30 Des 2013

Kisah Pendakian Perdana Sang Legenda


-Based on True Story-

Penulis : Riris Aditya
Editor: Munawar Adi


Akhir-akhir ini dunia pendakian sedang menjadi sorotan. Hal ini tak lepas dari beberapa pendaki yang  tewas ketika melakukan pendakian. Banyak hal yang menyebabkan peristiwa ini terjadi. Entah itu karena kondisi cuaca yang ekstrem dan tidak bersahabat maupun ketidaksiapan pendaki itu tersendiri dalam menghadapi berbagai macam resiko ketika melakukan pendakian.

Riris Aditya mencoba mengungkapkan kembali kisah petualangannya sewaktu muda dulu. Mendaki gunung adalah salah satu kegiatan olahraga esktrem dan petualangan yang dulu pernah ia geluti. Seperti halnya dengan pemuda pada umumnya, gejolak jiwa yang masih labil tapi penuh semangat dan bermodal nekat lekat menjadi identitasnya waktu itu. Potret perkembangan pemuda saat ini juga tak jauh beda. Bertualang demi mendapatkan kesenangan tapi abai dengan resiko dan bahaya yang menyertainya.

6 tahun lalu, Riris menjalani debutnya di dunia pendakian. Tanpa perbekalan dan persiapan yang matang, ia mencoba menakhlukkan ganasnya Gunung Lawu yang terkenal sebagai gunung paling angker dan dingin se-antero Pulau Jawa. Pendaki legendaris pendiri TPS ini melakukan pendakian pada bulan Januari ketika intensitas curah hujan sedang tinggi-tingginya. Namun, hal itu tak menyiutkan nyali sang Legenda.

Bersama rekan-rekannya, ia terjebak badai sewaktu menuju puncak tanpa perbekalan dan peralatan yang memadai. Karena ketangguhan dan kejantanannya itulah, ia disebut sebagai legenda. Benar-benar pendaki legendaris yang tidak bisa dibandingkan dengan pendaki-pendaki newbie saat ini.

Sang Legenda di Puncak Rinjani

“Waktu itu aku mengajak Aziz untuk mendaki gunung. Aku terobsesi oleh cita-citaku, yaitu sesuatu yang berbau militer. Impianku ketika itu adalah menjadi seorang polwan, tapi mana mungkin aku hanya lelaki.  Karena tidak mungkin,  kualihkan cita-citaku menjadi TNI, tapi tidak kesampaian. Untuk itulah aku ingin menguji fisikku dengan mendaki gunung. Pertimbanganku mengajak Aziz waktu itu karena orangnya sedikit tolol, enak diajak bercanda, selain juga alasan utama dia pernah kesana sebelumnya.

Pendakian perdanaku pun dimulai. Waktu itu Aziz menjadi ketua tim karena sudah pernah naik gunung sebelumnya. Harus diakui Aziz memang punya pengalaman, tapi pengalaman taek. Sedikit-sedikit lelah, minta break. Saya agak bimbang waktu itu. Di satu sisi Aziz klemak-klemek kayak bencong sapoy, sementara teman saya Istanto yang seorang petinju amatir bergerak cepat bagai ular. Istanto dan Panji yang memimpin di depan waktu itu melahap setiap trek jalan setapak Lawu. Hanya Cendy yang mampu mengimbangi waktu itu. Saya tau Wowor juga mampu mengimbangi tapi karena kesetiakawanan saya dan Wowor yang tinggi kami memutuskan mengimbangi Aziz.  Jarak kami dengan  grup depan bisa dikatakan hampir 300-500 m. Saya juga kadang di depan menyuruh agak pelan, tapi lebih banyak dibelakang.

Di tengah perjalanan Aziz membuang beberapa wedang putih untuk mengurangi beban dengan alasan musim hujan. Sesuatu hal yang bisa disebut sebagai tindakan kebodohan. Anda bisa menebak sendiri mengapa saya berkata kebodohan, pikirku waktu itu “o.. ya mungkin ini pengalaman”. Perlu digaris bawahi pengalaman.
Kisah pun berlanjut. Saat itu terjadi clash antara kami. Ya memang benar, saat itu terjadi clash antara Aziz dan Istanto tapi masih dalam taraf yang wajar. Jujur Istanto merasa geli dengan tingkah laku Aziz yang sok berpengalaman perlu digaris bawahi tapi kenyataannya klemak-klemek.

Akhirnya kami pun terpisah, saya dan Istanto cs. melanjutkan perjalanan sedangkan Aziz dan antek-anteknya berhenti di Shelter III. Sebenarnya, yang menyebabkan saya melanjutkan perjalanan bukan soal clash tapi karena gojekan Istanto untuk mengejar daging kambing yang dibawa pendaki lain. Saat itu di perjalanan, kami memang melihat beberapa pendaki yang membawa kambing hidup ke atas. Gojekan Istanto ini sebenarnya mengetes siapa yang berani lanjut. Saya yang bermodal tekad bulat untuk mendapatkan sunrise memutuskan lanjut. nDarun dan Panji hanya ikut-ikutan lanjut (mungkin obsesi daging). Dingin benar-benar menyelimuti kami dalam perjalanan waktu itu.

Bermodalkan badan sehat, kami menuju ke atas, horas beh !!

