24 Okt 2014

pamit


tak peduli kesalahan macam apa yang telah seseorang lakukan kepada kita. kita selalu punya alasan untuk memaafkan mereka.
yang membuat kita menjadi manusia seutuhnya adalah kerendahan dan kebesaran hati.
dalam kondisi seburuk apapun yang kini sedang kau jalani dengan seseorang, cobalah kembali membuka kenangan-kenangan baik yang pernah terjadi.

sukoharjo, 24 oktober

23 Okt 2014

pasangan yang baik

"pasangan yang baik itu bukan yang paling mencintai anda tapi yang paling mengerti anda. bagaimana menurutmu?"

-19 juli

16 Okt 2014

kesan


mereka yang pernah dekat dan mesra pernah berucap. 

|petualang, raja galau, puitis, tanggung jawab, cuek, baik|
|kritis, puitis, berpengetahuan luas, petualang; terlalu melankolis, galau-galau-galau, move on ziz, suka lepas tanggung jawab|
|galau ne ga ketulungan. kalau udah mesum parah lah, semuanya -perkataan dan perbuatan mesum. good traveller|
|stop pesimis dan galau, bro! bagi tips travelling!"
|jangan galau. tatapan matanya lembut banget. lembut atau gak yaa? baik. niat kalau buat tugas (kata orang sih gitu). petualang tapi takut naik wahana. semangat, ziz!|
|galau. petualang. kata bijak master. eman karo kanca. headset gede banget. kosan mantap|
|katanya petualang, berani dikit kek di dufan. joss lah, perjalananmu ziz. salute..|
|suka mempublikasikan kegalauan di kelas. semangat bung!|
|traveller sejati. otak selangkangan. jablay|
|galau, gak jelas, petualang, pemarah|
|gaul. gila bola. baik. supel|
|egois. koplak. sok puitis. bolang abis. kalau ada kesempatan, ayok ngeteng bareng lagi|
|puitis. pinter. setia kawan (kayaknya). royal (kayaknya). raja galau, sering oot. jangan terlalu sering ngegalau yaa, sekarang udah hampir gak pernah. oh ya, kalau ngobrol perhatiin topi. jatuhnya jadi oot. periksa wmp sebelum minjemin laptop ya|
|mr galau. jangan takut naik wahana. coba out of the box deh sekali-kali|
|petualang yang emosian. santai bro, gak usah tegang terus. gak usah emosi terus|
|galaunya asek. kata-katanya maknyos. gokil. easy going. asik dan rame. tanggung jawab. keep movin bro|
|kadang-kadang kelihatan sinis gitu. suka galau ya. tapi orangnya mau belajar|
|baik. enak diajak bercanda|
|jejak petualang. punya warna sendiri|
|baik. terlalu nyantai. blak-blakan. rada mesum. moody. sering galau. asyik diajak ngobrol. bisa diajak bercanda. traveller. suka dadakan hedon. kooperatif. setia kawan|
|senang menjelajah, baik tempat maupun hati wanita. tampan kata-katanya. teruskan! wanita seringkali mendengar|
|baik|
|galau-galau banget. playmaker 100%|
|agak pendiem tapi habis diajak ngomong banyak wawasan. wawasan ngeresnya|
|sering galau. sering backpackeran. orangnya baik. suka bercanda. susah move an kayaknya. semangat ziz!|
|galau bae kowe ziz|
|hobi naik gunung tapi gak berani naik wahana|
|jalan terus bro|
|cupu. nggatheli. mesum utek'e. teman yang baik. asiklah. kowe mlaku-mlaku wae, duitmu ra entek-entek to? sukses dunia akhirat bro"|
|egois. ngerasa bener sendiri padahal gak pantes. banyak pengalaman tapi jangan jadi sombong ya|
|nih orang stay cool banget tapi sekalinya dalam posisi mellow mode on, hilang deh wibawanya. aziz kasih aja pisau tetep hidup lah dia meski dilempar ke hutan|
|kurangin ngomong masalah cinta ke orang lain, karena belum tentu menarik bagi mereka. semoga dream island terwujud tahun ini|
|galau dan suka pesimis. pinter dan kritis, tapi ya itu kadang suka pesimis aja. semoga boleh menemukan cinta yang yepat yah biar ga galau lagi, hohoho|
|cowok suka galau itu gak nikah-able. jangan galau mas-e! ayo berani naik wahana, katanya petualang|

selanjutnya, terserah kalian mau menilai seperti apa. 

Bintaro, March 2013

12 Okt 2014

Discover Lombok ( Part I: Jalan Panjang Menuju Lombok)


Sri tanjung pagi itu mengalami keterlambatan. Kami bersembilan -aku, andri, surya, ian, arya, machin, ndolo, ochim, dan dhimas mesthi menunggu dua jam lebih lama di peron stasiun. Kereta seharusnya sudah berangkat pukul 08.15. Akan tetapi, gangguan pada lokomotif yang terjadi selepas berangkat dari Jogja membuat kereta terhenti lama di Prambanan -setidaknya begitu yang diinformasikan oleh petugas stasiun.

Pukul 10.00 lewat, kereta berangkat. Kami bersembilan sudah ditunggu Abu di gerbong 5 yang berangkat dari Jogja. Perjalanan ini kami lakukan untuk mengisi waktu luang sekaligus merayakan keberhasilan kami setelah melakukan test kompetensi dasar guna penempatan instansi kementerian keuangan beberapa waktu yang lalu. Banyak cerita terjadi dalam kereta di perjalanan kali ini. Dan sepertinya, Ian terpilih sebagai lakon utamanya. Betapa tidak, kisah asmara dan sifat kleptonya terlalu sayang untuk dilewatkan sebagai bahan obrolan. Lebih detailnya, aku tak akan bercerita. Karena hal ini tentu saja akan sangat tidak manusiawi dan melanggar ranah privasi milik sahabat kami paling gantheng ini.

Hampir lewat tengah malam, kereta akhirnya tiba di Stasiun Banyuwangi Baru. Kami melangkah keluar menuju Pelabuhan Ketapang yang tak jauh keberadaanya dari pintu stasiun. Setelah makan malam dan repacking, kami membeli tiket dan menyeberang ke Pulau Bali. Perjalanan ke timur masih akan jauh berlangsung.

Penyeberangan mengarungi Selat Bali hanya butuh waktu satu jam. Setibanya di Pelabuhan Gilimanuk kami istirahat sebentar. Seturunnya dari kapal, aku mengajak ngobrol petugas pelabuhan perihal akses dan moda transportasi yang bisa digunakan untuk menuju Padangbay. Sayangnya, bus umum terakhir yang langsung menuju ke Padangbay sudah berangkat semenjak pukul 02.00 dinihari. 

Kami pun memutuskan untuk mencater bus menuju Padangbay karena tak ada alternatif lain. Kebetulan sekali, kami bertemu dengan serombongan mahasiswa dari Jogja yang sama-sama ingin mendaki Rinjani. Jadilah kami berbarengan mencater bus agar dapat sharing-cost

Aroma udara pagi ranah dewata lembut membelai. Bus tua  yang kami tumpangi ini melaju cukup kencang. Setidaknya, aku merasa nyaman dan cukup dimanjakan oleh pemandangan yang ada di sepanjang jalan. Akan tetapi, ditengah-tengah jalan, bus ini tiba-tiba saja memutuskan untuk menaikkan penumpang. Kondisi ini tentu saja membuat kami mulai merasa tidak nyaman. Apalagi ada penumpang yang membawa ayam hidup ke dalam bus. 

Perjalanan lima jam terasa seperti tak kunjung usai. Di saat yang sama, aku harus menahan kencing. Jalan-jalan yang terlewati sesekali menarik kenanganku ke belakang. Membawaku kembali kepada waktu-waktu yang dulu pernah membawaku ke sini. Dan sepertinya semua seolah berlalu begitu cepatnya. 

Perjalanan dengan bus tua ini akhirnya usai juga setelah kami tiba di Padangbay. Di sini, kami memutuskan untuk istirahat sejenak, mencuci muka, dan sarapan di salah satu warung yang kami temui sebelum melanjutkan kembali perjalanan.

**

Kapal fery yang menghubungkan Padangbay ke Lembar ternyata sedikit di luar perkiraanku. Kapal ini tergolong nyaman serta fasilitasnya cukup memanjakan para penumpangnya. Dengan harga tiket hanya “gocap”, perjalanan menyeberangi Selat Lombok yang memerlukan waktu hampir empat jam seperti tidak terasa. Kapal ini jauh lebih bagus dari kapal-kapal lintas pulau yang aku jumpai di Selat Bali bahkan di Selat Sunda sekalipun. Bisa dibilang, ini merupakan kapal fery terbagus yang pernah aku gunakan.

Kapal ini punya ruang eksekutif dengan kursi berupa sofa. Penumpang tak perlu upgrade tempat dan membayar lagi untuk bisa menikmati fasilitas - ini berbeda sekali dengan kapal fery Merak - Bakaheuni. Sambil melepas lelah, di ruang ini juga menampilkan hiburan berupa movie dan musik yang bisa dibilang anti mainstream (mainstream = dangdut koplo). Di deck atas, terdapat ruang tidur dan mushola. Hampir separuh waktu di kapal ini, beberapa dari kami - termasuk aku, memutuskan tidur di deck atas. Toilet di kapal ini juga bersih. Selain itu, tak ada pedagang asongan yang lalu lalang. Para pedagang asongan hanya diperbolehkan berjualan sebelum kapal berangkat dari dermaga. Salah satu yang menjadi nilai minusnya, kapal ini tak disediakan colokan listrik. Padahal hampir semua smartphone milik kami sudah sekarat.

Setibanya di Lembar dan menginjakan kaki di Pulau Lombok, kami langsung mencari carteran yang akan membawa kami ke Kota Mataram. Tak banyak angkutan umum yang tersedia di sini. Satu-satunya angkutan umum yang ada hanyalah engkel (semacam angkot). Itu pun sudah tak beroperasi jika lewat pukul 15.00. Karena kami tak sudi repot, jadilah kami memutuskan untuk mencarter mobil.

Tujuan kami ke Mataram kali ini adalah singgah di rumahnya Manda. Oke, akan aku perkenalkan. Manda adalah teman sekelasnya Ochim. Dari kami bersepuluh, tak ada yang pernah mengenal dia sebelumnya, kecuali Ochim tentu saja. Harus diakui kalau aku agak sedikit sungkan mesthi menumpang di rumah seseorang - perempuan lagi. Sebenarnya ini tak masalah jika dilakukan oleh dua atau tiga orang saja, masalahnya ini adalah sepuluh orang cowok yang tidak mengenal istilah basa-basi. Tak ada pilihan lain, mau bagaimana lagi.

Sore hari sebelum senja, mobil carteran itu mengantarkan kami tepat di depan rumahnya Manda yang berlokasi di Jalan Udayana. Setibanya di rumah ini, kami langsung disambut hangat dan diberi cemilan berupa aneka snack serta minuman. Di rumah ini, keluarganya Manda merelakan seluruh lantai dua rumahnya untuk kami. Dan di rumah ini pula kami beristirahat, tidur, mandi, serta “numpang makan". Kebaikan keluarga ini sungguh akan selalu terkenang di hati  kami. Berharap semoga Tuhan membalas semua kebaikan keluarga ini.

