Prologue
Lagu Leaving on Jet Plane milik John
Denver terdengar lirih dari balik ponselku yang sedikit memecah kesenyapan
malam itu. Sementara kami masih berada dalam mobil angkutan yang melaju
menembus kabut tebal sepanjang perjalanan Serayu ke Bambangan. Kabut tebal ini
membuat saya kagum sekaligus sedikit khawatir. Belum pernah saya melihat kabut
setebal ini, bahkan apa yang ada pada jarak 1 meter di depan sama sekali tak
terlihat. Semuanya serba putih oleh titik air yang terdispersi oleh cahaya.
Saya juga sedikit menyimpan rasa heran pada sopir mobil angkutan ini yang tetap
mampu menggunakan instingnya melewati jalan pegunungan yang berkelok-kelok.
Hampir 12 jam kami menempuh perjalanan dari Solo. Dan ini adalah transportasi
terakhir yang kami naiki untuk sampai ke Bambangan, desa terakhir di kaki
Gunung Slamet.
Semua
bermula dari sedikit niatan iseng saya yang menjadi pengangguran selama musim
liburan kali ini untuk mengajak beberapa teman mendaki ke Slamet. Dari belasan
orang yang saya ajak, akhirnya hanya lima orang
yang ikut dalam misi petualangan menaklukkan gunung tertinggi kedua di
ranah jawa ini: Rudy, Bernard, David dan Yoga, termasuk saya.
Senin
pagi (5/11), kami berkumpul di Terminal Tirtonadi. Rencana awal kami ingin
menaiki bus yang langsung menuju
Purwokerto. Namun, bis yang sedianya kami harapkan ternyata sudah berangkat.
Alhasil, kami terlebih dahulu harus ke Terminal Giwangan, Jogjakarta, untuk
mencari bus jurusan Purwokerto.
Kumpul di Terminal Tirtonadi, Solo
Setibanya
di Terminal Purwokerto, kami berjumpa dengan tiga pendaki dari Tasikmalaya yang
baru saja turun. Dari mereka, saya sedikit mengorek informasi tentang kondisi
dan situasi paling “gress” Gunung
Slamet. Keharusan memakai ranger (porter) dan kondisi medan menjadi topic
percakapan kami sembari beristirahat untuk shalat maghrib. Sebagai kenangan,
mereka memberikan 2 dirigen air untuk kami.
Di
terminal ini, kami meneruskan perjalanan menuju Bobotsari dengan microbus dan turun di pertigaan Serayu. Setibanya di
Serayu, kami langsung disambut oleh sopir angkot yang menawarkan jasa untuk
mengantarkan kami ke Bambangan. Sebagai kawasan kota terakhir, di sini kami
melengkapi perbekalan dan menikmati makan malam dengan dua porsi sate kambing
untuk lima orang.
Kondisi
malam di Bambangan sebenarnya tak terlalu dingin tapi kabut amat tebal. Kami
yang berencana untuk mendaki pagi hari terlebih dahulu memutuskan untuk
mendirikan tenda di Pondok Pemuda dan bermalam di sini. Hal ini kami lakukan
karena basecamp sudah tutup karena hari sudah larut malam.
Selasa
(6/11) Pagi hari ketika akan shalat subuh di masjid yang notabene berada di
bawah Pondok Pemuda, saya dan Bernard berpapasan dengan tiga pendaki dari
Surabaya yang baru saja tiba di Bambangan. Merekalah yang akhirnya menemani
petualangan kami.
Setelah
repacking, sarapan, dan membereskan administrasi, kami berdelapan mulai mendaki
ditemani oleh seorang porter, Pak Kamen (Nama Samaran).
Merapi dari Pos Bambangan
Problematique
Beberapa Elang Jawa terlihat terbang,
mengalihkan kekaguman kami ketika melintasi ladang perhutani yang sangat terik,
kering, dan berdebu. Ya… setelah lebih dari satu jam melewati perkebunan warga
sejak pukul 09.00 pagi tadi, kami mengambil break
sejenak sambil bercerita tentang pengalaman mendaki kami dengan tiga orang
Surabaya tadi.