Tidak peduli dengan Aziz dan antek-anteknya. Setelah berjalan menahan dingin dan menerjang badai selama berjam-jam,  akhirnya kami berempat tiba di Shelter IV. Saat itu pula, dengan penuh semangat mengejar puncak dan mengejar daging kambing, kami langsung tancap gas menuju puncak.
Baru 20 menit mendaki ke atas, kami melihat pemandangan yang begitu menakjubkan. Lampu-lampu kota yang sangat indah. Sampai saya terharu bila mengingatnya. Namun, tiba-tiba….. ASU……. badai besar datang. Kami hampir tersapu olehnya. Kami bergerak cepat kembali turun ke Shelter IV. Ini cerita paling menyedihkan, saya menulis biar semua orang tahu.


Dengan kondisi cuaca yang dingin seperti itu ditambah dengan badai dan rintik hujan, saya dan teman-teman memutuskan istirahat sejenak. Menunggu sampai cuaca kembali bersahabat. Minimal tidak hujan dan badai segera hilang.

Dingin kembali saya katakan. Dingin yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Kami gelar mantol milik panji, karena itulah satu-satunya peralatan yang kami bawa. Kami berencana untuk beristirahat sejenak. Akan tetapi, setelah menunggu hampir 1 jam lebih, cuaca tidak memihak. Badai malah semakin besar  sehingga kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan besok. 

Di  Shelter IV dengan kondisi sebagian atap hilang, beralaskan mantel, dan berselimutkan satu sarung yang kami pakai buat berempat, kami mencoba menyalakan api. Beruntung ada kayu-kayu yang agak basah disekitar Shelter IV. Anehnya, di sini saya lupa minta paraffin kepada Aziz yang kuakui memang peralatan dia lengkap.

Dengan tidak berputus asa, aku keluarkan lilin dari dalam tasku yang kuambil di meja dapur rumahku sebelum berangkat, kira aja berguna. Hampir setenggah jam lebih kami mati-matian menyalakan api. Aku sudah frustasi waktu itu. Berkat kegigihan Istanto dan nDarun, akhirnya api berhasil menyala untuk mengurangi dinginnya Shelter IV waktu itu. Dingin yang jujur kuakui sampai menusuk sumsum tulang. Kami akhirnya bisa sampai puncak keesokan harinya setelah matahari terbit menghangatkan tulang-tulang kami. Aziz dan antek-anteknya juga menyusul ke puncak beberapa jam setelah kami. Pada akhirnya, kami selamat sampai pulang ke rumah dan bertemu dengan keluarga kami masing-masing.”


9 Okt 2013

Backpacker ke Belitung (Part I)


                Catatan perjalanan  kali ini akan menceritakan pengalaman yang saya dapati ketika melakukan Backpacker ke Belitung pertengahan September lalu. Perjalanan ini merupakan Solo Travelling kedua yang saya lakukan setelah ke Sumatera Barat beberapa waktu lalu. Semua bermula dari promo penerbangan Citilink 55rb pertengahan Agustus lalu. Dan langsung saja saya memilih rute Jakarta – Tanjung Pandan PP. Tak pernah terbesit sebelumnya jika tahun ini saya bakal melakukan perjalanan ke Belitung karena selama ini saya terbius oleh keinginan untuk menjelajah ke Lombok. Anehnya lagi, keinginan ke Lombok itu belum pernah terealisasi meskipun sudah menghanguskan 2 tiket promo ke sana.


Burung besiku siap mengangkasa
                Itinerary ke Belitung saya dapati beberapa hari sebelum pergi ke sana. Ada beberapa informasi yang saya kumpulkan terkait obyek yang akan saya kunjungi, penginapan, dan tentunya transportasi yang bisa saya gunakan selama di sana. Berbekal dari salah satu catatan perjalanan yang ada di traveller kaskus dan print out peta Pulau Belitung, saya akhirnya terbang juga dari Terminal 1C Bandara Soekarno Hatta minggu pagi.
                Perjalanan dari Jakarta ke Tanjung pandan ditempuh selama kurang lebih 50 menit. Pukul 07.00 pagi saya sudah mendarat di Bandar Udara Hanandjoeddin, Tanjung Pandan. Ada beberapa hal yang membuat saya takjub ketika pertama kali menginjakkan kaki di negeri laskar pelangi ini. Bangunan bandara di sini sangat kecil. Bandara Hanandjoeddin merupakan bandara terkecil dari beberapa bandara yang pernah saya kunjungi. Airport taxnya pun tergolong murah, hanya 11ribu! Tidak ada nama Angkasa Pura di sini. Oiya, jaringan 3 celluler di sini tidak ada sama sekali.


Bandar Udara Hanandjoeddin
Untuk mencapai kota Tanjung Pandan, tidak ada transportasi umum yang bisa digunakan dari bandara. Satu-satunya transportasi yang ada hanyalah travel. Travel di sini berupa mobil yang biasa disewakan semacam avanza dan sejenisnya. Saya sendiri menggunakan travel untuk menuju ke Hotel Surya di Kota Tanjung Pandan. Meskipun hanya berjarak sekitar 25 menit, tarif travel dari bandara ke pusat kota dipatok sebesar 40ribu. Yakh, lumayan mahal menurut saya.
                Hotel Surya berada di Jalan Dipati Endek dekat kawasan pecinan pusat kota Tanjung Pandan. Hotel ini terletak di lantai II sebuah bangunan tua di sisi kiri jalan. Di hotel ini lah saya menginap selama dua malam. Menurut penuturan petugas hotel, banyak para backpacker sebelumnya yang menginap di hotel ini. Meskipun tergolong sederhana, hotel ini cukup nyaman ditempati. Selain itu, tarifnya juga terjangkau dan letaknya berada di pusat kota. Salah satu fasilitas yang diberikan oleh hotel ini adalah sarapan pagi. Di hotel ini kita bisa menyewa motor dengan tarif 70k untuk jenis Mega pro dan 60k untuk jenis bebek. Saya sendiri jelas lebih memilih Mega pro sebagai partner untuk menjelajahi jalanan Pulau Belitung.
                Hari pertama saya putuskan untuk menjelajah sebelah barat laut pulau ini. Kondisi jalanan di Belitung sangat memanjakan sekali buat bikers. Tidak ada cacat aspal yang saya temui. Bahkan jalanannya pun lebar dan sepi. Saya sangat menikmati sekali perjalanan kali ini. Satu hal yang menjadi kekurangan di sini adalah tidak adanya SPBU yang buka sehingga untuk mengisi bahan bakar hanya bisa didapatkan melalui eceran. Hal ini tak begitu menjadi masalah karena penjual bensin eceran pun tidak sulit untuk didapatkan. Harga untuk satu liter bensin di sini dipatok sebesar 8k.

