Ada yang kurang rasanya jika akan
melewatkan waktu lebih dari sebulan di Bali tanpa mengunjungi puncak tertinggi di pulau ini. Pemandangan pantai,
mungkin sudah jadi sajian setiap hari yang begitu dengan mudahnya dijangkau.
Akan sedikit berbeda jika tempat yang dikunjungi adalah ranah tertinggi di Pulau Dewata: Gunung Agung. Bukan hanya
keindahan alam yang membuat jiwa petualang kami terpanggil melainkan juga
sensasi kemistisan yang membuat kami tertarik mengunjungi salah satu tempat
yang disucikan oleh Umat Hindu di Bali ini sehingga kami rela membawa carier
yang membebani punggung, melangkahkan kaki yang terbelenggu rasa lelah, dan
menyalakan gelora semangat dalam setiap nafas yang letih.
Malam
hari akhir pekan pertama bulan Juli, perjalanan dari Denpasar menuju Pura
Besakih di Kabupaten Karangasem, masih terkenang di ingatan. Mobil Xenia yang
kami tumpangi sudah penuh sesak dengan 8 orang: Saya, Nopek, Nana, Budi,
Tumbur, Puye, Yoga dan Anom sebagai sopir pribadi kami. Kapastitas 8 orang yang
mengisi Xenia ini sebenarnya sudah terlalu dipaksakan apalagi di dalamnya masih
terdapat beberapa carier berat berisi perbekalan dan peralatan kami selama
pendakian. Hal ini masih diperparah dengan gangguan yang terdapat dalam sistem
klakson mobil kami yang tidak berfungsi.
Perjalanan
kurang lebih sekitar dua jam kami tempuh dari Denpasar menuju Pura Besakih.
Jalanan yang sepi membuat saya tertidur selama berada di mobil meskipun
jalurnya menanjak dan berkelok-kelok. Sesekali terjaga yang saya lihat hanya
anjing yang sering kami jumpai di pinggir jalan. Lewat tengah malam kami tiba
di Pura Besakih, pura terbesar di Pulau Bali. Kondisi saat itu dingin dengan
suasana malam khas mencekam, terlebih gonggongan anjing saling bersahutan di
sekitar kami. Satu hal yang menjadi nilai plus malam itu adalah kondisi langit
bertabur bintang yang sungguh indah.
Kesalahan
kami dalam perjalanan kali ini adalah ketidaktahuan rencana mengenai hal
pertama yang harus dilakukan setibanya di Pura Besakih, terlebih dengan kondisi
larut malam seperti ini. Kami tidak tahu ke mana mesti beristirahat dan melapor perizinan terlebih dahulu sebelum
melakukan pendakian. Untunglah gelagat kami yang mencurigakan dengan memutari
jalanan di sekitar pura mendapat respon oleh orang-orang sekitar yang kebetulan
sedang melakukan ritual keagamaan. Setelah bertanya dan memberitahu maksud
kami, mereka akhirnya menyarankan kami untuk pergi ke Pos Polisi (Pospol) yang
ada di seberang belakang pura.
Pos
Polisi yang kami jumpai tidak begitu jauh lokasinya dari pura, di kantor ini
terdapat seorang polisi yang kebetulan sedang dinas malam. Dari polisi tersebut
kami menggali informasi tentang persyaratan dan perizinan melakukan pendakian.
Dan yang lebih penting lagi, akhirnya kami menemukan toilet setelah menahan
kencing selama perjalanan tadi. Salah satu syarat yang harus kami penuhi ketika
akan melakukan pendakian adalah keharusan memakai jasa guide. Maklum, jasa
guide sudah menjadi kewajiban sebagai pemandu bagi pendaki. Hal ini mulai
diberlakukan setelah kecelakaan menimpa pendaki dari Bandung beberapa tahun
lalu. Perlu diketahui, apabila terjadi kecelakaan yang menewaskan pendaki, umat
hindu di sini harus melakukan ritual pembersihan gunung yang menghabiskan biaya
tidak sedikit. Oleh karena itu, jasa guide ini dimaksudkan untuk meminimalisir
terjadinya kecelakaan. Tarif untuk seorang pendaki di sini tergantung proses
negoisasi. Pada awalnya guide kami mematok harga 900k, setelah kami tawar
akhirnya harganya menjadi 500k. Tarif setengah juta ini sebenarnya diluar
ekspektasi kami yang memperkirakan hanya sekitar 350k saja.
Pos Polisi di Besakih |
Dari
kedelapan orang, hanya 6 orang yang ikut dalam pendakian ke Gunung Agung. Yoga
dan Anom tidak ikut karena memutuskan untuk memilih liburan sendiri ke Lovina
di Singaraja. Pendakian kami mulai pukul 9 pagi setelah berbekal sarapan dengan
pop mie. Mencari makanan yang halal di sini memang susah makanya untuk yang
aman kami makan pop mie saja. Medan awal pendakian dipenuhi oleh ladang
perkebunan warga selama satu jam pertama sampai akhirnya kami tiba di Pura
Pengubengan. Di Pura Pengubengan kami dituntun oleh guide kami untuk melakukan
ritual meminta keselamatan selama melakukan pendakian. Setelah istirahat dan
berdoa sejenak, kami melanjutkan perjalanan.