Perjalanan yang menjadi misi utama kami akan berlanjut esok hari. Rinjani, kami segera datang.

September 20-21, 2014

to be continued.....

10 Okt 2014

ironis


atas nama cinta kau dulu meninggalkannya. padahal kau sudah berjuang hampir setengah putus asa untuk mendapatkannya, sebelum akhirnya Tuhan memberimu amanah, lalu kau menyia-nyiakannya.

atas nama cinta kau kini setengah mati ingin kembali ke sana. lewat sujud tengah malam kau meminta pada Tuhan, berharap takdir dapat membawamu kembali ke sana.

barangkali kota itu sudah membuatnya gila, sebab telah menelan mimpi-mimpinya. dan kini menggodanya kembali untuk sebuah mimpi yang tertunda.

skh, okt 14

1 Okt 2014

Melankolis


I. Sanur
Mentari belum terbit. Hari masih gelap. Keriuhan belum menampakkan diri. Aku mengayuh sepeda di sepanjang bibir pantai. Berteman dengan kabut pagi dan suara ombak yang perlahan menepi. Tempat ini masih dibekap oleh sunyi. Aku tak pernah menemukan pagi selembut ini. Berharap suatu hari nanti dapat menyusuri kembali pantai ini dengan nuansa yang mesra. Lalu kita sama-sama melihat mentari terbit di cakrawala.
'Juli '13 *cp

II. Tj. Kelayang-Tj. Tinggi
Pelangi menghias langit. Sore ini, hujan baru saja reda. Aku berkendara sendiri melintasi jalanan Belitong yang sepi. Di sisi kanan,  ilalang tinggi terhampar. Di sisi kiri, pantai dan bebatuan granit terlihat begitu memanjakan mata. Tempat ini seperti surga. Keindahannya tiada tara. Hanya saja - sepengetahuanku, di surga ada bidadari bermata binar. Mampus aku, terlena oleh keindahan dalam kesendirian. Secara tiba-tiba, aku merindukan seseorang.
'Sept 13 *iz

III. Cihampelas
Bioskop malam baru saja usai. Aku berjalan sendiri menuju hotel. "kota ini sudah banyak berubah dari terakhir kali ku kunjungi", pikirku. Waktu beranjak menuju tengah malam, lalu hari sudah berganti sejak beberapa menit yang lalu. Aku masih berjalan sendiri, mengamati sekitar. Keadaan sepi dari hiruk pikuk kehidupan. Kenangan-kenangan berhamburan mengisi sudut-sudut jalanan - memenuhi pikiranku; "sudah lama sepertinya kota ini ku tinggalkan". Seraut bayang tiba-tiba menjelma rasa - melankolis. Berharap ia yang sudah tak ada datang menyapa. Sampai aku hilang di ujung jalan, tetap saja tak ada sapa. Ku terka, angin malam pasti tertawa.
'Mei 14 *ga

30 Sep 2014

benteng kota


aku seperti mendengar suaramu. mendengar lagu-lagu yang tempo hari kau nyanyikan.
begitulah kesan yang kudapat tatkala kembali ke benteng kotamu. tempat yang telah lama kau tinggalkan tanpa pesan - tanpa kata.

tapi aku tak pernah bosan berkunjung ke sana, meski jejakmu telah hilang, dan hanya ketiadaan yang kutemukan. lagu-lagu kesukaanmu yang lembut masih akrab menyambutku - meyakinkanku bahwa kau masih ada, dan mengundangku pada suatu senja untuk pulang.

*kereta pagi yang membawaku ke kota kelahiranmu, 
  Sept '14

17 Sep 2014

rahasia pertemuan

yang tersirat di sebelas juni

Pertemuan selalu menjadi rahasia Tuhan. Kita tak kan pernah tau dengan siapa dan di mana kita bertemu dengan seseorang. Kita tak perlu mencari, cukup meminta kepada yang menyimpan rahasia. Bila memang sudah waktunya, suatu saat hal itu pasti terjadi juga. Terkadang, hal itu terjadi tanpa rencana. Setelah itu, kita sendiri yang menentukan. Bertemu tak selalu bersatu.

Aku kira, Tuhan begitu sempurna menjaga keseimbangan.

-sritanjung

kecantikanmu adalah kesederhanaanmu


aku bertamu ke rumahmu suatu malam. seperti biasa kau selalu memintaku menunggu di beranda. lantas kau segera kembali masuk ke kamarmu untuk berias. selalu seperti itu. sejujurnya, aku lebih suka dirimu tanpa  memakai make-up dan berias. apalagi hari sudah malam. kita juga tak akan sedang keluar. bagiku, kau tetap istimewa dengan segala kesederhanaan yang kau punya.

lalu aku menahan langkamu masuk ke dalam. "jangan berias, nanti aku pulang!"

16 Sep 2014

aku ingin pulang


aku tidak tahu pasti kapan pertama kali mendengarkan lagu ini. hanya saja, lagu ini cukup menyita perhatianku sejak masih duduk di bangku sma. sampai sekarang, lagu ini masih menimbulkan tanya bagiku. ingin sekali rasanya aku mengajak berbincang dengan ebiet. menelusuri latar dan alasan serta bagaimana ia menciptakan lagu ini.

aku yakin frase "pulang" di sini memiliki makna yang luas dan dalam. bukan sebatas kembali ke kampung halaman,  sebagaimana seperti biasa kita mengejawantahkan makan "pulang". ada sesuatu yang menarik dan memaksaku untuk menelisik lebih dalam.

kata "pulang" bagiku menggambarkan sesuatu yang berkecamuk dan penuh pergolakan jiwa. bagaimana orang yang (ingin) "pulang" selalu diliputi  perasaan rindu, letih dan sepi. aku - atau mungkin kita, pernah mengalami hal sedemikian rupa. dalam jalan hidup yang penuh liku, dalam petualangan dan pencarian jati diri, atau mungkin dalam pelarian melepas bayang-bayang masa silam. kita akan tiba pada sebuah titik di mana kita menginginkan untuk "pulang". "pulang" dalam artian melabuhkan segenap jiwa dan raga. "pulang" yang memberikan kesan damai. "pulang" yang mengobati sejuta luka yang kita bawa dari perjalanan, meskipun hanya sesaat, sebelum kita memutuskan untuk berlari lagi.

**
"pulang" adalah engkau. tempat aku bisa menunjukkan segala ketidakberdayaan. tempat aku berteduh, bercerita, dan meringankan lara. aku selalu mencari jalan menuju ke sana. mencari celah untuk kembali mengetuk dan memasuki pintumu.

catatan: terinspirasi dari lagu aku ingin pulang oleh ebiet g ade. 
Solo, Sept 14


14 Sep 2014

14 September 2014


Lagu Blackbird terputar di playlist music. Lelaki itu, terbangun tiba-tiba dari tidur siangnya begitu mendengar alunan bridge dalam liriknya. Sementara langit di luar mendung, siang hari. 

Semenjak remaja, lelaki itu sudah terbiasa memutar beberapa lagu untuk menjadi teman pengantar tidur. Sampai ia tertidur, lagu-lagu itu masih berputar mengisi udara di ruang-ruang kosong dalam kamarnya. Dan biasanya lagu-lagu itu sudah berhenti berputar ketika lelaki itu terbangun. Selalu begitu.

Siang itu memang sedikit berbeda. Musim panas yang biasanya memancarkan terik di tengah harinya, kali ini tersaput mendung mega. Barangkali awan dan cuaca sedang mewakili apa yang terendap di jiwanya. Semesta rupanya telah bersekongkol memelankoliskan suasana.

Lelaki itu diliputi kegamangan tentang masa depan. Masa depan yang ingin sekali ia jelang dan lalui dengan perempuan yang dicintanya.

**
Ini tak lebih dari berbicara mengenai ketetapan takdir ataupun nasib anak manusia. Lelaki itu diliputi kekhawatiran yang menyelimuti batinnya. Tidak tahu bagaimana mengungkap perasaan dalam wujud kata untuk memantrai perempuannya agar ia tahu apa yang dirahasiakan oleh lelaki itu. Sebab waktu akan terus berlalu. Dan lelaki itu tahu, cepat atau lambat perpisahan adalah sesuatu yang pasti. Setidaknya sebelum itu terjadi, lelaki itu ingin mengatakan sesuatu yang belum tersampaikan dari segenap perjalanan yang telah mereka lalui berdua. Barangkali sesuatu itu diejawantahkan sebagai cinta.

Perjalanan waktu akan membuat lelaki itu meninggalkan kotanya, tempat di mana ia pertama kali bertemu dengan perempuannya. Di kota itu pula, segala kisahnya bersemi. Cerita mereka tersimpan lekat di jalanan dan bangunan tua kota itu yang menjadi saksi. Begitu pula dengan perempuan yang menjadi pujaannya, ia mesthi meninggalkan kota yang begitu banyak meninggalkan kenangan. Mereka tak tahu takdir akan membawa mereka berlabuh ke mana. Satu hal yang pasti, semua orang membutuhkan pulang dari jauh perjalanan yang mereka lakukan. Setidaknya lelaki itu ingin berujar, jika perempuan itu adalah rumahnya, perlabuhan yang ia tuju ketika pulang.

Kehilangan adalah sesuatu yang lelaki itu khawatirkan. Perasaan takut. Perempuan itu akan hilang dari dekapannya. Ia masih butuh waktu untuk meyakinkan perempuannya. Sedangkan perempuan, (terkadang) tak bisa menunggu waktu. Ingin sekali ia mewujudkan mimpi-mimpi perempuan yang telah dikenalnya sejak remaja itu. Dan sekali lagi, kebisuan dalam sekejap membekap mulutnya untuk mengucap yang tertunda.

**
Lelaki itu lantas duduk dan mengambil gitarnya. Dia bernyanyi. Begitulah ia menuangkan perasaan. Selalu begitu.
...........................................

"Ascend may you find no resistance. Know that you've made such a difference. All you leave behind will live to the end. The cycle of suffering goes on. But, memories of you stay strong. Someday I too will fly and find you again."

6 Sep 2014

rela

ns

"... sebab jalan masih panjang. kita tak kan pernah tahu pasti ke mana kita akan melangkah. kita tak kan pernah tahu siapa yang akan kita temui. begitulah aku belajar untuk merelakan."

Sept, '14

2 Sep 2014

Tragedi Stasiun Pasar Senen


Ini bukan cerita tentang Chairil Anwar yang “jajan” di kawasan Senen pada suatu ketika dan ia lupa membawa dompet untuk membayar. Kemudian ia memberi secarik kertas berisi alamat pada seorang pramuria yang telah ia pakai jasanya. Usut punya usut, alamat yang Chairil berikan pada pramuria di kawasan Senen itu ternyata alamat milik maestro seni lukis Indonesia: Affandi! Kejadian inilah yang melatarbelakangi poligami yang dilakukan oleh Affandi karena keesokan harinya Maryati, istri Affandi, marah-marah ketika pramuria itu meminta tagihan pembayaran ke rumahnya. Maryati merasa sudah “tidak cukup” untuk suaminya, kemudian ia meminta agar Affandi menikahi perempuan lain atas usulannya.