Tanjung Binga, Kampung Para Nelayan
                Tempat pertama yang saya kunjungi adalah Tanjung Binga. Tempat ini merupakan desa nelayan. Banyak sekali kapal nelayan yang bisa ditemui di sekitar dermaga. Sayangnya, momen kedatangan saya ke tempat ini kurang tepat. Biasanya tempat ini diburu oleh wisatawan ketika pagi hari di mana para nelayan baru saja pulang melaut. Saya sendiri sampai di tempat ini pukul 10.00.
                Perjalanan saya berlanjut ke Tanjung Kelayang. Di perjalanan menuju ke sana, saya tertarik melihat plakat arah sebuah pantai bernama Pantai Babilaian. Jaraknya tertulis 3km dari jalan utama dan harus masuk menembus hutan ilalang. Kondisi jalannya tidak beraspal melainkan jalan tanah merah. Pantai ini termasuk pantai yang baru resmi dibuka. Pada plakat arah disebutkan jika tempat ini merupakan hasil KKN mahasiswa UGM  tahun 2013. Berbicara mengenai pantai ini, hanya satu ungkapan yang bisa saya katakan “really so beautiful”. Hamparan pasir putih dengan ombak begitu tenang dan air yang dangkal sungguh sangat memanjakan sekali sebagai tempat untuk mencari ketenangan. Apalagi pantai ini sangat sepi dan tersembunyi. Keberadaan batu-batu granit juga menjadi nilai kesempurnaan tersendiri bagi pantai ini. 

Plakat arah ke Pantai Babilaian
Jalan akses ke Pantai Babilaian
Pantai Babilaian
Setelah cukup puas menikmati keelokan Pantai Babilaian, saya bergegas ke Tanjung Kelayang. Niatan saya mulanya di Tanjung Kelayang adalah mencari wisatawan yang bisa saya ajak buat share cost untuk menyeberang ke Pulau Lengkuas. Maklum untuk penyebarangan, satu kapal tarifnya 400k. Kapal ini bisa digunakan untuk 10 orang. Sayangnya, kali ini saya tak dapat barengan. Alhasil, saya hanya memandangi laut dari tepi sambil  menikmati kelapa muda ditemani rokok dan berbincang dengan penduduk setempat.


Tanjung Kelayang
Pantai Tanjung Kelayang
Salah satu sisi keindahan Tanjung Kelayang
Pantai Tanjung Kelayang
                Setelah dirundung rasa kecewa karena tak bisa ke Pulau Lengkuas, saya langsung beranjak ke pantai paling terkenal se-Belitung. Ya, Pantai Tanjung Tinggi. Pantai yang terkenal karena film laskar pelangi. Di pantai inilah salah satu scene  film tersebut dibuat. Di bandingkan dengan Pantai Babilaian, pantai ini jauh lebih ramai oleh pengunjung. Akan tetapi batuan granit di sini sungguh tiada bandingannya. Kondisi airnya juga jernih dan sangat memanjakan wisatawan untuk bermain di sekitaran pantai bahkan hingga agak ke tengah laut. Di sini juga banyak terdapat penjual makanan yang menjajakkan menu hasil laut. Makan siang saya lewatkan di sini dengan menu cumi tepung goreng.

Scene pembuatan film Laskar Pelangi
Pantai Tanjung Tinggi
Pantai Tanjung Tinggi yang dipenuhi batu granit
Di tepi jalan yang mengakses Tanjung Tinggi sudah banyak dipenuhi oleh resort dan penginapan. Hal ini juga terlihat di sekitar Pantai Tanjung Kelayang. Sesuatu yang menurut saya sedikit heran mengenai obyek wisata di pulau ini adalah ketiadaan retribusi memasuki kawasan wisata dan biaya parkir. Hal ini tentunya sangat berbeda sekali dengan obyek wisata di Pulau Jawa. 
Saya sempat lama berada di Tanjung Tinggi karena memang terpukau dengan keindahannya. Apalagi gerimis tipis membuat suasana menjadi redup-redup romantis. Ah, seseorang ketika itu sedang saya harapkan berada di sini. Tuhan mungkin telah memberi spoiler tentang gambaran surga dalam sebuah landscape di salah satu ujung utara Pulau Belitung.

Sehabis ashar saya beranjak kembali ke hotel melalui Sijuk menuju Tanjung Pandan. Jalanan yang basah setelah diguyur hujan membuat saya teringat lagunya Ipang, Sahabat Kecil. Di sepanjang jalan banyak sekali ilalang, pantai, dan perkampungan. Ada kedamaian hati yang tak terungkap dibalik kuda besi yang saya pacu melintasi keindahan. Keindahan yang sangat berbeda dari apa yang pernah saya lihat. Keindahan yang suatu saat ingin saya lewatkan dengan seseorang.      

