27 Agu 2013

Perjalanan Menggapai Menara Suci Ranah Dewata


                Ada yang kurang rasanya jika akan melewatkan waktu lebih dari sebulan di Bali tanpa mengunjungi  puncak tertinggi di pulau ini. Pemandangan pantai, mungkin sudah jadi sajian setiap hari yang begitu dengan mudahnya dijangkau. Akan sedikit berbeda jika tempat yang dikunjungi adalah ranah tertinggi  di Pulau Dewata: Gunung Agung. Bukan hanya keindahan alam yang membuat jiwa petualang kami terpanggil melainkan juga sensasi kemistisan yang membuat kami tertarik mengunjungi salah satu tempat yang disucikan oleh Umat Hindu di Bali ini sehingga kami rela membawa carier yang membebani punggung, melangkahkan kaki yang terbelenggu rasa lelah, dan menyalakan gelora semangat dalam setiap nafas yang letih.
                Malam hari akhir pekan pertama bulan Juli, perjalanan dari Denpasar menuju Pura Besakih di Kabupaten Karangasem, masih terkenang di ingatan. Mobil Xenia yang kami tumpangi sudah penuh sesak dengan 8 orang: Saya, Nopek, Nana, Budi, Tumbur, Puye, Yoga dan Anom sebagai sopir pribadi kami. Kapastitas 8 orang yang mengisi Xenia ini sebenarnya sudah terlalu dipaksakan apalagi di dalamnya masih terdapat beberapa carier berat berisi perbekalan dan peralatan kami selama pendakian. Hal ini masih diperparah dengan gangguan yang terdapat dalam sistem klakson mobil kami yang tidak berfungsi.
                Perjalanan kurang lebih sekitar dua jam kami tempuh dari Denpasar menuju Pura Besakih. Jalanan yang sepi membuat saya tertidur selama berada di mobil meskipun jalurnya menanjak dan berkelok-kelok. Sesekali terjaga yang saya lihat hanya anjing yang sering kami jumpai di pinggir jalan. Lewat tengah malam kami tiba di Pura Besakih, pura terbesar di Pulau Bali. Kondisi saat itu dingin dengan suasana malam khas mencekam, terlebih gonggongan anjing saling bersahutan di sekitar kami. Satu hal yang menjadi nilai plus malam itu adalah kondisi langit bertabur bintang yang sungguh indah.
                Kesalahan kami dalam perjalanan kali ini adalah ketidaktahuan rencana mengenai hal pertama yang harus dilakukan setibanya di Pura Besakih, terlebih dengan kondisi larut malam seperti ini. Kami tidak tahu ke mana mesti beristirahat  dan melapor perizinan terlebih dahulu sebelum melakukan pendakian. Untunglah gelagat kami yang mencurigakan dengan memutari jalanan di sekitar pura mendapat respon oleh orang-orang sekitar yang kebetulan sedang melakukan ritual keagamaan. Setelah bertanya dan memberitahu maksud kami, mereka akhirnya menyarankan kami untuk pergi ke Pos Polisi (Pospol) yang ada di seberang belakang pura.
                Pos Polisi yang kami jumpai tidak begitu jauh lokasinya dari pura, di kantor ini terdapat seorang polisi yang kebetulan sedang dinas malam. Dari polisi tersebut kami menggali informasi tentang persyaratan dan perizinan melakukan pendakian. Dan yang lebih penting lagi, akhirnya kami menemukan toilet setelah menahan kencing selama perjalanan tadi. Salah satu syarat yang harus kami penuhi ketika akan melakukan pendakian adalah keharusan memakai jasa guide. Maklum, jasa guide sudah menjadi kewajiban sebagai pemandu bagi pendaki. Hal ini mulai diberlakukan setelah kecelakaan menimpa pendaki dari Bandung beberapa tahun lalu. Perlu diketahui, apabila terjadi kecelakaan yang menewaskan pendaki, umat hindu di sini harus melakukan ritual pembersihan gunung yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Oleh karena itu, jasa guide ini dimaksudkan untuk meminimalisir terjadinya kecelakaan. Tarif untuk seorang pendaki di sini tergantung proses negoisasi. Pada awalnya guide kami mematok harga 900k, setelah kami tawar akhirnya harganya menjadi 500k. Tarif setengah juta ini sebenarnya diluar ekspektasi kami yang memperkirakan hanya sekitar 350k saja.
Pos Polisi di Besakih
                Dari kedelapan orang, hanya 6 orang yang ikut dalam pendakian ke Gunung Agung. Yoga dan Anom tidak ikut karena memutuskan untuk memilih liburan sendiri ke Lovina di Singaraja. Pendakian kami mulai pukul 9 pagi setelah berbekal sarapan dengan pop mie. Mencari makanan yang halal di sini memang susah makanya untuk yang aman kami makan pop mie saja. Medan awal pendakian dipenuhi oleh ladang perkebunan warga selama satu jam pertama sampai akhirnya kami tiba di Pura Pengubengan. Di Pura Pengubengan kami dituntun oleh guide kami untuk melakukan ritual meminta keselamatan selama melakukan pendakian. Setelah istirahat dan berdoa sejenak, kami melanjutkan perjalanan.

