30 Jul 2014

jam tangan


sesuatu telah (ter)jatuh. seketika waktu berhenti berputar. di balik perjalanan panjang dan penantian: ada perasaan yang harus ditanggalkan.
Solo, 26 Juli 2014

27 Jul 2014

aku bertanya kepadamu

Terkadang cinta datang ketika kita tidak siap untuk merengkuh keagungannya. Kali ini aku tiba di persimpangan jalan menuju pulang. Mencoba mengetuk kembali pintu yang mungkin sudah kau tutup dan lama telah kutinggalkan. Dalam sesal aku bertanya-tanya tentang perasaan yang dulu pernah kau simpan, apakah masih sama?

Solo, 20 Juli 2014

26 Jul 2014

Backpacker ke Belitung (Part 2)



Hari kedua. Kali ini saya memutuskan untuk menjelajahi Belitung Timur. Masih dengan Mega pro yang saya sewa untuk dua hari, kali ini perjalanan akan lebih panjang.

Kampung Ical menjadi target saya kali ini, Gantong. Dari Hotel di Tanjung Pandan, saya berangkat pagi hari. Setelah mengisi bahan bakar di sebuah pangkal bensin eceran dekat bandara, bergegaslah saya menerjang jalanan protokol negeri laskar pelangi ini. Sedikit berbeda dengan jalanan yang saya lalui di hari pertama. Kali ini kondisi jalannya tidak melipir di pinggir pantai. Praktis pemandangan yang ada adalah ilalang, kebun sawit, dan tambang-tambang timah. Kondisi jalan yang sepi memberikan kesan tersendiri bagi saya kali ini. Tak kurang kecepatan motor selalu saya geber di atas 80 km/jam.

Dari Tanjung Pandan saya mengambil rute ke arah Badau. Di Badau inilah terdapat persimpangan, ke arah selatan menuju Dendang dan ke timur menuju langsung ke arah Manggar. Karena tujuannya ke Gantong, saya memilih untuk mengambil rute melalui Dendang. Perkampungan yang saya sapati sepanjang jalan ini sangat jarang. Praktis pemandangan di sepinggir jalan hanyalah hutan, tambang, dan kebun sawit. Beberapa kilometer sebelum memasuki perkampungan biasanya terdapat plang yang menunjukkan nama perkampungan tersebut. Rumah-rumah di sini masih bertipe kan rumah adat khas Belitung yang sedikit mirip dengan rumah panggung dengan atap yang terbuat dari seng. Tidak ada traffic light yang saya jumpai sepanjang perjalanan kali ini.
Map

Jalanan Belitung

Tambang Timah

Setelah dua jam perjalanan lebih, saya akhirnya sampai di Gantong, kota kecil di Belitung Timur. Di sini lah kampungnya Andrea Hirata. Pengarang Tetralogi Laskar Pelangi. Pemberhentian saya pertama di Gantong adalah Museum Kata Andrea Hirata. Museum ini merupakan museum sastra pertama di Indonesia. Didirikan dan dikelola sendiri oleh Hirata dengan dibantu oleh beberapa orang kepercayaannya. Sayangnya saat saya berkunjung, Hirata sedang tidak ada di tempat. Museum ini berisikan mengenai karya-karya Hirata dalam bentuk sastra, lukisan, koleksi barang antik, dan karya-karya fotografi. Bentuknya seperti rumah biasa yang tiap ruang tersekat oleh tembok. Di sini juga menampilkan beberapa sastrawan dunia yang menjadi inspirator bagi Hirata. Di bagian belakang terdapat dapur yang menjual kopi belitung. Kopi ini namanya kopi kuli. Dinamakan kopi kuli karena yang biasa menikmatinya adalah para kuli penambang timah. Orang-orang belitong biasanya menyambut tamu di dapur dengan sajian utamanya adalah kopi kuli. Sudah menjadi jamaknya kalau para penambang itu sebelum dan sepulang kerja selalu meneguk kopi. Saya pribadi menilai kopi ini berbeda dengan kopi-kopi yang pernah saya coba. Aroma dan rasanya sungguh kuat. Sedikit penuturan dari seorang penjaga. Ternyata seluruh tokoh yang ada di laskar pelangi itu ternyata benar-benar ada, termasuk bu muslimah sendiri yang kebetulan beliau masih hidup dan bertempat tinggal tak jauh dari lokasi ini. Kesepuluh siswa-siswi laskar pelangi sekarang ini sudah tersebar ke berbagai penjuru mereguk kesuksesan mereka, katanya ada yang menjadi kepala sekolah bahkan anggota dewan. Inilah betapa mimpi benar-benar mampu merubah jalan hidup seseorang, kawan. Jangan takut untuk bermimpi, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu.
Museum Kata Hirata