Ini bukan tragedi asmara sepasang anak manusia seperti yang mungkin terjadi pada maestro campur sari dari Solo: Didi Kempot. Tragedi ini bisa dihayati dalam lagu Stasiun Balapan, tempat di mana ia melepas kekasihnya pergi dan tak kunjung kembali. Tak bisa kubayangkan lebih lanjut betapa kehilangannya ditinggal seseorang yang begitu dicintai.

Ini bukan sekelumit kisah tentang perjumpaan pertamaku dengan Nadia yang kebetulan juga mengambil stasiun kereta sebagai latarnya. Bukan juga soal orang-orang yang berlalu lalang datang dan pergi dengan menampakkan wajah berseri dan wajah kalah. Ini cerita tentang kepulangan kami berempat (Aku, Ian, Uzi, dan Yusuf). 


#Ceger31, Rabu 27 Agustus

TKD (Test Kompetensi Dasar) adalah alasan kenapa kami kembali ke Jakarta. Berbulan-bulan bahkan hampir setahun kami menunggunya. Sampai pada akhirnya, tibalah kami di hari-hari yang dinantikan: Hari Pelaksanaan TKD. Test ini diselenggarakan pada tanggal 25-30 Agustus. Aku sendiri kebagian di hari kedua. Pengertian dan tujuan dari test ini, aku tak akan menceritakan.

Di Jakarta, aku sengaja untuk tinggal tak berlama-lama. Sehari setelah menyelesaikan test, aku memutuskan memesan tiket untuk pulang. Kali ini PT. KAI yang beruntung. Atas segala kondisi yang ada dan moda transportasi yang masih tersedia, aku memutuskan booking tiket Senja Utama untuk keberangkatan sabtu malam. Tak lupa, aku mengajak kawan-kawan untuk turut serta. Pada akhirnya, hanya Ian, Uzi, dan Yusuf yang memutuskan untuk ikut. Reservasi tiket dan pembayaran secara online kami serahkan pada Yusuf. Kebetulan saldo ATM-nya lagi tebal. Setelah reservasi dan pembayaran berhasil dilakukan, kode tiket pun kami terima. Kami siap untuk pulang!


#Pasar Senen, Sabtu 30 Agustus

Aku duduk sendiri di peron kereta dekat tempat cetak tiket. Menunggu kedatangan Ian, Uzi, dan Yusuf. Kebetulan aku berangkat lebih dulu karena harus mampir ke tempat saudara untuk menitipkan motor. Waktu itu jam menunjukkan pukul 20.35. Setengah jam lebih, aku menunggu Yusuf dkk. datang. Sambil berharap bakal bertemu gadis manis dan lucu seperti Nadia yang bisa diajak ngobrol untuk mengisi kekosongan waktu.

Setelah tiket berhasil dicetak, Aku dan Yusuf berjalan menuju gate check in. Di sana Ian dan Uzi menunggu. Karena lapar, kami memutuskan untuk makan malam terlebih dahulu dan menitipkan barang yang kami bawa kepada Cypi dan Yayul yang kebetulan juga tengah berada di stasiun.

Sekembalinya dari makan pecel lele yang berada di seberang jalan stasiun, kami melakukan check in. Dan di sinilah permasalahan terjadi. Kami tidak diperbolehkan masuk karena tanggal yang tertera di tiket kami tertulis tanggal 6 September! Astaga, kenapa ini bisa dan mesthi terjadi? Hal ini sungguh diluar dugaan. Kami merasa jika kemarin telah benar memsan tiket untuk tanggal 30 Agustus. Nah ini, malah tercetak mundur seminggu dari yang semestinya. Tidak ada yang bisa disalahkan memang. Mungkin sistemnya error atau mungkin juga itu benar-benar kelalaian kami sewaktu melakukan reservasi. Dengan wajah bengong kami tertahan di stasiun, seolah-olah tak percaya pada apa yang baru saja menimpa kami.

Sebenarnya aku pribadi atau mungkin kami tak mempermasalahkannya. Ini bisa jadi bahan cerita yang cukup epic dari akhir petualangan kami di Jakarta, mungkin. Mengingat setelah ini, kami tak tahu akan berlabuh di kota mana pasca penempatan kerja. Masalah utamanya adalah Surya dkk. yang masih tinggal di #Ceger31. Kami tak kuat membayangkan ejekan dan kegathelannya karena ia tahu kami tak jadi pulang. Kami hanya bisa pasrah. Aku percaya, Tuhan selalu menyimpan rencana.

Kami memutuskan balik dari Pasar Senen dengan menggunakan taksi. Sesampainya di #Ceger31, peristiwa yang kami khawatirkan terjadi juga. Berbagai reaksi dan hinaan kami terima.

**
Kami sendiri akhirnya tetap jadi pulang sehari setelah tragedi ini. Masih sama menggunakan Senja Utama dengan tiket yang kami pesan lagi. Bedanya kali ini Surya ikut. Jadilah kami berlima sebelum digenapi oleh ndoLo yang kami temui di stasiun dan kebetulan juga naik kereta yang sama.

Stasiun kereta selalu menyimpan cerita...

catatan harian,  September 2014

24 Agu 2014

percakapan rahasia


N: "kenapa dulu kau  pergi?"
A: "sepertinya aku tak bisa diam saja dalam menunggu kedatanganmu. lalu aku memutuskan untuk berlayar menjelajah samudera. singgah ke beberapa dermaga. mendapatkan kisah dan petualangan  yang kiranya bisa ku ceritakan padamu."
N: "kenapa kini kau kembali?"
A: "aku sudah memutuskan, kepadamu aku akan pulang dan melabuhkan diri. sepanjang hidupku..."

beberapa kisah terjadi begitu epic ketika kau memutuskan untuk meninggalkan sebuah kota karena sebuah keputusasaan. dan kini kau kembali lagi ke kota itu untuk menjemput impian yang kau sebut "cinta".

*parijs van java suatu ketika. latar yang terlupa.

21 Agu 2014

#NA


kau tahu apa yang terjadi setelah pertemuan kita di stasiun pagi itu?
tiada hari ku lewatkan tanpa memikirkanmu.
berharap semesta menyuakan kita kembali dalam sebuah perjalanan.
kita bisa berbagi cerita atau mendedangkan lagu mengisi kekosongan waktu.

aku menyusun siasat mewujudkan itu.

18 Agu 2014

candu

-afif
candu bukan lagi tentang rokok yang begitu nikmat ku hisap aromanya, ketika inspirasi hilang dari kehidupan.
candu bukan lagi tentang secangkir kopi atau sebotol alkohol yang biasa ku teguk malam hari sepulang kerja.
candu bukan lagi tentang kokain yang terkadang ku hirup untuk sekedar mendapatkan ecstasy dan keriangan.

candu adalah engkau, tempat kepulangan yang ku tuju
menatap senyum yang tergores di wajahmu
segala inspirasi kembali hadir, 
meluruhkan segala beban dan mendatangkan keriangan

tak perlu kata untuk menerjemahkan dirimu
engkau sudah menjadi candu
jadilah selalu seperti itu: tempat aku berpaling

Agustus, 2014

17 Agu 2014

Dirgahayu


Dirgahayu kemerdekaan bangsaku.
Telah berkali-kali kita ucapkan dirgahayu
dengan jiwa yang bangga.
Berkali-kali dengan hati yang senyum,
juga kali ini kita ucapkan lagi dirgahayu di bawah tiang bendera,
namun dengan hati yang gundah dan bibir yang kelu.

Keceriaan merah putih yang melambai,
kali ini terlihat seperti menebarkan keresahan.
Angin yang berhembus menerbangkan debu-debu panas, mengotori kainnya.
sedang kemarau panjang di negeriku belum juga usai.

Di sini, juga di tempat jauh di sana,
dirgahayu bukan untuk kebencian,
dirgahayu bukan untuk kesengsaraan,
dirgahayu bukan untuk air mata,
dirgahayu untuk senyum yang panjang...

*dirgahayu negeriku 69

10 Agu 2014

My Adventure Equipments

Sudah tujuh tahun lebih petualangan membawaku ke berbagai sudut penjuru. Menikmati ragam keindahan alam dan keramahan masyarakat yang selalu memberi senyum ketika kusapa. Gunung, hutan, dan bukit, di sana semua kenangan tergores. Memberikan jawaban atas rasa keingintahuan dan penasaranku. Dan sampai pada akhirnya,  waktu tak terasa membawaku semakin berlalu pada kenangan-kenangan tadi. 

Entah kenapa, aku kali ini benar-benar sudah tak punya hasrat untuk kembali mendaki. Ini jelas sebuah pertimbangan yang sudah kupikir matang-matang. Karir pekerjaan sudah menantiku di depan. Aku pikir sudah tak ada lagi waktu yang tersisa untuk mengukir kembali kenangan-kenangan tadi. 

Ah, aku merasa jadi semakin bertambah tua. Aku merasa begitu ketika melihat banyak pendaki yang kujumpai di Cemoro Sewu seminggu lalu ketika sedang jalan-jalan ke sana dengan keluarga. Aku melihat keceriaan dan kelelahan berpadu di wajah mereka. Mereka umumnya masih muda, kuterka masih usia anak sekolah. Ini membuatku terkenang pada setiap pendakian yang sudah terlampaui dulu. Ya, di Gunung Lawu. Di sini aku pertama kali memulai pendakian. Di sini pula aku terakhir kali mendaki. Ada sepuluh gunung berbeda yang sudah kutapaki serta sembilan belas pendakian yang pernah kulakukan.

Di setiap pendakian selalu ada peralatan yang senantiasa setia aku bawa. Dulu waktu masih awal mendaki, peralatan yang kupunya masih sangat sederhana dan belum bisa dikatakan safety. Bahkan untuk bekal saja, rombonganku biasanya cuma membawa mie dan roti. Kalau ingin minum yang hangat-hangat ya cukup menyeduh kopi susu dengan kompor parafin dan panci seadanya. Maklum, saat itu uang saku masih terbatas. Tak mampu untuk membeli peralatan gunung yang harganya cukup mahal, kecuali kalau mau menabung. Seiring berjalannya waktu, aku pun akhirnya mampu melengkapi peralatan pendakian. Berikut ini  jenis dan brand apa saja yang  aku gunakan selama pendakian. 


slayer (2008-2012)
Jacket (2008-2010)

tent socks (2011-present)

nesting & gasmate (2011-present)

carrier (2008-2014)
rain cover (2011-2014)

jacket wind stoper (2007-2013)
jacket karakoram (2014-present)
pants (2011-2013)

sleeping bag (2012-present)

sleeping bag (2008-2012)

watch (2013-present)

sandal (2012-present)

tracking pole (2014-prresent)

 trousers (2007-2010)
hat casual (2008-2011)
hat indiana (2014-present)
clothes (2008-2013)
t-shirt (2014-present)
pants (2011-present)
slayer (2008-present)
matras (2007-present)

jacket argon pro (2014-present)

hiking shoes (2009-present)
climbing shoes (2012-present)

Slayer (2007-2010)

Jacket reborn_02(2008-present)


3 pants (2007-present)

9 Agu 2014

Apa yang kau bisikan pada mimpiku tadi malam?


................................................................................................................................................

“Engkau terlambat!”, begitu katamu.
Begitu berat rasanya kau mengatakan. Aku melihat sendu sembab di matamu.
“Apa benar-benar sudah tidak ada jalan untuk kembali pulang?”, aku bertanya lirih.
Engkau terdiam, seperti tiba di persimpangan. Aku menyesalkan masa lalu yang kutinggalkan tanpa pesan.