Sinar
matahari memancar langsung tanpa halangan membakar kulit kami. Vegetasi pepohonan
di perhutani tak begitu rapat. Bahkan, akhir-akhir ini kebakaran sering terjadi
akibat kondisi yang kering dan berdebu. Sementara itu hujan sudah tak turun
selama berbulan-bulan. Di depan, Pos I sudah mulai terlihat tetapi masih
menyisakan satu jam lagi untuk bisa sampai di sana. Ini diperparah dengan medan
yang terus menanjak sejak keluar dari area perkebunan warga tadi.
Setelah
menapaki jalan selama hampir 2 jam, kami tiba di Pos I. Di sini, kami mengambil
break agak lama sambil makan jeruk
dan menjemur pakaian kami yang basah oleh keringat. Shelter yang ada di pos ini
cukup besar dan cocok untuk digunakan
dalam beristirahat di siang hari. Pemandangan Kota Purbalingga mulai bisa
terlihat dari sini. Dari Pos I, kami berpisah dengan tiga pendaki dari Surabaya
tadi.
Pada
awal perjalanan menuju Pos II, Pondok Lawang, Yoga mengalami keram. Maklum ini
pendakian pertamanya. Syukur Alhamdulillah yah, dia masih bisa melanjutkan perjalanan.
Selepas dari Pos I, vegetasi pepohonan mulai agak rapat karena sudah memasuki area
hutan gunung. Meskipun demikian, medan pendakian tetap terasa berat karena tracknya terus menanjak.
Ketidaktersediaan air membuat kami mau tak mau harus menghemat air. Alhasil,
sepanjang perjalanan kami hanya melepaskan dahaga dengan makan jeruk. Lebih
dari 1 jam berjalan, kami tiba juga di Pos II.
Perjalanan
yang masih panjang membuat kami harus beranjak segera dari Pondok Walang.
Kondisi medan menuju pos III lebih panjang. Saya, David, dan Rudy leading di depan terpisah jauh dengan
Yoga dan Bernard yang ada di belakang karena cedera. Bahkan, Kami sempat
menunggu cukup lama di Pos III, Pondok Cemara. Di sini juga lah kami berdelapan
akhirnya bersama lagi.
Perjalanan
berlanjut ke Pos IV, Pondok Samaranthu. Sama seperti kondisi medan sebelumnya,
tak ada diskon yang menyapa kami. Kali ini perjalanan terasa lebih cepat karena
tak ada 1 jam selepas dari Pondok Cemara tadi. Stok nutrisari yang setia
menemani pelepas dahaga kami habis di pos ini. Keinginan untuk sampai di Pos
VII sebelum petang membuat kami bergegas kembali, mengingat waktu sudah
menunjukkan hampir ashar.
Di
Pos V, Samyang Rangkah, terdapat sebuah shelter, Kami break cukup lama di sini
karena harus sholat. Pendaki dari Surabaya dan Pak Kamen memutuskan untuk
meninggalkan kami. Pemandangan Kota Purwokerto dan Purbalingga semakin terlihat
jelas dari sini. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami akhirnya sepakat
memutuskan untuk mengecamp di Pos VII
dan melanjutkan ke puncak keesokkan harinya. Tak ingin terlena, kami segera
mengejar waktu untuk bisa sampai di Pos VII sebelum petang.
Pos
VI berada setengah jam dari pos V. Namun, kami tak berhenti dan terus
melanjutkan perjalanan. Saya dan David leading
di depan. Keletihan David mulai menampakkan hasil. Sepanjang perjalanan menuju
Pos VII, dia sering meminta break.
Saya sendiri yang tak ingin kehilangan waktu terus memaksa dan menyemangatinya
untuk bergegas karena sudah hampir jam 06.00 sore. Dia meminta untuk berganti
ransel. Saya menyerahkan carier saya yang lebih berat ditukar dengan daypack
yang ia bawa. Tak lama setelah itu, kami tiba juga di Pos VII.