Perjalanan Pulang

6 Okt 2013

Catatan Perjalanan ke Krakatau


Sejarah dunia mencatat, sebuah gunung di perairan Selat Sunda meletus pada tahun 1883. Letusan yang sampai saat ini masih menjadi legenda karena kedahsyatannya. Letusan tersebut mengakibatkan tsunami dan menelan tak kurang dari 36.000 jiwa. Tidak hanya itu, letusan ini juga berdampak pada perubahan iklim dunia. Sesaat setelah letusan ini, dunia digelapkan oleh abu vulkanisnya selama lebih dari dua hari.



Menurut Pak Chandra selaku penduduk lokal yang menjadi nahkoda dan guide kami selama di perjalanan ini, letusan Krakatau menyebabkan daratan dimana gunung tersebut dulu berdiri terbelah dan terpisah menjadi dua, yaitu Gunung Rakata yang tinggal setengahnya saja dan Pulau Panjang.  Dan di antara keduanya, pada tahun 1930 munculah Gunung Anak Krakatau. Gunung berapi ini punya satu keistimewaan dimana setiap tahun tingginya bertambah 4 cm dari permukaan laut. Sampai saat ini Anak Krakatau telah berumur 83 tahun dengan memiliki ketinggian 230 m.
                Perjalanan kami menuju anak Krakatau dimulai dari stasiun tanah abang. Kami serombongan terdiri atas 21 pria, tanpa wanita. Entahlah, sudah berapa kali perjalanan telah terlewatkan tanpa kehadiran seorang wanita. Rombongan kami terdiri atas 7 orang alumni STAN Bintaro, sisanya alumni STAN Bea Cukai. Seperti biasa, sebagai ketua rombongan, saya selalu tiba paling akhir di stasiun.


Meeting Points di Stasiun Tanahabang 
Dari stasiun tanah abang kami memesan tiket KA Ekonomi Krakatau. KA yang melayani rute Merak – Madiun PP ini tergolong sebagai kereta baru. PT KAI sendiri baru meluncurkan dan mengoperasikan kereta ini beberapa bulan yang lalu. Seumur-umur, inilah kereta ekonomi terbaik dan ternyaman yang pernah saya tumpangi.  Tempat duduknya yang masih tersegel rapi dengan formasi seat 2 -2. Tidak hanya itu kondisi pendingin udara (AC) masih sangat berfungsi dengan baik.


Suasana di dalam kereta
Tepat pukul 22.30 kereta berangkat menuju Stasiun Merak, kami serombongan berada di dalam satu gerbong yang malam itu benar-benar kami kuasai. Perjalanan selama kurang lebih tiga setengah jam kami isi dengan bermain kartu, narsis dan report perjalanan di depan kamera, serta canda tawa dibalik cerita. Meskipun ada juga yang sedari masuk ke dalam kereta langsung amblas tertelan mimpi, contohnya @princemelon dan @ian_nurseto.


Bermain bridge di dalam kereta
Setibanya di Stasiun Merak, kami langsung bergegas menuju kapal fery yang akan mengantar kami ke Bakauheuni. Letak stasiun dan pelabuhan begitu dekat, sehingga untuk menuju ke deck kapal kami cukup melewati jembatan penyeberangan. Di dalam kapal kami langsung upgrade ke ruang executive agar bisa leluasa beristirahat sambil menunggu kapal berlabuh.


Suasana di kapal fery yang menuju Bakauheuni
Estimasi penyeberangan yang semula kami rencanakan memerlukan waktu dua jam kali ini meleset. Sewaktu akan berlabuh, kapal kami ternyata harus menunggu giliran. Peristiwa semacam ini memang diluar kebiasaan atau bisa dibilang luar biasa. Baru pada pukul 06.00, kami akhirnya mendarat di Pulau Sumatera. Setelah belanja di Indomaret pelabuhan Bakauheuni, kami langsung bergegas menuju Dermaga Canti via Angkot yang kami carter.


Isa, Dinto, nDolo, Nopek

Dermaga Canti
Perjalanan ke Dermaga Canti dari Bakauheuni lumayan jauh. Kondisi jalanan yang naik turun membuat angkot kami sempat mogok di tanjakan. Penantian selama satu jam lebih akhirnya berujung pada sebuah dermaga kecil bernama Canti. Di sinilah perjalanan ke Krakatau benar-benar baru akan dimulai.
Hampir tiga jam kami terombang-ambing di dalam kapal yang melaju melintasi lautan. Cuaca siang itu sangat cerah, tak kuasa kulit kami terbakar matahari. Tujuan kami selepas dari Dermaga Canti tadi adalah Pulau Sebesi, pulau kecil berpenghuni terdekat dari Anak Krakatau. Pada awal perjalanan, saya memutuskan tidur di deck bawah karena memang saya mengantuk sekali. Kondisi di deck atas sangat panas karena tidak ada peneduhnya. Sudah lumrah memang karena kulit saya sangat alergi sekali dengan panasnya sinar matahari sehingga hanya sesekali saya naik ke deck atas hanya jika ingin melihat pemandangan dan mengistirahatkan telinga dari suara bising mesin. Bau solar di deck bawah sebenarnya juga sangat menusuk dan bikin tak betah tapi mau bagaimana lagi memang beginilah kondisinya.
Setelah dua jam lebih di perjalanan, kapal kami berhenti sebentar di sekitar Pulau Sebuku. Di perairan Pulau Sebuku ini, wisatawan biasanya melakukan snorkeling, begitu juga dengan kami. Akan tetapi, karena kami tidak membawa (baca: tidak mendapat persewaan) alat snorkeling, terpaksalah kami snorkeling tanpa alat. Mungkin lebih tepatnya disebut berenang di laut lepas. Saya sendiri urung melakukan hal ini.