Apa yang sebenarnya kau bisikan pada mimpiku tadi malam?
Apakah itu hanya sekedar mimpi atau lebih dari sebuah kenyataan?

Aku memang terlambat. Aku belum menjadi apa-apa. Lantas, kenapa dulu kau begitu berharap? Dan tiba-tiba secara begitu saja, kau mengambil sikap yang sebaliknya. Seseorang mendahuluiku mengetuk pintu rumahmu. Engkau serasa menjadi asing. Aku kamus akan hal itu. Apa benar perempuan tak bisa menunggu?

Tidakkah engkau ingin menemaniku dalam perjuangan? Kau juga sama-sama masih berjuang, bukan? Kita setidaknya bisa saling mengisi atau menyemangati. Sebuah kehormatan bagiku jika kau sudi dan setia menemani dalam perjuangan. Aku pun juga akan melakukan hal yang sama. Kita bisa saling mengisi dan menyemangati dalam setiap jengkal perjuangan yang kita lakukan. Kau ingin aku perjuangkan, bukan?

Apa yang kau bisikan pada mimpiku tadi malam?

Aku paham, lelaki berhak memilih. Dan aku juga mulai sadar, perempuan lah yang berhak untuk memutuskan.


Pagi. Agustus, 2014.

7 Agu 2014

Reuni


Tak bisa dipungkiri jika seiring berjalannya waktu, setiap orang berubah. Entah itu penampilan, kehidupan, atau mungkin hal lainnya. Perubahan itu secara tidak langsung akan tersadari ketika waktu menuntun kita pada perjumpaan kembali. Kesadaran itu timbul karena sebuah penilaian atau kesan. Penilaian kepada seseorang selalu berdasar atas kesan terakhir ketika berjumpa atau menjalin hubungan dengan orang tersebut.

Minggu lalu, aku menghadiri sebuah reuni sekolah menengah atas. Tak terasa, sudah lima tahun seragam putih abu-abu kutanggalkan. Waktu seolah cepat berlalu. Dan kali ini waktu pula yang mengantarkanku kembali kepadamu dan bersua kembali dengan mereka, kawan-kawan lama.

Aku tak hendak membicarakan tentangmu di sini, yang menilai sajian masakan ayamnya di acara reuni itu  terasa begitu pedas. Aku hendak membicarakan mereka, yang mampu menggugah kesanku.

Pertemuan kembali, begitu dalam KBBI menjelaskan arti mengenai kata reuni. Setengah dasawarsa terlewati. Disadari atau tidak, diri beranjak menua. Banyak cerita pastinya yang terukir selama waktu itu terlampaui. Perbincangan pada peristiwa seperti ini selalu membahas tentang masa lalu dan kesibukan yang terjalani kini.

Ada beberapa hal yang aku betul perhatikan dari mereka. Pertama, soal penampilan. Banyak perubahan yang kuamati. Mereka (dalam hal ini wanita) sudah mulai pandai berdandan. Mempercantik diri dengan bedak atau bahkan dengan perhiasan. Dan itu asli, mereka jadi kelihatan lebih cantik dan menarik. Aku tidak tahu ini hanya opiniku saja atau memang faktanya demikian. 

Kalau kata seorang kawan, sebut saja namanya Adam, itu semua karena uang. Mungkin ada benarnya juga, uang bisa merubah penampilan seseorang. Apalagi wanita gemar menginvestasikan uang untuk penampilan. Ya wajar saja, mereka sudah bisa cari uang. Umur juga tambah tua. Untuk menarik perhatian seorang pria, kurasa ini perlu. 

Untuk kaum pria, juga tak kalah kelihatan tajir. Ada yang sudah punya mobil. Penampilan wajah mereka juga kelihatan lebih bersih berseri. Kuterka, kaum pria seperti ini rajin ke klinik pijat atau salon perawatan diri. Dan untuk hal ini, lagi-lagi dibutuhkan uang. Mungkin ini juga strategi untuk menarik perhatian wanita.

Selain penampilan, hal yang tak kalah untuk diperhatikan adalah kehidupan yang mereka jalani. Perjalanan waktu membawa mereka ke berbagai peristiwa. Banyak hal terjadi dan terlewati . Itu semua membawa mereka ke titik ini. Aku lebih suka mengulik kehidupan mereka yang satu almamater kampus denganku. Sebagian dari mereka beruntung karena mendapatkan kota penempatan kerja yang dibilang manusiawi. Namun, ada juga dari mereka yang harus terima nasib karena dibuang ke daerah antah berantah. Cerita kawan lain, tak kalah menariknya. Mereka yang sudah menyelesaikan bangku perkuliahan, kini beragam kesibukan dan kerjanya. Kebanyakan dari mereka mengadu nasib di Jakarta, sebagian lagi di kota lainnya. Aku sendiri tak tahu waktu akan membawaku berlabuh ke mana.

Cukup terharu dan penasaran juga dengan beragam kisah yang mereka jalani. Reuni ini seperti membangkitkan kembali potret kenangan tempo dulu. Aku jadi teringat dengan masa-masa mudaku.
aku dan mereka


Salamku Sahabat
Telah lama tak bersua. 
Dan sekarang kau di depan mata.
Tak berubah, sikap tutur kata.
Tetap akrab, ceria hangatkan jiwa.
Sahabat, penuh suka.
Betapa bahagia berjumpa. Salamku.
Apa kabar di hidupmu.
Sekian waktu, adakah kau baik selalu.
Sahabat, dalam duka.
Pelita kecil dalam gulita. Salamku.
(untuk berbagi beban dan saling mengisi tak perlu kita sendiri)
Oh, katakan rahasiamu ketika tak usah orang tau.
Salam hangat tuk sahabat.

Solo, Agustus 2014

30 Jul 2014

jam tangan


sesuatu telah (ter)jatuh. seketika waktu berhenti berputar. di balik perjalanan panjang dan penantian: ada perasaan yang harus ditanggalkan.
Solo, 26 Juli 2014

27 Jul 2014

aku bertanya kepadamu

Terkadang cinta datang ketika kita tidak siap untuk merengkuh keagungannya. Kali ini aku tiba di persimpangan jalan menuju pulang. Mencoba mengetuk kembali pintu yang mungkin sudah kau tutup dan lama telah kutinggalkan. Dalam sesal aku bertanya-tanya tentang perasaan yang dulu pernah kau simpan, apakah masih sama?

Solo, 20 Juli 2014

26 Jul 2014

Backpacker ke Belitung (Part 2)



Hari kedua. Kali ini saya memutuskan untuk menjelajahi Belitung Timur. Masih dengan Mega pro yang saya sewa untuk dua hari, kali ini perjalanan akan lebih panjang.

Kampung Ical menjadi target saya kali ini, Gantong. Dari Hotel di Tanjung Pandan, saya berangkat pagi hari. Setelah mengisi bahan bakar di sebuah pangkal bensin eceran dekat bandara, bergegaslah saya menerjang jalanan protokol negeri laskar pelangi ini. Sedikit berbeda dengan jalanan yang saya lalui di hari pertama. Kali ini kondisi jalannya tidak melipir di pinggir pantai. Praktis pemandangan yang ada adalah ilalang, kebun sawit, dan tambang-tambang timah. Kondisi jalan yang sepi memberikan kesan tersendiri bagi saya kali ini. Tak kurang kecepatan motor selalu saya geber di atas 80 km/jam.

Dari Tanjung Pandan saya mengambil rute ke arah Badau. Di Badau inilah terdapat persimpangan, ke arah selatan menuju Dendang dan ke timur menuju langsung ke arah Manggar. Karena tujuannya ke Gantong, saya memilih untuk mengambil rute melalui Dendang. Perkampungan yang saya sapati sepanjang jalan ini sangat jarang. Praktis pemandangan di sepinggir jalan hanyalah hutan, tambang, dan kebun sawit. Beberapa kilometer sebelum memasuki perkampungan biasanya terdapat plang yang menunjukkan nama perkampungan tersebut. Rumah-rumah di sini masih bertipe kan rumah adat khas Belitung yang sedikit mirip dengan rumah panggung dengan atap yang terbuat dari seng. Tidak ada traffic light yang saya jumpai sepanjang perjalanan kali ini.
Map

Jalanan Belitung

Tambang Timah

Setelah dua jam perjalanan lebih, saya akhirnya sampai di Gantong, kota kecil di Belitung Timur. Di sini lah kampungnya Andrea Hirata. Pengarang Tetralogi Laskar Pelangi. Pemberhentian saya pertama di Gantong adalah Museum Kata Andrea Hirata. Museum ini merupakan museum sastra pertama di Indonesia. Didirikan dan dikelola sendiri oleh Hirata dengan dibantu oleh beberapa orang kepercayaannya. Sayangnya saat saya berkunjung, Hirata sedang tidak ada di tempat. Museum ini berisikan mengenai karya-karya Hirata dalam bentuk sastra, lukisan, koleksi barang antik, dan karya-karya fotografi. Bentuknya seperti rumah biasa yang tiap ruang tersekat oleh tembok. Di sini juga menampilkan beberapa sastrawan dunia yang menjadi inspirator bagi Hirata. Di bagian belakang terdapat dapur yang menjual kopi belitung. Kopi ini namanya kopi kuli. Dinamakan kopi kuli karena yang biasa menikmatinya adalah para kuli penambang timah. Orang-orang belitong biasanya menyambut tamu di dapur dengan sajian utamanya adalah kopi kuli. Sudah menjadi jamaknya kalau para penambang itu sebelum dan sepulang kerja selalu meneguk kopi. Saya pribadi menilai kopi ini berbeda dengan kopi-kopi yang pernah saya coba. Aroma dan rasanya sungguh kuat. Sedikit penuturan dari seorang penjaga. Ternyata seluruh tokoh yang ada di laskar pelangi itu ternyata benar-benar ada, termasuk bu muslimah sendiri yang kebetulan beliau masih hidup dan bertempat tinggal tak jauh dari lokasi ini. Kesepuluh siswa-siswi laskar pelangi sekarang ini sudah tersebar ke berbagai penjuru mereguk kesuksesan mereka, katanya ada yang menjadi kepala sekolah bahkan anggota dewan. Inilah betapa mimpi benar-benar mampu merubah jalan hidup seseorang, kawan. Jangan takut untuk bermimpi, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu.
Museum Kata Hirata

Galeri Sastrawan Dunia
Galeri lukisan dan foto
Tak jauh dari museum kata, terdapat replika SD Laskar Pelangi yang menjadi salah satu tempat pengambilan film. Sayangnya bangunan ini sudah kurang terawat. Saat saya berkunjung, tempat ini kalau siang dijadikan tempat peristirahatan bagi para kuli yang sedang mengaspal jalan. Kebetulan jalan yang ada di depan tempat ini sedang di bangun. Saya tak berlama-lama di sini. Setelah mengambil gambar saya segera menuju Manggar.
Replika SD Laskar Pelangi di Gantong

Replika SD Laskar Pelangi
Manggar merupakan Ibukota dari Belitung Timur. Kota ini dikenal sebagai kota 1001 warung kopi. Berjarak sekitar 20an km dari Gantong. Saya sendiri tak menilai kota ini istimewa karena di sini merupakan pusat perdagangan dan tak ada obyek yang menarik untuk dikunjungi. Kota ini merupakan saksi perjumpaan Ical dengan Aling ketika Ical membeli kapur. Saya berhenti di kantor pos waktu itu untuk meminta cap atau stempel. Sayangnya, kantor pos yang saya kunjungi baru resmi dibuka dan belum melakukan kegiatan operasional. Dan segeralah saya bergegas menuju Kalapa Kampit.