Ritual di Pura Pengubengan |
Medan pendakian di Gunung Agung menurut saya
termasuk kategori ekstrem karena jalannya selalu menanjak dan tak ada bonus
sama sekali. Suasana mistis jelas bisa terasa karena sepanjang perjalanan
terdapat bekas persembahan. Belum lagi gunung ini termasuk gunung yang tidak
ramai dan umum untuk dijadikan obyek pendakian. Hal ini bisa dilihat dari
sepanjang perjalanan yang jarang sekali terlihat sampah. Waktu itu bahkan hanya
ada satu rombongan yang ada di depan kami.
Selama melakukan pendakian, mata kami
sangat sedikit sekali dimanjakan oleh pemandangan mengingat jalur yang kami
lewati selepas dari Pura Pengubengan tadi langsung menembus hutan belantara dan
melewatii jalur punggung gunung yang terus menanjak. Di dalam perjalanan ini
kami terpisah menjadi dua. Di posisi depan ada Tumbur dan saya yang ditemani
oleh guide kami sedangkan di belakang ada Nana, Nopek, Puye, dan Budi. Formasi
ini terjaga sampai sesekali kami beristirahat untuk saling menunggu.
Tim Pendaki: Tumbur, Budi, Nana, Saya, Puye, dan Nopek |
Saya dan Tumbur yang di depan semakin jauh meninggalkan kawan
kami berempat dibelakang. Puncaknya adalah ketika kami berdua tiba
dipersimpangan jalan yang menuju arah Girikusuma. Di sini saya memutuskan untuk
menunggu Nopek dkk yang ada di belakang dan membiarkan Tumbur dan guide kami
untuk leading di depan karena mereka hendak mendirikan tendak terlebih dahulu
di Watu Tulis sehingga saat kami tiba di sana kami tinggal beristirahat.
Persimpangan Parang Girikusama |
Persimpangan Girikusuma merupakan
tanda bahwa perjalanan sudah sampai setengahnya. Di sini ada dua jalur, ke
kanan berarti menuju sumber mata air yang disucikan dan tak bisa seenaknya
diambil dan jalur ke kiri yang akan menuntun perjalanan sampai ke puncak. Waktu
itu kami tiba di Girikusuma pukul setengah 4 sore. Jauh dari rencana estimasi
waktu kami yang menargetkan tengah siang. Selama hampir satu jam saya menunggu
sendirian di Girikusuma, saya melewatkan waktu dengan memutar playlist
lagu-lagu milik John Denver dan Franky Sahilatua. Sedikit mengusir rasa takut
dan membayangkan seseorang di sana.
Pukul setengah 5 sore, rombongan
Nopek dkk. tiba juga di Girikusuma. Setelah istirahat sejenak, kami melanjutkan
perjalanan. Kali ini Saya dan Nana leading di depan dan semakin jauh
meninggalkan Nopek, Puye, dan Budi di belakang. Kondisi yang semakin senja membuat
kami bergegas untuk segera sampai di Watu tulis sebelum matahari tertelan oleh
malam.
Senja di perjalanan menuju Watu tulis |
Saya dan Nana akhirnya tiba juga di
Watu tulis dan menemui Tumbur. Dengan kondisi tenda belum beres, kali ini kami
bertiga mesti mendirikan tenda bersama. Saat itu waktu menunjukkan pukul 7
malam. Sedangkan Nopek dkk. baru sampai satu jam setelah kami. Dengan cemilan
makanan seadanya kami mengisi waktu yang berlalu sambil menunggu kedatangan
Nopek dkk. saat itu kondisi kami benar-benar dilenyapkan oleh kelemasan akibat
tak ada makanan berat cukup kalori yang bisa kami makan selama pendakian tadi.
Lebih parahnya, kami belum makan nasi selama hampir 24 jam. Apalagi paginya
cuma sarapan pop mie. Tak banyak kami terjaga selama malam itu mengingat
perjalanan kami keesokan hari masih akan berlanjut.
Suasana kehangatan tenda di Watu tulis |
Pukul 4 pagi kami sudah siap
melakukan summit attack dan mengejar sunrise. Sayangnya kali ini Puye dan Budi
tak bisa ikut karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan. Puye sendiri sejak
awal pendakian sudah menunjukkan gejala gangguan fisik yang tidak biasa. Medan
selepas Watu tulis berupa bebatuan yang menanjak semakin terjal. Kali ini kami
tidak sendiri karena banyak rombongan di belakang kami yang menyusul ke puncak,
kebanyakan dari mereka adalah Turis asing. Kondisi alam selama perjalanan
menuju puncak kali ini diselimuti kabut yang sesekali jatuh dalam bentuk
gerimis tipis. Satu hal yang menggugah nyali di pagi itu adalah angin yang
berhembus kencang. Toh, dengan tekad, asa, dan semangat yang tersisa akhirnya
kami menapaki juga puncak agung di ketinggian 3081 mdpl.
Puncak Gunung Agung |
Gunung Agung memilik tiga puncak,
sayangnya puncak ketiga tidak bisa digapai karena jalan ke sana sudah putus. Dari
menara suci ini terlihat Pulau Bali yang berada di bawah naungan awan, lautan
biru yang masih terjaga dalam tidurnya, Pulau Jawa yang masih terselimuti gelap
di ufuk barat, dan mentari terbit dari sela-sela Rinjani. Tuhan, alangkah agung
ciptaanMu dan betapa kecilnya kami….
Nopek, Saya, The Guide, Tumbur, dan Nana di Puncak Agung |
Perjalanan Turun dari Puncak |