Galeri Sastrawan Dunia
Galeri lukisan dan foto
Tak jauh dari museum kata, terdapat replika SD Laskar Pelangi yang menjadi salah satu tempat pengambilan film. Sayangnya bangunan ini sudah kurang terawat. Saat saya berkunjung, tempat ini kalau siang dijadikan tempat peristirahatan bagi para kuli yang sedang mengaspal jalan. Kebetulan jalan yang ada di depan tempat ini sedang di bangun. Saya tak berlama-lama di sini. Setelah mengambil gambar saya segera menuju Manggar.
Replika SD Laskar Pelangi di Gantong

Replika SD Laskar Pelangi
Manggar merupakan Ibukota dari Belitung Timur. Kota ini dikenal sebagai kota 1001 warung kopi. Berjarak sekitar 20an km dari Gantong. Saya sendiri tak menilai kota ini istimewa karena di sini merupakan pusat perdagangan dan tak ada obyek yang menarik untuk dikunjungi. Kota ini merupakan saksi perjumpaan Ical dengan Aling ketika Ical membeli kapur. Saya berhenti di kantor pos waktu itu untuk meminta cap atau stempel. Sayangnya, kantor pos yang saya kunjungi baru resmi dibuka dan belum melakukan kegiatan operasional. Dan segeralah saya bergegas menuju Kalapa Kampit.

Di dalam perjalanan ke Kalapa Kampit saya memutuskan berhenti ke beberapa obyek yang bisa dikunjungi. Di antara tempat itu adalah Pantai Burung Mandi, Pantai Serdang, dan Vihara Dewi Kwan Im. Vihara ini merupakan vihara tertua di Belitung. Pantai di Belitung Timur jauh berbeda dengan yang ada di pesisir barat laut yang di dominasi oleh batuan granit. Pantai di sini merupakan tipe pantai berpasir seperti pantai pada umumnya. Karena saat itu matahari sedang terik, saya tak bisa berlama-lama dan bermain di sana. Untuk akses ke pantai-pantai di sini, kondisi jalannya sangat bagus bahkan saat itu baru saja di hotmix. 

Vihara Dewi kwan Im
Perkebunan Sawit
Perjalanan kembali ke Tanjung Pandan pun dimulai. Hampir 150km lebih saya tempuh dari obyek yang terakhir dikunjungi. Saya sempat berhenti dua kali untuk makan dan sholat. Kali ini saya melintasi jalanan protokol di sebelah pesisir utara. Pemandangannya sangat indah karena banyak ilalang menjulang dan kebun sawit yang begitu asri.

Mie Belitung
Tugu Batu Satam, Pusat Kota Tanjung Pandan

Sore hari sebelum senja, saya sudah tiba di Tanjung Pandan kembali. Menikmati sudut kota di tugu batu satam. Merasakan kuliner mie belitung dan tentunya membeli souvenir untuk oleh-oleh. Malam harinya saya bersepeda ke penjuru Kota Tanjung Pandan yang ternyata tak terlalu besar juga. Mampir ke kedai SS untuk merasakan iga bakar. Dan sayang sekali, perjalanan ini tetap ada yang kurang: kehadiranmu di sisiku. :)

Belitung, September 2013

17 Jul 2014

aku melewatkanmu

aku melewatkanmu, ketika kita duduk di bangku kelas yang sama.
aku melewatkanmu, ketika kita dulu mendaki gunung bersama.
aku melewatkanmu, ketika kita sama-sama berjalan kaki dari kontrakan menuju kampus perkuliahan.
aku melewatkanmu, ketika kita saling berdiri membelakangi di sebuah pertunjukkan.
aku melewatkanmu, ketika kita dalam satu gerbong kereta di sebuah perjalanan.
kali ini kau tak akan kulewatkan.

Sukoharjo, Juli 2014

15 Jul 2014

aku ingin kau menunggu


Aku tidak tau kenapa akhir-akhir ini kita bisa begitu dekat. Seolah semua terjadi begitu saja, tanpa rencana. Mungkin karena perasaan-perasaan lama yang belum sirna. Dan kejadian yang mungkin sudah digariskan.