Di dalam perjalanan ke Kalapa Kampit saya memutuskan berhenti ke beberapa obyek yang bisa dikunjungi. Di antara tempat itu adalah Pantai Burung Mandi, Pantai Serdang, dan Vihara Dewi Kwan Im. Vihara ini merupakan vihara tertua di Belitung. Pantai di Belitung Timur jauh berbeda dengan yang ada di pesisir barat laut yang di dominasi oleh batuan granit. Pantai di sini merupakan tipe pantai berpasir seperti pantai pada umumnya. Karena saat itu matahari sedang terik, saya tak bisa berlama-lama dan bermain di sana. Untuk akses ke pantai-pantai di sini, kondisi jalannya sangat bagus bahkan saat itu baru saja di hotmix. 

Vihara Dewi kwan Im
Perkebunan Sawit
Perjalanan kembali ke Tanjung Pandan pun dimulai. Hampir 150km lebih saya tempuh dari obyek yang terakhir dikunjungi. Saya sempat berhenti dua kali untuk makan dan sholat. Kali ini saya melintasi jalanan protokol di sebelah pesisir utara. Pemandangannya sangat indah karena banyak ilalang menjulang dan kebun sawit yang begitu asri.

Mie Belitung
Tugu Batu Satam, Pusat Kota Tanjung Pandan

Sore hari sebelum senja, saya sudah tiba di Tanjung Pandan kembali. Menikmati sudut kota di tugu batu satam. Merasakan kuliner mie belitung dan tentunya membeli souvenir untuk oleh-oleh. Malam harinya saya bersepeda ke penjuru Kota Tanjung Pandan yang ternyata tak terlalu besar juga. Mampir ke kedai SS untuk merasakan iga bakar. Dan sayang sekali, perjalanan ini tetap ada yang kurang: kehadiranmu di sisiku. :)

Belitung, September 2013

17 Jul 2014

aku melewatkanmu

aku melewatkanmu, ketika kita duduk di bangku kelas yang sama.
aku melewatkanmu, ketika kita dulu mendaki gunung bersama.
aku melewatkanmu, ketika kita sama-sama berjalan kaki dari kontrakan menuju kampus perkuliahan.
aku melewatkanmu, ketika kita saling berdiri membelakangi di sebuah pertunjukkan.
aku melewatkanmu, ketika kita dalam satu gerbong kereta di sebuah perjalanan.
kali ini kau tak akan kulewatkan.

Sukoharjo, Juli 2014

15 Jul 2014

aku ingin kau menunggu


Aku tidak tau kenapa akhir-akhir ini kita bisa begitu dekat. Seolah semua terjadi begitu saja, tanpa rencana. Mungkin karena perasaan-perasaan lama yang belum sirna. Dan kejadian yang mungkin sudah digariskan.

Di sini aku hendak kembali berbicara padamu melalui tulisan dan kata; tentang sebuah cinta yang kini bersemi kembali; tentang harapan dan cita yang ingin ku jelang bersamamu.

Entah kenapa aku bisa begitu yakin dengan dirimu. Aku tak pernah merasakan firasat seperti ini. Ada yang bilang keyakinan datangnya dari Tuhan. Hal ini mungkin ada benarnya. Begitu juga dengan keyakinan kali ini yang tak membutuhkan suatu syarat. Aku tak merasa resah meski pertemuan kita jarang dan terbatas. Aku yakin dirimu mampu menjaga diri. Aku menangkap jiwamu mengisyaratkan begitu.

Untaian doa kini kembali terpanjat di selepas sholat. Aku bermunajat kepada yang ada di atas ‘Arsy. Bukan lagi merapal namaku sendiri tetapi juga namamu. Aku tak pernah mendoakan seseorang setulus ini. Meminta agar dirimu selalu diberi keselamatan dan  kekuatan dalam setiap jejak yang kau lakukan. Aku tak memintamu menjadi jodohku. Aku hanya meminta kepada Tuhan, jika kita berjodoh (seperti yang tertulis di lahful mahfuz), maka aku berdoa semoga Tuhan mendekatkan kita. Sebaliknya, bila kita tidak berjodoh, aku berdoa semoga Tuhan menjodohkan kita dengan orang yang lebih baik.

Dengan hati telanjang, aku berbicara padamu. Mengungkapkan sebuah kejujuran yang aku simpan. Aku ingin menghormati dirimu sebagai perempuan. Aku sangat ingin menjaga dirimu dan kesucianmu. Bahkan untuk sekedar berpegangan tangan atau bersalaman aku sungkan. Kita belum muhrim, bukan? Di usia kita, yang sekarang sudah lewat dua puluh tiga, ku rasa sudah bukan jamannya lagi bagi kita untuk pacaran. Aku hanya ingin dirimu menunggu. Mari bersama saling mendoakan dan menasehati dalam kebaikan. Saling menyiapkan dan memantaskan diri. Jadikanlah aku orang yang selalu berpaling kepada Tuhan ketika aku tak mampu berpaling darimu. Aku ingin dirimu menunggu. Kita mungkin sudah terlalu lama menunggu. Tapi tiada yang lebih memungkinkan untuk dilakukan selain itu. Di sana kesabaran dan kesetiaan diuji. Salah satu ujian dari sekian banyak ujian yang menanti di depan. Sekali lagi, aku ingin dirimu menunggu. Sebelum aku mengatakan cintaku kepadamu, aku ingin terlebih dahulu mengatakannya di depan ayahmu.

Semoga kita senantiasa dalam lindungan dari Sang Maha Pengasih yang membolak-balikan hati agar kita tetap bisa saling menjaga diri dan mencintai dalam batas  keyakinan serta keimanan kita.

7 Jul 2014

pesan seorang kawan lama

kau lihat hari ini kawan. aku hanya bisa mendoakan kita semua sukses di daerah labuhan kita masing-masing. bertemu banyak orang dan menjadi sedikit lupa dengan masa lalu yang pernah kita rasakan dalam tawa. itu wajar, tapi jangan sampai lupa sepenuhnya. kita tahu, inilah rasanya proses dewasa atau bisa jadi inilah rasanya menua. baik-baiklah di sana kawan. lusa belum tentu kita bisa saling menyapa lagi. baik-baiklah dengan hidupmu kawan. mungkin kita hanya bertemu dalam satu masa.
G, 2010

2 Jul 2014

Sedikit Cerita dari Studi Lapangan di Bali


Notes: Kutulis ini sebagai sebuah prasasti atas masa-masa muda kita dulu. Semoga kisah kita akan tetap abadi hingga kita bernajak tua nanti. Terimakasih saudara-saudaraku: Andri, Yoga, Rochim, dan Ardi. Pertengkaran dan kebersamaan kita akan selalu tetap akan terkenang.
Denpasar, Juli 2013
Tulisan ini hanyalah sebuah cerita banyolan mengenai kehidupan kami saat melakukan studi lapangan di Bali.

Akhir Juni tahun lalu, kami berenam (red: aku, Andri, Yoga, Rochim, Anom, dan Ardi) datang ke Pulau Bali untuk keperluan studi lapangan. Kami semua berkantor di Kanwil DJP Bali. Terkecuali Yoga, ia berkantor di KPP Badung Selatan yang gedungnya berada tepat di depan Kanwil. Keperluan studi lapangan ke sini hanyalah sebatas platform luarnya saja. Niatan kami sebenarnya adalah jalan-jalan. Kapan lagi bisa menikmati eksotisme ranah dewata selama sebulan penuh. Capek ngantor tinggal lari dan santai-santai di pantai, pikiran cumeng tinggal dugem. Nikmat Tuhan mana lagi yang akan kamu dustakan?

Sebagai kaum pendatang, minoritas, dan berdompet cekak, kami tinggal bersama dalam sebuah apartemen mini tak jauh dari kantor. Alasannya jelas, kami miskin dan belum punya penghasilan sendiri. Bisa dibayangkan betapa “umpek-umpekannya” kami di tempat ini. Di sini tersedia sebuah ruang utama dan sebuah ruang tamu yang kami sulap semuanya menjadi tempat tidur. Kamar mandi dan dapur ada di belakang. Di tempat itu kami biasanya iseng melakukan tindakan privasi. Sewanya saat itu sekitar 2,4 juta untuk lima minggu, dibagi berenam.

Mobilitas kami di Bali disponsori oleh Mio Soul yang kami sewa berenam selama sebulan penuh. Kalau akhir pekan tiba, biasanya kami sewa mobil untuk jalan rame-rame ke luar kota, sesekali juga pernah pinjem mobil kantor.

Momentum yang bertepatan saat studi lapangan waktu itu adalah puasa ramadhan. Terkecuali Anom, kami berlima yang beragama islam tetap tak lupa menjalankan puasa. Kami merasa terpanggil atas seruan Tuhan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman sebagaimana yang tersurat di dalam Al-Baqarah 183.

Kebiasaan yang kami lakukan waktu itu adalah berburu takjil. Hampir setiap sore menjelang berbuka kami melakukannya. Satu-satunya tempat terdekat yang kami tuju untuk berburu takjil adalah Masjid Gedung Keuangan Negara I (GKN I). Di sana lah dulu setiap hari kami biasanya menjadi kaum papa. Alasannya jelas, menghemat pengeluaran. Apalagi menu yang disajikan di sini cukup lumayan. Jarak masjid ini dari tempat tinggal kami sekitar 500 meter. Dari kami berlima, hanya Ardi yang biasanya jalan kaki ke sana. Maklum dia, adalah orang yang suka menolong dan rendah hati.

Seminggu sekali, kantor pajak yang ada di Denpasar melakukan acara buka bersama. Biasanya tempatnya digilir. Menu yang disajikan tentu saja sangat mewah dan bervariasi. Jangan heran, di acara mingguan seperti ini, Yoga biasanya bisa menghabiskan empat porsi bakso dalam sekali waktu. Maklum, dia adalah tipe manusia penggemar bakso. Bahkan gaya rambutnya terinspirasi dari makanan favoritnya itu. Sebenarnya selain Yoga, kami tak kalah juga mbadoknya. Hanya saja, kami lebih tertarik untuk mencoba semua menu yang berbeda. Setiap pulang dari acara itu, kami hampir-hampir tepar karena kekenyangan.

Tak ada ritual agama yang kami lakukan selain puasa di bulan penuh berkah ini. Shalat fardhu hanya aku, rochim, dan ardi saja yang masih tegak mendirikannya. Andri terlalu sering pergi ke kasur tatkala adzan subuh memanggil. Yoga meskipun dia kader HMI, tetap setali tiga uang dengan Andri. Tak ada lantunan ayat-ayat suci di tempat tinggal kami. Selepas maghrib kami terlalu sering disibukkan dengan kegiatan pribadi. Rochim terlalu sibuk dengan laporan study. Andri terlalu asyik main dota. Ardi tak bisa tahan tanpa mendengar suara pacarnya setiap hari. Yoga terkadang hilang tak jelas. Aku dan Anom biasa keluar mencari mangsa. Kejadian-kejadian itu sering membuatku bertanya, kapan kami terakhir melakukan sholat tarawih?

