketika ke Sumbing, Juni 2009. Meskipun sewaktu itu masih newbie, kemampuannya tak bisa dipandang sebelah mata. Mahasiswa Sipil UNDIP ini keliahatannya masih berhasrat untuk bertualang, nyatanya kemarin dia menunjukkan ketertarikan untuk ikut ke G. Slamet. Meskipun gagal terealisasi karena waktu.



Aryo K.
Pengalaman pendakiannya sama halnya dengan Asep. Adik kandung Riris Aditya ini pada akhirnya terkena pengaruh saya dalam hal bertualang  pasca pendakian dari Sumbing, petualangan ke Pulau Sempu adalah saksinya.



Panji
Dua kali ikut pendakian, Lawu dan Sumbing. Meskipun badannya tambun karena sering makan babi, ternyata kemampuannya dalam mendaki cukup mumpuni. Saudara sepupu Riris Aditya ini memang paling berbeda di antara kami, selain berasal dari SMA yang berbeda (SMA 5), disinyalir dia homo. Penyembah Tuhan 9 cm ini sebenarnya tak jauh beda dengan Riris Aditya ketika bertualang: hanya bermodal awak sehat.


Wahyudin
Sekali ikut sewaktu pendakian ke G. Lawu karena saya ajak. Saya tak tau apakah dia suka bertualang atau tidak, nyatanya setaiap kali saya ajak dia selalu tak bisa dengan dalih mengerjakan proyek mahasiswanya. Mahasiswa Planologi UNS yang punya mimpi menjadi Walikota Solo ini katanya sudah nikah, bener gak sih?



David
Resmi masuk dalam nama-nama ini karena berhasil menaklukkan Gunung Slamet bersama dengan saya dan Rudy. Sebenarnya pendakian pertamanya dimulai tiga tahun lalu tepatnya saat TPS mengadakan pendakian ke G. Lawu yang bertepatan dengan Pendakian Masal Palasmaga.


PENGGEMBIRA
Disebut penggembira karena tak pernah terlibat dalam kegiatan TPS meskipun punya jaket kebesaran.

Habibie
Mahasiswa kedokteran UMY yang disinyalir tak boleh ikut mendaki gunung oleh orang tuanya. Meskipun demikian ketua sekaligus maskot Kos Memet ini memiliki jaket TPS. Po ra ngeriw?

dr. habibie


Indra Fery I.
Anggota PALASMAGA ini pernah ke G. Lawu memang, tapi tak pernah terlibat secara langsung dengan kegiatan yang diadakan TPS. Terdengar kabar dari kawan lama SMP saya yang kuliah di Akuntansi UNDIP, Galang, bahwa Fery masih sering menggunakan jaket kebesaran TPS.


Fery, kalo mau pesen gitar ngomong aja ke dia





PENJELAJAH ALAM
Perjalanan awan di langit bagai petualangan manusia
Beriring sambil saling menyapa memberikan arti pada waktu bersama
Butiran air jatuh ke bumi
Itulah asalnya darimana dia datang
Awan di langit kini berpencar

memisah diri terkena badai
Entah kapan dapat berkumpul
Apakah mungkin tidaklah mungkin
Ku pandang awan dari tidurku
Dari balik jendela aku bersenandung
Petualangan awan di langit yang lebar
Bagai petualangan manusia
Di dalam hasratnya
Di dalam hidupnya