Berenang bebas di laut
Perjalanan dari Sebuku menuju Sebesi bisa ditempuh selama 30 menit. Kedatangan kami di Pulau Sebesi langsung disambut oleh Bapak Hayun yang sebelumnya sudah saya hubungi untuk menyediakan akomodasi selama kami berada di sini. Perlu diketahui, Bapak Hayun merupakan orang kepercayaan Pemerintah Provinsi Lampung yang ditugasi untuk menyediakan akomodasi bagi para wisatawan yang melakukan perjalanan ke sini. Dari Beliau, kita bisa memesan penginapan, makanan, dan bahkan kapal serta alat snorkeling.


Pendaratan kapal di Dermaga Sebesi
Sedikit gambaran mengenai Pulau Sebesi. Pulau ini merupakan satu-satunya pulau berpenghuni dari sekian gugusan pulau yang berada di dekat Krakatau. Para wisatawan biasanya menginap di sini sebelum melanjutkan perjalanan ke Krakatau. Tidak heran, apabila warga di sini merelakan rumahnya untuk dijadikan homestay. Kondisi di pulau ini tidak jauh berbeda dengan perkampungan desa pada umumnya. Infrastruktur berupa jalan raya sudah tersedia. Selain itu, fasilitas berupa sekolah dan puskesmas juga bisa dijumpai di pulau ini. Hanya saja, ketersediaan listrik di pulau ini hanya bisa didapati waktu menjelang maghrib sampai tengah malam.

Pulau Sebesi dari dekat

Kondisi homestay



Suasana jalan di Pulau Sebesi

Perkampungan di Pulau Sebesi

Rasa lelah selama perjalanan di kapal tadi kami lampiaskan dengan beristirahat sambil menikmati kelapa muda yang dipadu dengan sejuknya sepoi-sepoi angin pantai. Setelah makan siang dan sholat dzuhur, perjalanan kami lanjutkan dengan island hopping dan beach exploring di Pulau Umang dan sekitaran Pulau Sebesi. Pulau Umang letaknya tak begitu jauh dengan Pulau Sebesi, pasir putih dan bebatuan karang menjadi ciri khas pulau yang ukurannya hampir sama dari lapangan bola ini.  Jernihnya air di sekitaran pulau ini juga menjadi nilai plus tersendiri.


Hendra, Arya, Papang, David, Suryo di Pulau Umang
Menjelang senja, kami mengeksplorasi sisi lain Pulau Sebesi. Salah satu obyek yang kami kunjungi adalah rumah pohon. Rumah ini bisa disewa dan  ditempati tetapi kondisinya kurang begitu terawat. Sebagai sajian terakhir di hari pertama kami di sini, terbenamnya matahari menjadi pelengkap indahnya perjalanan dan penutup senja hari itu. Pemandangan eloknya cakrawala ini kami dapati di tengah-tengah antara Pulau Sebuku dan Sebesi. Mungkin ini sunset terbaik yang pernah kami dapati  di atas kapal.


Rumah Pohon

Sunset di atas kapal
Ketika hari mulai beranjak gelap, kami kembali Ke Sebesi. Setelah mandi dan makan malam, praktis tak ada kegiatan yang kami lakukan. Ada dua homestay yang kami sewa sehingga kebersamaan kami agak sedikit terpisah malam itu. Apalagi malam itu saya memutuskan untuk tidur lebih awal mengingat esok pagi buta kami haru sudah bergegas lagi ke dalam kapal dan melanjutkan perjalanan menuju Anak Krakatau. 
Gelombang laut pagi itu cukup besar. Hampir selama dua jam kami terhempas oleh ganasnya lautan. Saya sendiri komat kamit baca doa di sepanjang perjalanan yang penuh memacu adrenalin itu. Bagaimana tidak seringkali kapal yang kami tumpangi miring ke kiri seolah-olah mau karam. Bahkan di deck depan, air sampai masuk ke dalam kapal. Pelayaran penuh mendebarkan itu akhirnya berakhir setelah kapal kami bersandar di Pulau Anak Krakatau. Hamparan pasir hitam yang katanya mengandung banyak bijih besi menjadi ciri khas tersendiri dari tepian pulau ini. Pagi itu, banyak kapal yang berlabuh. Suasana cukup ramai oleh kehadiran para wisatawan. Di antara dari mereka bahkan banyak yang mendirikan tenda di sekitaran tepi pantai. 


Pantai di Pulau Anak Krakatau, kapal berlabuh
Sunrise di Pantai  Krakatau

Untuk mendaki gunung ini, wisatawan  perlu mengurus izin terlebih dahulu. Maklum, tempat ini termasuk kawasan cagar alam. Biaya administrasi dan guide di sini sudah termasuk dengan biaya sewa kapal. Jadi tak perlu mengeluarkan uang lagi. Setelah proses izin selesai, kami kembali melanjutkan perjalanan yang menjadi intisari perjalanan ini, mendaki Gunung Anak Krakatau. Medan pendakian Gunung Anak Krakatau tak begitu sulit, maklum gunung ini hanya memiliki ketinggian 230mdlp dengan banyak hamparan pasir dan bebatuan. Pendaki tidak diperbolehkan mendaki sampai ke puncak mengingat tidak ada jalur yang bisa diakses untuk menuju ke sana. Overall, pemandangan yang ditawarkan oleh gunung ini cukup mengesankan.