Kesibukan kami di kantor lumayan juga gabutnya. Kalau tidak ada assesment untuk tugas ke luar atau mengurusi urusan rumah tangga kantor, kami sampai bingung harus berbuat apa. Terkadang malah sehabis istirahat siang, aku memutuskan untuk balik dan tidur siang. Kantor cukup dekat dari tempat tinggal kami. Dua lagu sampai kalau jalan kaki.

Kehidupan kami di Bali tak bisa dilepaskan dari sosok Mas Andi. Sahabat lama yang kini mengabdi di Kanwil DJP Bali. Dia yang telah banyak memberikan akomodasi untuk hidup kami selama di sini. Bahkan, di hari terakhir kami semua diundang ke rumahnya untuk buka puasa bersama. Jasa-jasamu sungguh tak akan kulupakan mas....

Akhir pekan adalah precious time bagi kami. Ini adalah waktunya jalan-jalan. Tak pernah sekalipun waktu itu terlewatkan tanpa mencumbui keeksotisan pulau ini. Mulai dari menikmati keindahan pantai sampai mendaki dan menapaki atap ranah dewata. Terlalu banyak kisah yang tak bisa disebutkan tetapi akan selamanya terkenang.

Lembayung Bali

Menatap lembayung di langit Bali

dan kusadari betapa berharga kenanganmu
Di kala jiwaku tak terbatas
bebas berandai memulang waktu

Hingga masih bisa kuraih dirimu
sosok yang mengisi kehampaan kalbuku
Bilakah diriku berucap maaf
masa yang tlah kuingkari dan meninggalkanmu...oh cinta

Teman yang terhanyut arus waktu
mekar mendewasa
masih kusimpan suara tawa kita
kembalilah sahabat lawasku
semarakkan keheningan lubuk

Hingga masih bisa kurangkul kalian
sosok yang mengaliri cawan hidupku
Bilakah kita menangis bersama
tegar melawan tempaan semangatmu itu..oh jingga

Hingga masih bisa kujangkau cahaya
senyum yang menyalakan hasrat diriku
Bilakah kuhentikan pasir waktu
tak terbangun dari khayal keajaiban ini..oh mimpi

Andai ada satu caratuk kembali menatap agung surya-Mu
Lembayung Bali

30 Jun 2014

Selamat Tinggal Juni



Juni, kali ini aku tak hendak menahanmu untuk pergi. Aku tak mampu melawan laju waktu. Peristiwa demi peristiwa rasanya baru saja kemarin terlewati. Dan kini aku harus merelakan bahwa semuanya memang harus berlalu. Aku sadar dan terima akan hal itu. 

Banyak kejadian dan cerita yang terselip di setiap harimu. Entahlah, aku merasa begitu istimewa ketika kau datang kembali. Sekali dalam setahun aku menunggumu untuk menyapaku. Dan sekali lagi kita berbincang hangat pada suatu hari di sore itu. Meresapi makna cinta yang tersimpan di setiap rintik hujan. Menyibak cerita yang hilang dari masa silam. Menelusuri mimpi masa depan yang tak bertepi.

**
Seperti biasa, kau membawa cerita yang berbeda. Kali ini aku lebih bergairah mendengar cerita-ceritamu. Ada maksud yang hendak kau utarakan tetapi kau tahan. Semuanya bisa tergambar dari manis senyummu yang belum sempat aku terjemahkan. Lalu tiba-tiba aku tersadar, bahwa kau sungguh terlalu sayang untuk kembali dilewatkan.

Drama kau buka ketika aku kembali pulang. Ada yang terasa canggung ketika aku berjumpa kembali dengannya. Bukan hanya tentang perasaan lama yang masih sama, tetapi juga akan hal-hal gila yang mengalir secara tiba-tiba ketika aku dan dia melewatkan waktu bersama. Kegilaan yang mungkin akan terkenang selamanya.

Kisah petualangan berjalan tatkala ganasnya rimba kembali menggoda. Menyimak kerasnya kehidupan para penambang belerang membuatku merasa iba. Mereka mengajarkan bagaimana seharusnya bersyukur atas hidup yang kita punya. Aku melihat kebesaran Tuhan yang tersembunyi di balik keindahan ciptaan-Nya. Aku melihat kematian yang sekejap menghapus keceriaan dan menuntun duka kepada yang ditinggalkan. 

Aku melihat hidup. Aku kembali merasakan cinta.

**
Juni, sekali lagi aku tak menahanmu untuk pergi. Hanya berharap, semoga tahun depan kau akan datang dan menyapaku lagi.


26 Jun 2014

Tahun-tahun yang Hilang


..and then you "light" up my path

Aku tak pernah menyangka kepulanganku kali ini akan membawaku kembali kepadamu. 

Terkadang hidup berjalan tanpa rencana. Rentetan peristiwa demi peristiwa terjadi di luar kendali kita. Begitu juga tentang tahun-tahun yang hilang dan musim demi musim yang berganti. Setengah dekade lebih, jarak yang menghubungkan masa lalu dan sekarang. Waktu beranjak menua. Atau mungkin ia tetap sama, hanya berputar saja. Kita yang sejatinya menua. 

Kau bilang, waktu mampu merubah karakter seseorang. Aku hanya terdiam, mungkin ada benarnya. Dalam hidup, banyak hal yang silih berganti datang dan pergi. Aku mengalaminya pada tahun-tahun yang hilang. Aku tak tahu pasti di mana aku berada di masa-masa itu. 

Aku hilang tertelan keterasingan. Mengayuh sendiri bahtera di tengah samudera. Lalu lenyap di antara dua garis cakrawala. Di sana aku hilang, menunggu waktu membawaku kembali ke jalan untuk pulang.

Dulu aku pernah mengajakmu bicara tentang cinta yang diam dan sirna oleh waktu. Lantas kau menyanggahku, cinta abadi tak kan pernah mati. Sama halnya dengan sekam. Ia tetap masih menyala seperti bara walau disangka mati secara kasat mata. Aku masih sedikit tak percaya.

Percakapan itu memang terjadi ketika aku baru saja memutuskan untuk pergi. Sesuatu yang terkadang masih ku sesali sampai saat ini. Masih banyak yang tertunda dan belum sempat aku ungkap kepadamu waktu itu. Kemudian aku tersadar akan katamu. Ada sesuatu yang hampir-hampir tak bisa ku lepaskan dari fikiranku: engkau.

Ada semacam firasat ketika aku membaca musim yang hilang dan berganti. Engkau seolah masih berdiri menanti di sebuah tepi di mana aku sekarang hilang. Pernah sekali aku mencoba menghapus engkau dari fikiranku. Pernah juga aku berlari mengejar bayangan lain dan berharap ia mampu membawaku keluar dari sukmamu yang membelengguku. Namun, aku tak pernah bisa berlari. Aku masih sendiri mengarungi waktu di tahun-tahun yang hilang.

**

Waktu adalah satu-satunya yang menjawab penantian. Aku kemudian tersadar. Firasatku paham betul akan hal itu. Kau perlahan menghilang sendiri dari titik di mana engkau berdiri menanti. Ada sesuatu yang membawamu pergi. Aku tak berduka sebab cinta mengajariku untuk rela.

Hari-harimu tak lagi kau isi dengan sendiri. Ada yang menemanimu dalam mengejar mimpi. Ada yang setia mendoakanmu. Ada yang memberikanmu kejutan di detik-detik kau bertambah usia. Dia yang hadir dan memberimu bunga di hari paling membahagiakan ketika kau memakai toga. Dia yang tengah menyiapkan untukmu istana dan kereta kencana. Dia yang bersumpah mati kepadamu atas segala tulus cintanya. Kau terlihat bahagia mengarungi hari-hari bersamanya.

Aku masih hilang, terjebak dalam musim yang tak kuketahui ujungnya. Hari masih berjalan seperti biasa karena aku percaya setiap manusia punya jalan takdir sendiri-sendiri. Hanya terkadang aku merasa ada yang sedikit hampa. 

Tahun-tahun yang hilang, aku tak tahu sedang berbuat apa, untuk siapa, dan akan ke mana kegelapan hidup membawaku pergi. Beberapa kali aku hampir terjerumus dalam kefanaan dunia yang menenggelamkanku. Aku menangis menahan gejolak batin yang kurasakan saat itu. Saat-saat itulah cahayamu hadir. Seolah-olah kau berbisik tepat di sisiku, “lelaki baik-baik untuk wanita baik-baik. Maka jadilah lelaki baik-baik”. Seketika itu, aku ingin menjerit di pelukanmu.

**

Aku kembali dari perjalanan panjang, kembali menemuimu. Sepertinya cahayamu  yang menuntunku untuk pulang kali ini. Selanjutnya, aku tak tau lagi ke arah mana cerita ini berjalan. Asa itu masih ku simpan dalam balutan doa setiap malam. Ada sebuah cita yang sudah lama kusimpan dalam setia. Keinginan mengajak engkau untuk turut serta  dalam bahtera hidup berdua selamanya.

Tahun-tahun yang hilang, cintaku berdenyut lemah di selubung kabut. Mungkin karena itu kau disebut cahaya. Dan sekali lagi engkau menjadi penerang ketika aku hampir hilang arah menemukan jalan pulang. 

Tahun-tahun yang hilang, mungkin Tuhan dulu sedang memberi kita waktu. Kita dipersilakan untuk memperbaiki diri, menata hati, dan memantaskan diri. Waktu berjalan ketika tahun-tahun yang hilang menyembunyikan kita dari perjumpaan. Apakah rasa yang sama seperti dulu masih engkau simpan?


Mungkin seharusnya aku tak pulang, tapi bagaimana jika ini yang sudah digariskan?

23 Jun 2014

Discover Banyuwangi


Notes: Thanks to Ahmad & Wisnu and their Family. Nadia yang selalu terbayang di perjalanan.

Purwosari pagi hari. Orang-orang berlalu lalang datang dan pergi. Bertiga kami duduk di peron dan menunggu datangnya kereta api. Ada sedikit yang mengganggu perhatian salah seorang dari kami. Sekelompok mahasiswi yang bisa kukenali darimana asalnya lewat atribut yang mereka pakai. Sampai pada titik ini, semua berjalan normal dan biasa seperti yang semestinya. Sri Tanjung siap membawa kami memulai perjalanan panjang ke ujung timur Pulau Jawa.
**
Perjalanan kali ini aku lakukan untuk mengganti rencana petualangan ke Lombok yang berulang kali harus batal. Pada awalnya, aku ingin berangkat sendiri. Namun, aku kemudian membayangkan betapa sepinya perjalanan nantinya tanpa hadirnya seorang kawan. Berangkat dari hal tersebut, aku memutuskan untuk mengajak Isa dan Andri.