Pemandangan
di sekitar pos VII tak jauh beda dari yang ada di pos V tadi. Bedanya, kali ini
tempatnya lebih tinggi. Di sini juga terdapat shelter untuk bermalam. Setelah
ini masih ada Pos Pelawangan, sebelum tiba di puncak. Pos ini bernama Samyang
Kendhit. Ada sebuah kesia-siaan yang dilakukan Rudy di sini. Dome yang ia bawa
serasa tak berguna karena memang kami tak memerlukannya. Shelter di sini cukup
tertutup untuk bisa menahan angin karena dilengkapi dengan pintu. Kami tidur di
atas dipan kayu yang muat untuk 6 orang. Sedangkan Kawan kami yang berasal dari
Surabaya tidur di bawah dipan kami dengan mendirikan tenda, termasuk Pak Kamen
yang berada di dalamnya.
Setelah
membersihkan dan merapikan tempat untuk beristirahat, mulailah kami memasak.
Sedikit hal yang kami sesali di sini adalah kecerobohan dan keborosan kami
dalam menggunakan air untuk membuat mie dan minuman hangat, entah itu kopi,
susu, ataupun teh. Penggunaan air untuk hal-hal tersebut baru menjadi kendala
ketika pagi buta kami tersadar bahwa air yang kami miliki tinggal dua botol
untuk summit attack dan perjalanan
turun. Hal ini karena kami memakainya untuk menanak nasi. Belum lagi saya juga
sempat membuat bandrek untuk menghangatkan badan serta antisipasi masuk angin
karena malamnya saya tak bisa tidur dan berkali-kali hampir muntah.
Rabu
(7/11) Pagi pukul 04.00 kami melanjutkan perjalanan menuju puncak. Kali ini
Yoga tak bisa melanjutkan perjalanan. Pendaki dari Surabaya sudah berangkat
mendahului kami . Yoga ditemani Pak Kamen di Pos VII.
Pos VII, Samyang Kendhit. Bernard dan Pak kamen
Hampir
1 jam kami berjalan, tibalah kami di
Pelawangan. Dari Pos VII tadi, kami memang hanya membawa daypack yang berisi
makanan kecil dan minuman karena selepas Pelawangan jalan akan sangat menanjak.
Seperti halnya dengan gunung vulkanik lain yang masih aktif, kondisi medan
dipenuhi oleh pasir dan kerikil yang sangat licin dan berbahaya. Di sini
sunrise terlihat, kami memanfaatkan momentum ini untuk mengambil gambar.
Setelah lebih dari 1 jam bergulat
dengan medan yang penuh batu, pasir dan kerikil, tibalah kami di puncak Slamet,
3432m.
Foto sesaat tiba di puncak G. Slamet, 3432 mdpl
Matahari
bersinar terang di puncak. Angin di sini bertiup cukup kencang dan dingin. Awan
yang mengelilingi kami seolah-olah berbentuk seperti kapas. Gunung Sindoro,
Sumbing, dan Ciremai gagah berdiri di hadapan kami. Di bawah kami, letupan asap
dari kawah menggoda kami untuk mengunjunginya. Saya, David dan Rudy memutuskan
untuk berkunjung ke kawah setelah turun melewati bebatuan terjal dan lautan
pasir. Sementara itu Bernard memutuskan untuk kembali ke Pos VII.
Tak
lama kami di kawah karena Pak Kamen yang menyusul ke puncak telah menunggu.
Selepas naik dari kawah, kami memutuskan untuk kembali ke Pos VII. Sebelum
turun, tak lupa kami mengabadikan kenangan di puncak ini untuk yang terakhir
kali.
Sekembalinya
di Pos VII, kami memasak nasi goreng dengan nasi yang telah dibuat tadi dan
bumbu racik yang telah saya siapkan. Tak lama setelah sarapan, kami packing dan
memutuskan untuk turun karena air yang tersisa tinggal setengah botol dan itu
untuk bekal berlima. Pak Kamen dan pendaki Surabaya telah turun mendahului
kami. Rasa-rasanya tak mungkin berharap untuk mengemis air dari mereka.
Rudy,
David berada yang terdepan untuk turun, saya menguntit di belakangnya, disusul
oleh Yoga dan Bernard. Sengaja kami memang mengambil gap untuk menghindari debu.