Cagar Alam Krakatau


Pendakian ke Anak krakatau
Spot tertinggi di Anak Krakatau yang bisa dijangkau berupa puncak punggungan bukit. Di sini kami banyak mengambil gambar. Membuat pesan dan berfoto narsis. Ada kejadian sedikit unik di sini, karena saya bertemu dengan Yohan. Dia adalah kawan kami (rombongan Bintaro) sewaktu ke Pulau Seribu tahun lalu. Kebetulan dia sedang mangadakan trip bersama rekan-rekan kantornya.


Foto bersama Yohan (Army) di Krakatau

untitle


Foto sebelum turun
Sesaat setelah turun, kami sarapan sambil menyaksikan pemadangan bule berenang. Tak mau kalah @yanuarAU juga menjadi hiburan tersendiri bagi kami pagi itu. Setelah perut terisi, perjalanan kami lanjutkan ke Legoon Cabe untuk snorkeling. Saya dibuat terkesima akan pemadangan yang terdapat di antara Anak Krakatau dan Legoon Cabe. Dibandingkan dengan spot lainnya di sekitar gugusan kepulauan ini, Legoon Cabe menawarkan pemandangan bawah laut dan ikan yang lebih beraneka ragam. Sayangnya kami tak bisa lama-lama di sini karena hari sudah menjelang siang.


Perjalanan turun
Legoon Cabe
                Tiba di Pulau Sebesi, kami segera packing dan bergegas untuk pulang. Tak lupa, sebagai traveller beriman kami sholat terlebih dahulu setelah dapat jatah makan siang.  Lama perjalanan ketika kembali ke Dermaga Canti seolah menjadi lebih singkat kali ini. Cuaca juga cukup bersahabat dan tidak paans seperti waktu kami berangkat kemarin. Dengan menggunakan angkot yang sama seperti yang telah kami pesan kemarin, kami langsung menuju Pelabuhan Bakauheuni untuk menaiki Fery yang akan membawa kami kembali ke Pulau Jawa.

                Di Terminal Merak, rombongan Bintaro dan Rawamangun terpisah karena kami menggunakan bus yang berbeda jurusan. Sedikit berbeda dengan kereta yang kami gunakan sewaktu berangkat, perjalanan menggunakan bus ternyata membutuhkan waktu yang lebih singkat. Namun tetap saja, kami tiba di Bintaro sudah larut pagi. Dan hampir semua estimasi waktu yang kami perkirakan meleset dari tujuan yang ada di itinerary kami.

Pelaksanaan Itinerary
Hari I (Jumat, 6 September)
-          22.00                     : Meeting Point di Stasiun Tanah Abang
-          22.30                     : Berangkat ke Pelabuhan Merak
Hari II (Sabtu, 7 September)
-          02.00                     : Tiba di Pelabuhan Merak
-          02.30                     : Menyeberang ke Pelabuhan Bakauheuni
-          06.00                     :Tiba di Pelabuhan Bakauheuni
-          06.30                     : Perjalanan ke Dermaga Canti
-          08.00                     : Tiba di Dermaga Canti, sarapan
-          09.00                     : Perjalanan ke Pulau Sebesi
-          11.30                     : Snorkeling di Sebuku
-          12.30                     : Tiba di Pulau Sebesi, Ishoma, Check in homestay
-          15.00                     : Island hopping dan beach exploring di Umang-umang dan Sebesi
-          17.30                     : Sunset di tengah laut
-          18.00                     : Kembali ke Pulau Sebesi
-          19.00                     : Istirahat
Hari III (Minggu, 8 September)
-          03.30                     : Bersiap menuju Krakatau
-          06.00                     : Eksplore Anak Krakatau
-          09.00                     : Snorkeling di Lagoon Cabe
-          11.00                     : Kembali ke Pulau Sebesi
-          12.30 – 15.00      : Ishoma, Packing, Sarapan, kembali ke Dermaga Canti
-          17.30                     : Tiba di Dermaga Canti, kembali ke Pelabuhan Bakauheuni
-          19.00                     : Penyeberangan ke Pelabuhan Merak
-          22.00                     : Tiba di Pelabuhan Merak
-          23.00                     : Perjalanan ke Jakarta
-          03.00                     : Tiba di Bintaro

Rincian Biaya
-          KA Krakatau Tanah Abang – Merak                          30k
-          Kapal fery Merak – Bakauheuni PP                          24k
-          Upgrade kapal ke kelas                 eksekutif PP                       20k
-          Angkot Bakauheuni – Dermaga Canti PP                                340k
-          Sewa Kapal                                                                         3,5d
-          Sewa 2 Homestay                                                            400k
-          Makan @15k x 5                                                               75k
-          Bus Merak – Jakarta                                                       23k

Tips n Trick
-          Ketersediaan alat snorkeling di Pulau Sebesi sangat terbatas, kondisinya pun sudah banyak yang rusak, sehingga perlu membawa alat snorkeling sendiri dari Jakarta. Tarif yang dibebankan untuk alat snorkeling di Pulau Sebesi berdasarkan item, yaitu berupa life jacket, snorkel, dan fin, masing-masing alat dibanderol 20k. Hal ini sangat berbeda sistem persewaannya dibandingkan yang ada di Kep. Seribu yang memasang tarif 30-35k per hari.
-          Untuk Kapal yang dipakai buat eksplore di sekitar kawasan Pulau Sebesi dan Krakatau alangkah lebih bijak dipesan jauh-jauh hari terlebih dahulu. Hal ini untuk mencegah perjalanan ke Dermaga Canti menjadi tidak sia-sia mengingat terkadang kalau sedang ramai oleh wisatawan, kapal biasanya habis terpesan.