Sedikit berbeda dari perjalanan yang kulakukan sebelumnya, kali ini aku memulainya tanpa script dan itinerary. Semua rencana aku serahkan kepada temanku, Ahmad, yang sebelumnya telah aku hubungi untuk menjadi host dalam petualangan kali ini.
**
Belum sempat tiga jam berjalan, kereta kami terhenti cukup lama di Madiun. Kendala teknis di roda gerbong tiga membuat kami terpaksa menunggu. Untung saja Isa membawa kue dan ajanan pasar yang dibelikan oleh Ibunya. Lumayan, sedikit bisa mengusir rasa bete dan lapar. Selama kereta berhenti tadi, aku tak melihat Andri. Baru tau kemudian setelah petualangan ini berakhir, kalau dia jalan-jalan di gerbong belakang dengan segenap modus untuk bisa melihat salah seorang dari sekelompok mahasiswi yang kami temui di peron tadi.

**
Perjalanan hampir 13 jam akhirnya membawa kami ke tempat tujuan. Estimasi waktu kedatangan memang tidak sesuai dengan jadwal karena ada gangguan teknis pada kereta yang sudah kusebutkan tadi. Yakh, kereta terlambat sudah biasa. Pesawat saja terkadang juga delay. Satu hal yang perlu dicamkan kawan, perjalanan harus disertai dengan sabar dan tawakal.

Setibanya di Banyuwangi, kami memutuskan untuk makan malam di dekat Stasiun Kali Setail. Kebetulan kaki lima yang kami dapati bermenukan nasi goreng. Aku sendiri tak lagi pikir panjang dalam memilih makanan karena perut sudah menahan lapar sejak ada di dalam kereta dan belum makan sejak dari rumah pagi harinya. Di warung kaki lima ini, kami bertiga dijemput oleh Ahmad dan Wisnu yang menjadi tuan rumah.

Malam itu kami menginap di rumahnya Wisnu yang jaraknya hanya beberapa menit saja dari stasiun. Wisnu adalah temen angkatannya Isa di Bea Cukai. Aku sendiri belum kenal dan belum pernah sekalipun berjumpa dengannya. 

Sesaat setelah sampai di rumahnya Wisnu, suatu hal terjadi. Tas Andri ketinggalan di warung kaki lima tadi. Kejadian seperti ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Dulu waktu kami ke Dieng, hal yang sama pernah terjadi. Ditengarai anak satu ini mengidap penyakit short term memory. Terpaksalah Andri dengan ditemani Ahmad kembali ke stasiun. Sayangnya, warung tadi sudah kukut dan tasnya tidak ditemukan. Untung saja si penjual tersebut kenal dengan keluarganya Wisnu. Dan secara tak terduga si penjual tadi mengembalikan sendiri tas tersebut ke alamat rumah kawan kami satu itu.

Di rumah keluarganya Wisnu kami disambut dengan hangat. Teh dan makanan ringan tersedia. Malam itu kami berdiskusi mengenai itinerary untuk petualangan kali ini. Tak sampai larut malam, aku memutuskan untuk tidur demi menjaga kondisi tubuh mengingat keesokan harinya perjalanan panjang akan segera dimulai.
**

Kamis (Day I)

Waktu bangun tidur, kami menjumpai Ahmad dan Wisnu tidak ada. Mereka berdua pergi ke tempatnya Ahmad untuk mengambil sepeda motor yang akan kami gunakan. Setelah menunggu kedatangan mereka berdua, kami dipersilakan untuk sarapan di rumah keluarga ini. Kami baru jalan sekitar pukul 10.30. Agenda pertama kali ini adalah mengunjungi Taman Nasional Alas Purwo. Sayangnya, kali ini Wisnu tak bisa ikut karena ada acara. Dia menjanjikan untuk join dengan kami malam harinya.

Berempat kami berangkat dari Genteng menuju Tenggara Banyuwangi. Di sana letak TN. Alas Purwo berada. Ada tiga points yang hendak kami kunjungi di TN ini, Sadengan, Pantai Pancur, dan G-Land. Beberapa kendala kami hadapi sepanjang perjalanan ke Alas Purwo, mulai dari digoda hujan yang terpaksa membuat kami terhenti beberapa kali sampai kondisi roda motor kami yang memang sedang dalam keadaan tidak well. Soal kondisi motor ini sebenarnya yang lebih membuatku cemas dan was-was di sepanjang perjalanan.

Gerbang TN. Alas Purwo berjarak dua jam lebih dari Kota Genteng. Hutan di Taman Nasional ini masih tertutup rapat alami dengan pemandangan awal berupa hutan jati. Semakin ke dalam, kondisi jalan semakin rusak. Sesuatu yang agak mistik dapat kurasakan ketika semakin masuk ke dalam hutan. Maklum saja, Alas Purwo masih dikeramatkan oleh beberapa orang. Banyak larangan ketika berada di kawasan Alas Purwo salah satunya buang air sembarangan. Di sini biasanya orang-orang dengan tujuan tertentu melakukan tapa, mencuci keris, serta melakukan kegiatan tak lazim lainnya. Intensitas orang-orang pencari spiritual yang berkunjung ke tempat ini akan semakin meningkat kalau sudah memasuki bulan Suro.

Di pintu gerbang TN, kami mengurus perizinan dan administrasi. Lokasi pertama yang kami kunjungi adalah Sadengan. Tempat ini berjarak sekitar 7 km dari pintu gerbang. Tujuan kami ke sini adalah melihat banteng dan burung merak. Sadengan merupakan savana kecil yang berada di tengah rimbun dan ganasnya hutan Alas Purwo. Di sini banyak di jumpai banteng yang sedang mencari makan. Aku sendiri lebih dibuat kagum akan burung merak yang bebas jalan-jalan sendiri layaknya ayam kampung. Tak lama kami di Sadengan, perjalanan kami berlanjut menuju Pantai Pancur.

Pantai Pancur berjarak 6 km dari Sadengan. Di sini kami menjumpai seekor rusa besar dan bertanduk yang bebas mencari makan. Perjalanan ke G-Land dapat dimulai dari pantai ini. Sayangnya, saat kami tiba di Pantai Pancur, tidak ada jeep yang tersedia untuk dipakai ke G-Land. Akses ke G-Land hanya diperbolehkan dengan menggunakan jeep. Tarifnya sekitar Rp 250.000,-. Sedikit informasi, G-Land atau yang dikenal sebagai Pantai Plengkung merupakan tempat yang cukup sohor di kalangan surfer dunia. Ombak di G-Land hanya kalah dengan ombak yang ada di Hawai. Kami sendiri yang penasaran akan ombaknya dan berencana untuk surfing di sana terpaksa harus mengubur dalam-dalam keinginan tersebut. Jeep yang kami tunggu dan akan kami sewa tak kunjung tiba. Alhasil, kami hanya bermalas-malasan saja di Pantai Pancur. Pantai ini sebenarnya cukup bagus dan sepi. Hanya saja kami datang saat matahari sedang terik-teriknya. Sebelum senja, kami memutuskan untuk keluar dari Alas Purwo.

Perjalanan hari ini masih berlanjut, dari laut kami beranjak ke gunung, Ya, Gunung Ijen. Salah satu ikon wisata paling terkenal dari Banyuwangi. Dari ujung tenggara Banyuwangi kami bergegas ke utara sejauh lebih dari100 km malam itu. Kali ini Wisnu bergabung bersama adiknya yang baru duduk di kelas 6 SD. Meeting point kami di Masjid Agung Rogojampi. Di Masjid ini kami juga sekalian makan malam.

Perjalanan ke Ijen malam itu sungguh syahdu. Jalanan yang tak berhenti menanjak ditambah kegelapan yang mengelilingi sekitar kami benar-benar menggugah nyali. Tak ada pengendara lain kecuali kami. Belum lagi kabut tebal yang menyelimuti jalan, bahkan pandanganku hanya mampu melihat kurang dari dua meter.

Setibanya di base camp, hawa dingin langsung menyergap tubuh kami. Suhu di sini benar-benar di luar ekspektasiku. Kami segera mendirikan tenda untuk tidur melepas lelah karena jam 02.00 harus bersiap untuk memulai pendakian. Aku sendiri malam itu kurang bisa tidur dengan nyenyak.

Jumat (Day 2)

Pendakian kami lakukan tepat setelah pukul 02.00. Hal ini kami lakukan karena estimasi kami dalam pendakian membutuhkan waktu sekitar dua jam. Kami takut kalau kesiangan dan harus melewatkan blue fire yang ada di kawah ijen. Di awal pendakian kami sempat dilarang untuk mendaki oleh seorang yang mengaku petugas karena waktu belum menunjukkan jam 03.00. Aku tak peduli. Tak ada peraturan soal itu. Apalagi dari tata bahasa bicaranya, orang itu kelihatan “mayak”. Belakangan dari Wisnu aku ketahui, jika orang tersebut merupakan Orang Oesing. Orang asli Banyuwangi yang super gathel. Bukan maksudku untuk SARA. Namun, menurut penuturan orang-orang, seperti itulah keadaannya. Orang Oesing biasanya tinggal di Licin. Orang ini minoritas dibandingkan dengan Orang Jawa dan Madura yang berada di Banyuwangi.

Kondisi jalan menuju Kawah Ijen lumayan menanjak tapi tidak terlalu berat untuk kami yang sudah biasa mendaki gunung. Kebetulan malam itu sedang purnama sehingga jalanan cukup terang tanpa harus mengeluarkan lampu senter. Perjalanan ke punggungan gunung ditempuh hampir 1,5 jam kemudian melipir turun ke bawah menuju kawah sekitar setengah jam. Di dekat kawah inilah fenomena blue fire dapat dijumpai. Sepanjang perjalanan mendaki, hanya rombongan kami yang merupakan penduduk lokal sisanya merupakan turis asing.

Blue fire and Sunrise over the sky of Ijen crater

Tak lama aku berada di kawah. Baunya belerang yang sangat menyengat membuatku tak tahan untuk lama-lama berada di sana. Apalagi selepas sembulan asap putih pekat yang mengarah kepadaku. Rasanya tak lucu apabila harus mati seperti Gie. Segera setelah peristiwa itu aku langsung memutuskan untuk naik sendiri ke atas dan meninggalkan mereka di bawah. Dari kawah menuju atas kondisi jalannya berupa bebatuan cukup curam, mirip dengan Merapi. Sesampainya di atas, aku dan Isa memutuskan untuk menuju point melihat sunrise yang berjarak 1 km ke arah timur laut. Sayangnya, langkah kami dibalap oleh Andri. Toh, tetap saja sunrise masih dapat kami nikmati.

Cukup lama kami menikmati mentari pagi. Mencoba menghangatkan diri sambil memandangi teluk bali yang ada di hadapan kami. Wisnu dan adiknya kemudian menyusul di belakang kami. Ahmad yang kakinya keram tiba paling belakang. Kami berbagi makanan ringan untuk sekedar mengganjal perut yang dilanda lapar. Tak lupa kami mneyibukkan diri dengan kamera milik kami. 

**
Lelaki muda itu terpaku memandangi jingga langit pagi. Di tatapnya cakrawala penuh harap. Terbayang olehnya akan seorang gadis yang ia pendam rasa kepadanya. Gadis yang berada dalam kereta di perjalanan kemarin. Masih berharap dia mampu mengembalikan waktu. Sesuatu yang baru saja berlalu telah ia sesali.”