Di sini aku hendak kembali berbicara padamu melalui tulisan dan kata; tentang sebuah cinta yang kini bersemi kembali; tentang harapan dan cita yang ingin ku jelang bersamamu.

Entah kenapa aku bisa begitu yakin dengan dirimu. Aku tak pernah merasakan firasat seperti ini. Ada yang bilang keyakinan datangnya dari Tuhan. Hal ini mungkin ada benarnya. Begitu juga dengan keyakinan kali ini yang tak membutuhkan suatu syarat. Aku tak merasa resah meski pertemuan kita jarang dan terbatas. Aku yakin dirimu mampu menjaga diri. Aku menangkap jiwamu mengisyaratkan begitu.

Untaian doa kini kembali terpanjat di selepas sholat. Aku bermunajat kepada yang ada di atas ‘Arsy. Bukan lagi merapal namaku sendiri tetapi juga namamu. Aku tak pernah mendoakan seseorang setulus ini. Meminta agar dirimu selalu diberi keselamatan dan  kekuatan dalam setiap jejak yang kau lakukan. Aku tak memintamu menjadi jodohku. Aku hanya meminta kepada Tuhan, jika kita berjodoh (seperti yang tertulis di lahful mahfuz), maka aku berdoa semoga Tuhan mendekatkan kita. Sebaliknya, bila kita tidak berjodoh, aku berdoa semoga Tuhan menjodohkan kita dengan orang yang lebih baik.

Dengan hati telanjang, aku berbicara padamu. Mengungkapkan sebuah kejujuran yang aku simpan. Aku ingin menghormati dirimu sebagai perempuan. Aku sangat ingin menjaga dirimu dan kesucianmu. Bahkan untuk sekedar berpegangan tangan atau bersalaman aku sungkan. Kita belum muhrim, bukan? Di usia kita, yang sekarang sudah lewat dua puluh tiga, ku rasa sudah bukan jamannya lagi bagi kita untuk pacaran. Aku hanya ingin dirimu menunggu. Mari bersama saling mendoakan dan menasehati dalam kebaikan. Saling menyiapkan dan memantaskan diri. Jadikanlah aku orang yang selalu berpaling kepada Tuhan ketika aku tak mampu berpaling darimu. Aku ingin dirimu menunggu. Kita mungkin sudah terlalu lama menunggu. Tapi tiada yang lebih memungkinkan untuk dilakukan selain itu. Di sana kesabaran dan kesetiaan diuji. Salah satu ujian dari sekian banyak ujian yang menanti di depan. Sekali lagi, aku ingin dirimu menunggu. Sebelum aku mengatakan cintaku kepadamu, aku ingin terlebih dahulu mengatakannya di depan ayahmu.

Semoga kita senantiasa dalam lindungan dari Sang Maha Pengasih yang membolak-balikan hati agar kita tetap bisa saling menjaga diri dan mencintai dalam batas  keyakinan serta keimanan kita.

7 Jul 2014

pesan seorang kawan lama

kau lihat hari ini kawan. aku hanya bisa mendoakan kita semua sukses di daerah labuhan kita masing-masing. bertemu banyak orang dan menjadi sedikit lupa dengan masa lalu yang pernah kita rasakan dalam tawa. itu wajar, tapi jangan sampai lupa sepenuhnya. kita tahu, inilah rasanya proses dewasa atau bisa jadi inilah rasanya menua. baik-baiklah di sana kawan. lusa belum tentu kita bisa saling menyapa lagi. baik-baiklah dengan hidupmu kawan. mungkin kita hanya bertemu dalam satu masa.
G, 2010

2 Jul 2014

Sedikit Cerita dari Studi Lapangan di Bali


Notes: Kutulis ini sebagai sebuah prasasti atas masa-masa muda kita dulu. Semoga kisah kita akan tetap abadi hingga kita bernajak tua nanti. Terimakasih saudara-saudaraku: Andri, Yoga, Rochim, dan Ardi. Pertengkaran dan kebersamaan kita akan selalu tetap akan terkenang.
Denpasar, Juli 2013
Tulisan ini hanyalah sebuah cerita banyolan mengenai kehidupan kami saat melakukan studi lapangan di Bali.