Ritual di Pura Pengubengan

 Medan pendakian di Gunung Agung menurut saya termasuk kategori ekstrem karena jalannya selalu menanjak dan tak ada bonus sama sekali. Suasana mistis jelas bisa terasa karena sepanjang perjalanan terdapat bekas persembahan. Belum lagi gunung ini termasuk gunung yang tidak ramai dan umum untuk dijadikan obyek pendakian. Hal ini bisa dilihat dari sepanjang perjalanan yang jarang sekali terlihat sampah. Waktu itu bahkan hanya ada satu rombongan yang ada di depan kami.
Selama melakukan pendakian, mata kami sangat sedikit sekali dimanjakan oleh pemandangan mengingat jalur yang kami lewati selepas dari Pura Pengubengan tadi langsung menembus hutan belantara dan melewatii jalur punggung gunung yang terus menanjak. Di dalam perjalanan ini kami terpisah menjadi dua. Di posisi depan ada Tumbur dan saya yang ditemani oleh guide kami sedangkan di belakang ada Nana, Nopek, Puye, dan Budi. Formasi ini terjaga sampai sesekali kami beristirahat untuk saling menunggu.

Tim Pendaki: Tumbur, Budi, Nana, Saya, Puye, dan Nopek
Saya dan Tumbur  yang di depan semakin jauh meninggalkan kawan kami berempat dibelakang. Puncaknya adalah ketika kami berdua tiba dipersimpangan jalan yang menuju arah Girikusuma. Di sini saya memutuskan untuk menunggu Nopek dkk yang ada di belakang dan membiarkan Tumbur dan guide kami untuk leading di depan karena mereka hendak mendirikan tendak terlebih dahulu di Watu Tulis sehingga saat kami tiba di sana kami tinggal beristirahat.

Persimpangan Parang Girikusama
Persimpangan Girikusuma merupakan tanda bahwa perjalanan sudah sampai setengahnya. Di sini ada dua jalur, ke kanan berarti menuju sumber mata air yang disucikan dan tak bisa seenaknya diambil dan jalur ke kiri yang akan menuntun perjalanan sampai ke puncak. Waktu itu kami tiba di Girikusuma pukul setengah 4 sore. Jauh dari rencana estimasi waktu kami yang menargetkan tengah siang. Selama hampir satu jam saya menunggu sendirian di Girikusuma, saya melewatkan waktu dengan memutar playlist lagu-lagu milik John Denver dan Franky Sahilatua. Sedikit mengusir rasa takut dan membayangkan seseorang di sana.
Pukul setengah 5 sore, rombongan Nopek dkk. tiba juga di Girikusuma. Setelah istirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini Saya dan Nana leading di depan dan semakin jauh meninggalkan Nopek, Puye, dan Budi di belakang. Kondisi yang semakin senja membuat kami bergegas untuk segera sampai di Watu tulis sebelum matahari tertelan oleh malam.

Senja di perjalanan menuju Watu tulis
Saya dan Nana akhirnya tiba juga di Watu tulis dan menemui Tumbur. Dengan kondisi tenda belum beres, kali ini kami bertiga mesti mendirikan tenda bersama. Saat itu waktu menunjukkan pukul 7 malam. Sedangkan Nopek dkk. baru sampai satu jam setelah kami. Dengan cemilan makanan seadanya kami mengisi waktu yang berlalu sambil menunggu kedatangan Nopek dkk. saat itu kondisi kami benar-benar dilenyapkan oleh kelemasan akibat tak ada makanan berat cukup kalori yang bisa kami makan selama pendakian tadi. Lebih parahnya, kami belum makan nasi selama hampir 24 jam. Apalagi paginya cuma sarapan pop mie. Tak banyak kami terjaga selama malam itu mengingat perjalanan kami keesokan hari masih akan berlanjut.

Suasana kehangatan tenda di Watu tulis
Pukul 4 pagi kami sudah siap melakukan summit attack dan mengejar sunrise. Sayangnya kali ini Puye dan Budi tak bisa ikut karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan. Puye sendiri sejak awal pendakian sudah menunjukkan gejala gangguan fisik yang tidak biasa. Medan selepas Watu tulis berupa bebatuan yang menanjak semakin terjal. Kali ini kami tidak sendiri karena banyak rombongan di belakang kami yang menyusul ke puncak, kebanyakan dari mereka adalah Turis asing. Kondisi alam selama perjalanan menuju puncak kali ini diselimuti kabut yang sesekali jatuh dalam bentuk gerimis tipis. Satu hal yang menggugah nyali di pagi itu adalah angin yang berhembus kencang. Toh, dengan tekad, asa, dan semangat yang tersisa akhirnya kami menapaki juga puncak agung di ketinggian 3081 mdpl.

Puncak Gunung Agung
Gunung Agung memilik tiga puncak, sayangnya puncak ketiga tidak bisa digapai karena jalan ke sana sudah putus. Dari menara suci ini terlihat Pulau Bali yang berada di bawah naungan awan, lautan biru yang masih terjaga dalam tidurnya, Pulau Jawa yang masih terselimuti gelap di ufuk barat, dan mentari terbit dari sela-sela Rinjani. Tuhan, alangkah agung ciptaanMu dan betapa kecilnya kami….

Nopek, Saya, The Guide, Tumbur, dan Nana di Puncak Agung

Perjalanan Turun dari Puncak