**

Perjalanan turun terasa santai. Kami berjalan pelan-pelan. Sesekali berpapasan dengan penambang belerang. Mengajak mereka bicara tentang kebiasaan pekerjaan ini. Salah seorang penambang itu menuturkan, dalam satu kali angkut mereka bisa memikul kurang lebih hampir 80 kg. Dalam sehari mereka bisa dua kali mengambil belerang dari kawah tadi. Aku tak bisa membayangkan sendi dan kekuatan otot macam apa yang mereka miliki. Terkadang, carrier yang hanya 15 kg saja tak kuat untuk kubawa. Belerang tersebut dijual dengan harga yang telah ditentukan, 800 perak untuk setiap kilonya.

**
“Gadis itu masih belum bisa enyah dari pikirannya. Seolah-olah bayangannya memberatkan langkah lelaki itu. Aku bisa melihat. Tak seperti biasa, ia berjalan dengan langkah gontai tak terarah seperti sarjana muda yang mencari kerja.”

**
Setibanya di basecamp, kami segera mengisi perut. Basecamp di Ijen tergolong sudah lengkap. Ada homestay dan warung makan. Kami memutuskan untuk sarapan mie telor waktu itu. Setelah mandi dan packing kami sempat tidur sebentar sebelum akhirnya meninggalkan Ijen.

**
Tak lengkap rasanya ketika kita berkunjung ke suatu tempat tapi tidak mencicipi sajian kuliner khas dari daerah tersebut. Banyuwangi memiliki sajian kuliner khas bernama rujak soto. Rujak di sini bukan berarti buah yang diparut kemudian diberi sambal lotis. Rujak dalam pengertian orang di Jawa Timur kurang lebih seperti lotek dalam tatanan pengertian bangsa Mataram seperti kami. Rujak soto sendiri merupakan rujak cingur yang disiram kuah soto. Terdengar sedikit aneh bagi yang awam tapi rasanya mantap jaya. Kami mendapati rujak soto ini di pusat Kota Banyuwangi selepas turun dari Ijen dan hendak menuju rumah Ahmad di Genteng.

Praktis setelah dari Ijen, hari Jumat ini kami memulihkan stamina di rumahnya Ahmad. Kami tiba di rumahnya Ahmad sore hari. Di jalan kami berpisah dari Wisnu dan adiknya yang memutuskan untuk pulang. Tak lupa kami sempatkan juga membengkelkan motor karena keesokan harinya medan yang kami tempuh bakal lebih berat: Taman Nasional Meru Betiri.

Sama dengan keluarganya Wisnu, keluarganya Ahmad juga sangat hangat kepada kami sebagai tamu. Ahmad di rumah ini tinggal dengan Bulik (tante) dan neneknya. Di sini, kami bahkan dijamu bak raja. Kami dimasakkan makanan untuk makan malam dan sarapan pagi. Sesuatu yang menurutku terlalu merepotkan bagi mereka.
**
“Lelaki itu masih gelisah. Malam memeluk jiwanya yang payah. Dirinya belum mampu berhenti memikirkan gadis itu. Berharap esok sebelum pulang, akan ada kesempatan lagi baginya untuk kembali berjumpa.”

**
Sabtu (Day 3)

Pagi menjemput hari, kami bersiap kembali memulai perjalanan. Kali ini kami hendak ke Pulau Merah dan Taman Nasional Merubetiri. Sambil menunggu Wisnu dan adiknya datang, kami memutuskan untuk jalan-jalan ke sawah tak jauh dari rumah di mana semalam kami tidur.

Pulau Merah merupakan andalan pariwisata di Banyuwangi selain Ijen. Pantai ini tergolong sangat bersih meskipun ramai oleh pengunjung. Akses dan kondisi jalan ke sana juga bisa dijangkau secara mudah dengan menggunakan kendaraan pribadi. Belum lama ini, ada festival surfing bertaraf internasional yang diselenggarakan di sana. Ombak dan pemandangan yang tersaji sungguh memanjakan mata para pengunjung. Pantai di sini sangat cocok bagi mereka yang ingin belajar surfing. Fasilitas yang tersedia juga sudah cukup mumpuni. Hanya berharap saja, semoga kebersihan dan kelestarian di pantai ini tetap terjaga meskipun ramai oleh pengunjung.

Santai-santai di pantai, sesuatu yang menenangkan jiwa. Cukup lama kami di sini, hampir dua jam. Menikmati pemandangan laut lepas. Melepas segenap sarat beban. Dan sedikit melupakan masa lalu. Satu hal yang selalu ada dalam pikiranku ketika mendapati suasana seperti ini, ada suatu kenyamanan di tengah kekosongan yang terbentang dari garis pantai ke cakrawala. Tak ada masa lalu, tak ada masa depan.

Tak ingin kami berlama-lama dan terbuai dengan kenyamanan di pantai ini, kami bergegas menuju Meru Betiri. Perjalanan dari Pulau Merah ke Merubetiri cukup mengasyikkan. Kondisi jalan ada yang bagus dan ada pula yang buruk, terutama saat sudah memasuki kawasan Taman Nasional. Sepanjang perjalanan, mata akan dimanjakan oleh perkebunan kakao milik PTPN. 

Kawasan Taman Nasional Merubetiri terletak di sebelah selatan Banyuwangi. Konon, di sinilah habitat Harimau Jawa yang sampai saat ini kepunahannya masih diperdebatkan. Hutan di sini tergolong hutan hujan tropis. Setelah mengurus perizinan, kami mulai memasuki kawasan TN. Sedikit berbeda dengan TN Alas Purwo, di Merubetiri masih terdapat perkampungan meskipun infrastruktur kondisi jalannya jelek. Ada dua tempat yang hendak kami kunjungi di TN ini, Green bay dan Sukamade.

Tujuan pertama kami di TN Merubetiri adalah Greenbay atau yang biasa disebut Teluk Ijo. Pantai di sini benar-benar asri dan tersembunyi di antara dua bukit. Warna lautnya yang kehijauan mungkin merupakan sebab kenapa tempat ini dinamakan Teluk Ijo. Pasirnya lembut dan ombaknya sangat cocok untuk bermain air. Jangan heran, kalau Isa dan Andri suka sekali bermain ombak di tempat ini. Untuk mencapai kawasan Teluk Ijo, kita mesthi tracking menuruni bukit selama 30 menit dari parkiran sepeda motor. Tempat ini bisa dibilang masih terjaga kebersihannya. Akan tetapi, jangan berkunjung ke sini di hari minggu. Saat hari libur, bisa dipastikan tempat ini ramai oleh Anak Gaul Banyuwangi.
Greenbay
**
Aku tak tahu lagi apa yang berkecimpuk di benak lelaki itu. Greenbay, tempat di mana ia sangat berharap dapat menjumpai gadis itu. Namun, gadis itu tak ada. Tak ada yang tahu ke mana kemarin ia pergi. Semakin banyak tempat indah yang ia cari dan ia kunjungi, ia semakin merasa sepi. Ada kekuatan yang secara tak sadar membelenggu sukmanya. Perlahan-lahan dan secara diam-diam memaksa lelaki itu untuk larut dalam sesuatu bernama kerinduan.”

**
Mungkin hanya orang gila yang sudi mendatangi Sukamade. Dan kami mungkin termasuk salah satunya. Bisa dipastikan orang yang pergi ke sana adalah orang yang benar-benar punya niat. Jalan ke Sukamade dari Greenbay benar-benar menguji mental pengendara dan kemampuan sepeda motor. Terlebih kami hanya menggunakan motor bebek. Bisa dibayangkan, kalau terjadi suatu hal semisal ban bocor, mampuslah kami. 

Kondisi jalan selepas memasuki gerbang TN Merubetiri memang sudah berupa bebatuan yang ditata tetapi rusak. Semakin masuk ke dalam TN, kondisi jalannya semakin parah. Kecepatan berkendara kami paling banter cuma 10km/jam. Sebenarnya motor jenis bebek tidak direkomendasikan untuk jungle track di sini. Kendaraan yang tepat tentu saja jeep dan sejenisnya.

Perjalanan kami akhirnya sampai pada ujungnya setelah melewati jalanan bebatuan, menembus hutan, dan menyeberangi sungai. Tepat sebelum maghrib, kami tiba di kawasan konservasi penyu yang berbatasan langsung dengan Pantai Sukamade. Hampir 1,5 jam tubuh kami terguncang di atas motor. Sesuatu hal yang masih belum dapat aku percaya adalah adanya desa kecil di kawasan ini.

Kami mendirikan tenda di kawasan konservasi ini setelah meminta izin terlebih dahulu dengan petugas yang ada. Di tempat ini sebenarnya terdapat kamar homestay dengan tarif Rp 200.000,- yang biasanya dipakai turis asing. Fasilitas Musholla, kantin kecil, dan MCK juga ada. Listrik di sini menggunakan diesel. 

Tukik
hunting penyu malam hari
Pada umumnya, pengunjung yang datang ke sini biasanya punya tujuan untuk melihat penyu bertelur atau melepas tukik. Kami pun juga demikian. Malam hari sekitar pukul 20.00, kami berburu penyu yang hendak bertelur di sepanjang garis pantai. Sayangnya, kami hanya menemukan satu ekor sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke tenda lewat tengah malam.

Minggu (Day 4)

Minggu pagi, kami sudah bersiap untuk ikut dalam pelepasan tukik dengan seorang turis asing. Hanya kami bertujuh ditemani dengan seorang petugas. Kegiatan seperti ini sebenarnya adalah yang kedua kalinya bagiku. Pengalaman pertama melepas tukik aku dapatkan ketika berkunjung ke Pangumbahan sekitar dua tahun lalu. Sedikit informasi, tukik yang dilepas ini menurut catatan WWF hanya akan tersisa kurang dari 10% untuk setidaknya dapat hidup lebih dari satu tahun. Aku bisa membayangkan dan mengucapkan selamat jalan bagi tukik-tukik ini karena kehidupan mereka sudah terbentang di lautan depan. Di tempat ini mereka dilepas, di tempat ini pula mereka akan kembali bertelur suatu saat nanti.

Selepas dari pantai, kami langsung packing dan bergegas untuk pulang. Tak lupa untuk mengisi kekosongan perut, kami memesan mie goreng telur di kantin yang ada di sini. Perjalanan pulang ke Genteng pun dimulai dengan melintasi jalan yang sama. Kami tiba kembali di rumahnya Ahmad setelah dzuhur. Di sini kami beristirahat untuk beberapa jam sebelum akhirnya pulang kembali ke Solo sore harinya.

Kami kehabisan tiket kereta untuk pulang ke Solo. Mau tak mau, kami akhirnya terpaksa menggunakan bus. Dari Banyuwangi kami menuju Jember. Di terminal Tawangalun Jember, kami ganti bus jurusan Surabaya. Perjalanan pulang menanti di depan.

**
“Terminal Bungurasih lewat tengah malam. Lelaki itu sudah kehilangan asa untuk sekedar bersau kembali dengan gadis yang telah menghantui pikirannya dalam beberapa hari belakangan ini. Ingin sekali dia berjumpa dengan gadis itu di setiap tempat-tempat eksotis yang kemarin ia kunjungi. Ada yang bilang keindahan selalu terbalut dengan sepi. Dalam perjalanan pulang kali ini, keinginan itu perlahan sirna tertelan keadaan. Bayangannya memudar seiring jauh jarak membawanya kembali pulang.”

**


 Our Galleries









Discover Banyuwangi, 11-15 Juni 2014
Aziz, Isa, and Andri
Lelaki itu (In memory of Novi Andriyanto)