CP:
Bapak Chandra 081369686243 (Sewa Kapal)
Bapak Hayun 081369923312 (Homestay dan akomodasi)               

Video Perjalanan


27 Agu 2013

Perjalanan Menggapai Menara Suci Ranah Dewata


                Ada yang kurang rasanya jika akan melewatkan waktu lebih dari sebulan di Bali tanpa mengunjungi  puncak tertinggi di pulau ini. Pemandangan pantai, mungkin sudah jadi sajian setiap hari yang begitu dengan mudahnya dijangkau. Akan sedikit berbeda jika tempat yang dikunjungi adalah ranah tertinggi  di Pulau Dewata: Gunung Agung. Bukan hanya keindahan alam yang membuat jiwa petualang kami terpanggil melainkan juga sensasi kemistisan yang membuat kami tertarik mengunjungi salah satu tempat yang disucikan oleh Umat Hindu di Bali ini sehingga kami rela membawa carier yang membebani punggung, melangkahkan kaki yang terbelenggu rasa lelah, dan menyalakan gelora semangat dalam setiap nafas yang letih.
                Malam hari akhir pekan pertama bulan Juli, perjalanan dari Denpasar menuju Pura Besakih di Kabupaten Karangasem, masih terkenang di ingatan. Mobil Xenia yang kami tumpangi sudah penuh sesak dengan 8 orang: Saya, Nopek, Nana, Budi, Tumbur, Puye, Yoga dan Anom sebagai sopir pribadi kami. Kapastitas 8 orang yang mengisi Xenia ini sebenarnya sudah terlalu dipaksakan apalagi di dalamnya masih terdapat beberapa carier berat berisi perbekalan dan peralatan kami selama pendakian. Hal ini masih diperparah dengan gangguan yang terdapat dalam sistem klakson mobil kami yang tidak berfungsi.
                Perjalanan kurang lebih sekitar dua jam kami tempuh dari Denpasar menuju Pura Besakih. Jalanan yang sepi membuat saya tertidur selama berada di mobil meskipun jalurnya menanjak dan berkelok-kelok. Sesekali terjaga yang saya lihat hanya anjing yang sering kami jumpai di pinggir jalan. Lewat tengah malam kami tiba di Pura Besakih, pura terbesar di Pulau Bali. Kondisi saat itu dingin dengan suasana malam khas mencekam, terlebih gonggongan anjing saling bersahutan di sekitar kami. Satu hal yang menjadi nilai plus malam itu adalah kondisi langit bertabur bintang yang sungguh indah.
                Kesalahan kami dalam perjalanan kali ini adalah ketidaktahuan rencana mengenai hal pertama yang harus dilakukan setibanya di Pura Besakih, terlebih dengan kondisi larut malam seperti ini. Kami tidak tahu ke mana mesti beristirahat  dan melapor perizinan terlebih dahulu sebelum melakukan pendakian. Untunglah gelagat kami yang mencurigakan dengan memutari jalanan di sekitar pura mendapat respon oleh orang-orang sekitar yang kebetulan sedang melakukan ritual keagamaan. Setelah bertanya dan memberitahu maksud kami, mereka akhirnya menyarankan kami untuk pergi ke Pos Polisi (Pospol) yang ada di seberang belakang pura.
                Pos Polisi yang kami jumpai tidak begitu jauh lokasinya dari pura, di kantor ini terdapat seorang polisi yang kebetulan sedang dinas malam. Dari polisi tersebut kami menggali informasi tentang persyaratan dan perizinan melakukan pendakian. Dan yang lebih penting lagi, akhirnya kami menemukan toilet setelah menahan kencing selama perjalanan tadi. Salah satu syarat yang harus kami penuhi ketika akan melakukan pendakian adalah keharusan memakai jasa guide. Maklum, jasa guide sudah menjadi kewajiban sebagai pemandu bagi pendaki. Hal ini mulai diberlakukan setelah kecelakaan menimpa pendaki dari Bandung beberapa tahun lalu. Perlu diketahui, apabila terjadi kecelakaan yang menewaskan pendaki, umat hindu di sini harus melakukan ritual pembersihan gunung yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Oleh karena itu, jasa guide ini dimaksudkan untuk meminimalisir terjadinya kecelakaan. Tarif untuk seorang pendaki di sini tergantung proses negoisasi. Pada awalnya guide kami mematok harga 900k, setelah kami tawar akhirnya harganya menjadi 500k. Tarif setengah juta ini sebenarnya diluar ekspektasi kami yang memperkirakan hanya sekitar 350k saja.
Pos Polisi di Besakih
                Dari kedelapan orang, hanya 6 orang yang ikut dalam pendakian ke Gunung Agung. Yoga dan Anom tidak ikut karena memutuskan untuk memilih liburan sendiri ke Lovina di Singaraja. Pendakian kami mulai pukul 9 pagi setelah berbekal sarapan dengan pop mie. Mencari makanan yang halal di sini memang susah makanya untuk yang aman kami makan pop mie saja. Medan awal pendakian dipenuhi oleh ladang perkebunan warga selama satu jam pertama sampai akhirnya kami tiba di Pura Pengubengan. Di Pura Pengubengan kami dituntun oleh guide kami untuk melakukan ritual meminta keselamatan selama melakukan pendakian. Setelah istirahat dan berdoa sejenak, kami melanjutkan perjalanan.