Foto bersama sebelum turun
Perjalanan
turun terasa lebih cepat karena kami berlari. Dalam perjalanan turun ke Pos IV, Rudy mulai kewalahan karena beban
berat (dome) yang dibawanya. Saya dan David memutuskan untuk meninggalkan Rudy
dengan konsekuensi tak membawa air. Kami berdua turun dengan gesit bagaikan
ular hingga akhirnya tiba di Pos I. Di sini saya bertemu dengan Pak Kamen dan
pendaki dari Surabaya tadi. Tak tahan akibat haus, kami berdua memutuskan untuk
turun lebih dulu. Kami akhirnya sampai di base camp pukul 02.00 setelah
menempuh perjalanan 3 jam lebih dari pos VII tadi. Di sini kami langsung
membeli air untuk melepas dahaga yang mencekik, tak lupa pula minum kuku bima
biar Roso…!
Epilogue
Setelah
ditunggu hampir 1 jam, tiga teman kami belum juga turun. Sembari membersihkan
tubuh yang penuh dengan debu, saya putuskan memasak sarden dan air untuk
mengisi perut dan menghabiskan bekal yang masih tersisa. Sesaat kemudian, Yoga
dan Bernard datang. Kami benar-benar dirundung gelisah ketika waktu menunjukkan
pukul 04.00. Rudy yang dinanti tidak
kunjung turun, bermacam prasangka menggelayuti kepala kami. Gap yang lebih dari 2 jam adalah sebuah
keanehan mengingat Rudy sebenarnya merupakan pendaki yang cukup gesit. Pikiranku
jelas melayang jika dia mungkin dehidrasi mengingat air dibawa oleh Yoga.
Mungkin juga dia jatuh terpleset, tersesat, atau diserang Negara Api.
Karena angkot yang mengantar kami
dari Serayu kemarin telah datang dan siap untuk menjemput kami, David akhirnya
memutuskan untuk kembali mencari. Dan dengan bekal peta yang ia pinjam dari Dora the explorer, David akhirnya
menemukannya di perkebunan warga. Rudy ternyata kesleo dan berjalan lambat
bagai siput dengan menggunakan tongkat.
Yah,
memang inilah mendaki gunung. Ibarat sebuah perziarahan, kita melangkahkan kaki
untuk mencapai tujuan. Dari sini kita bisa merefleksikan diri bagaimana
perjalanan hidup ini yang sebenarnya, ada susah, senang, terjal, berliku bahkan
terjatuh.
Oleh
sopir angkutan tadi, Pak Aang (Nama samaran), kami serombongan bersama dengan
pendaki Surabaya dan pendaki dari Bekasi di antarkan sampai ke Terminal
Purwokerto yang berjarak hampir 3 jam karena sempat mampir dulu di stasiun.
Meskipun lelah, kami sempat juga membicarakan segala hal termasuk tentang kota
ini, Purbalingga-Purwokerto, disertai canda dan logat bahasa Jawa ngapak khas
Banyumasan.
Dari
terminal, kami langsung menuju Jogjakarta dengan menggunakan bus patas AC.
Lewat tengah malam kami tiba di Giwangan kembali setelah menempuh 3 jam
perjalanan. Kami tertahan cukup lama di Giwangan untuk makan malam dan
bercerita soal pendakian kali ini.
Pukul
04.00 kami pulang ke Solo via SK. Secara kebetulan, kami bertemu lagi dengan
pendaki yang berasal dari Surabaya tadi, baru diketahui bahawa nama ketiga
pendaki tadi adalah Yuko, Saka dan Katara.
Rincian Perjalanan
Pergi:
-
Solo-Jogja
2 jam, 15ribu. Tarif lebaran, jalan
masih macet
-
Makan siang
angkringan belakang terminal
5ribu
-
Jogja-Purwokerto
6jam, Bus Ekonomi, 40ribu.
-
Purwokerto-Bobotsari (Turun di
pertigaan Serayu)
1,5 jam , 20ribu, Mikrobus
-
Makam malam
Sate kambing 2 porsi untuk 5 orang,
40ribu
-
Serayu-Bambangan
Sewa angkot 90ribu
Pulang:
-
Bambangan-Purwokerto
3 jam, Sewa angkot per orang 30ribu
-
Purwokerto-Jogja
3 jam, 50ribu, Chitra-Adi AC patas
-
Makan Malam-Pagi
10ribu, angkringan belakang terminal
-
Jogja-Solo
1jam, 8ribu, Sumber Kencono
Beberapa Foto