Ritual di Pura Pengubengan

 Medan pendakian di Gunung Agung menurut saya termasuk kategori ekstrem karena jalannya selalu menanjak dan tak ada bonus sama sekali. Suasana mistis jelas bisa terasa karena sepanjang perjalanan terdapat bekas persembahan. Belum lagi gunung ini termasuk gunung yang tidak ramai dan umum untuk dijadikan obyek pendakian. Hal ini bisa dilihat dari sepanjang perjalanan yang jarang sekali terlihat sampah. Waktu itu bahkan hanya ada satu rombongan yang ada di depan kami.
Selama melakukan pendakian, mata kami sangat sedikit sekali dimanjakan oleh pemandangan mengingat jalur yang kami lewati selepas dari Pura Pengubengan tadi langsung menembus hutan belantara dan melewatii jalur punggung gunung yang terus menanjak. Di dalam perjalanan ini kami terpisah menjadi dua. Di posisi depan ada Tumbur dan saya yang ditemani oleh guide kami sedangkan di belakang ada Nana, Nopek, Puye, dan Budi. Formasi ini terjaga sampai sesekali kami beristirahat untuk saling menunggu.

Tim Pendaki: Tumbur, Budi, Nana, Saya, Puye, dan Nopek
Saya dan Tumbur  yang di depan semakin jauh meninggalkan kawan kami berempat dibelakang. Puncaknya adalah ketika kami berdua tiba dipersimpangan jalan yang menuju arah Girikusuma. Di sini saya memutuskan untuk menunggu Nopek dkk yang ada di belakang dan membiarkan Tumbur dan guide kami untuk leading di depan karena mereka hendak mendirikan tendak terlebih dahulu di Watu Tulis sehingga saat kami tiba di sana kami tinggal beristirahat.

Persimpangan Parang Girikusama
Persimpangan Girikusuma merupakan tanda bahwa perjalanan sudah sampai setengahnya. Di sini ada dua jalur, ke kanan berarti menuju sumber mata air yang disucikan dan tak bisa seenaknya diambil dan jalur ke kiri yang akan menuntun perjalanan sampai ke puncak. Waktu itu kami tiba di Girikusuma pukul setengah 4 sore. Jauh dari rencana estimasi waktu kami yang menargetkan tengah siang. Selama hampir satu jam saya menunggu sendirian di Girikusuma, saya melewatkan waktu dengan memutar playlist lagu-lagu milik John Denver dan Franky Sahilatua. Sedikit mengusir rasa takut dan membayangkan seseorang di sana.
Pukul setengah 5 sore, rombongan Nopek dkk. tiba juga di Girikusuma. Setelah istirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini Saya dan Nana leading di depan dan semakin jauh meninggalkan Nopek, Puye, dan Budi di belakang. Kondisi yang semakin senja membuat kami bergegas untuk segera sampai di Watu tulis sebelum matahari tertelan oleh malam.

Senja di perjalanan menuju Watu tulis
Saya dan Nana akhirnya tiba juga di Watu tulis dan menemui Tumbur. Dengan kondisi tenda belum beres, kali ini kami bertiga mesti mendirikan tenda bersama. Saat itu waktu menunjukkan pukul 7 malam. Sedangkan Nopek dkk. baru sampai satu jam setelah kami. Dengan cemilan makanan seadanya kami mengisi waktu yang berlalu sambil menunggu kedatangan Nopek dkk. saat itu kondisi kami benar-benar dilenyapkan oleh kelemasan akibat tak ada makanan berat cukup kalori yang bisa kami makan selama pendakian tadi. Lebih parahnya, kami belum makan nasi selama hampir 24 jam. Apalagi paginya cuma sarapan pop mie. Tak banyak kami terjaga selama malam itu mengingat perjalanan kami keesokan hari masih akan berlanjut.

Suasana kehangatan tenda di Watu tulis
Pukul 4 pagi kami sudah siap melakukan summit attack dan mengejar sunrise. Sayangnya kali ini Puye dan Budi tak bisa ikut karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan. Puye sendiri sejak awal pendakian sudah menunjukkan gejala gangguan fisik yang tidak biasa. Medan selepas Watu tulis berupa bebatuan yang menanjak semakin terjal. Kali ini kami tidak sendiri karena banyak rombongan di belakang kami yang menyusul ke puncak, kebanyakan dari mereka adalah Turis asing. Kondisi alam selama perjalanan menuju puncak kali ini diselimuti kabut yang sesekali jatuh dalam bentuk gerimis tipis. Satu hal yang menggugah nyali di pagi itu adalah angin yang berhembus kencang. Toh, dengan tekad, asa, dan semangat yang tersisa akhirnya kami menapaki juga puncak agung di ketinggian 3081 mdpl.

Puncak Gunung Agung
Gunung Agung memilik tiga puncak, sayangnya puncak ketiga tidak bisa digapai karena jalan ke sana sudah putus. Dari menara suci ini terlihat Pulau Bali yang berada di bawah naungan awan, lautan biru yang masih terjaga dalam tidurnya, Pulau Jawa yang masih terselimuti gelap di ufuk barat, dan mentari terbit dari sela-sela Rinjani. Tuhan, alangkah agung ciptaanMu dan betapa kecilnya kami….

Nopek, Saya, The Guide, Tumbur, dan Nana di Puncak Agung

Perjalanan Turun dari Puncak