Akhir Juni tahun lalu, kami berenam (red: aku, Andri, Yoga, Rochim, Anom, dan Ardi) datang ke Pulau Bali untuk keperluan studi lapangan. Kami semua berkantor di Kanwil DJP Bali. Terkecuali Yoga, ia berkantor di KPP Badung Selatan yang gedungnya berada tepat di depan Kanwil. Keperluan studi lapangan ke sini hanyalah sebatas platform luarnya saja. Niatan kami sebenarnya adalah jalan-jalan. Kapan lagi bisa menikmati eksotisme ranah dewata selama sebulan penuh. Capek ngantor tinggal lari dan santai-santai di pantai, pikiran cumeng tinggal dugem. Nikmat Tuhan mana lagi yang akan kamu dustakan?

Sebagai kaum pendatang, minoritas, dan berdompet cekak, kami tinggal bersama dalam sebuah apartemen mini tak jauh dari kantor. Alasannya jelas, kami miskin dan belum punya penghasilan sendiri. Bisa dibayangkan betapa “umpek-umpekannya” kami di tempat ini. Di sini tersedia sebuah ruang utama dan sebuah ruang tamu yang kami sulap semuanya menjadi tempat tidur. Kamar mandi dan dapur ada di belakang. Di tempat itu kami biasanya iseng melakukan tindakan privasi. Sewanya saat itu sekitar 2,4 juta untuk lima minggu, dibagi berenam.

Mobilitas kami di Bali disponsori oleh Mio Soul yang kami sewa berenam selama sebulan penuh. Kalau akhir pekan tiba, biasanya kami sewa mobil untuk jalan rame-rame ke luar kota, sesekali juga pernah pinjem mobil kantor.

Momentum yang bertepatan saat studi lapangan waktu itu adalah puasa ramadhan. Terkecuali Anom, kami berlima yang beragama islam tetap tak lupa menjalankan puasa. Kami merasa terpanggil atas seruan Tuhan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman sebagaimana yang tersurat di dalam Al-Baqarah 183.

Kebiasaan yang kami lakukan waktu itu adalah berburu takjil. Hampir setiap sore menjelang berbuka kami melakukannya. Satu-satunya tempat terdekat yang kami tuju untuk berburu takjil adalah Masjid Gedung Keuangan Negara I (GKN I). Di sana lah dulu setiap hari kami biasanya menjadi kaum papa. Alasannya jelas, menghemat pengeluaran. Apalagi menu yang disajikan di sini cukup lumayan. Jarak masjid ini dari tempat tinggal kami sekitar 500 meter. Dari kami berlima, hanya Ardi yang biasanya jalan kaki ke sana. Maklum dia, adalah orang yang suka menolong dan rendah hati.

Seminggu sekali, kantor pajak yang ada di Denpasar melakukan acara buka bersama. Biasanya tempatnya digilir. Menu yang disajikan tentu saja sangat mewah dan bervariasi. Jangan heran, di acara mingguan seperti ini, Yoga biasanya bisa menghabiskan empat porsi bakso dalam sekali waktu. Maklum, dia adalah tipe manusia penggemar bakso. Bahkan gaya rambutnya terinspirasi dari makanan favoritnya itu. Sebenarnya selain Yoga, kami tak kalah juga mbadoknya. Hanya saja, kami lebih tertarik untuk mencoba semua menu yang berbeda. Setiap pulang dari acara itu, kami hampir-hampir tepar karena kekenyangan.

Tak ada ritual agama yang kami lakukan selain puasa di bulan penuh berkah ini. Shalat fardhu hanya aku, rochim, dan ardi saja yang masih tegak mendirikannya. Andri terlalu sering pergi ke kasur tatkala adzan subuh memanggil. Yoga meskipun dia kader HMI, tetap setali tiga uang dengan Andri. Tak ada lantunan ayat-ayat suci di tempat tinggal kami. Selepas maghrib kami terlalu sering disibukkan dengan kegiatan pribadi. Rochim terlalu sibuk dengan laporan study. Andri terlalu asyik main dota. Ardi tak bisa tahan tanpa mendengar suara pacarnya setiap hari. Yoga terkadang hilang tak jelas. Aku dan Anom biasa keluar mencari mangsa. Kejadian-kejadian itu sering membuatku bertanya, kapan kami terakhir melakukan sholat tarawih?

Kesibukan kami di kantor lumayan juga gabutnya. Kalau tidak ada assesment untuk tugas ke luar atau mengurusi urusan rumah tangga kantor, kami sampai bingung harus berbuat apa. Terkadang malah sehabis istirahat siang, aku memutuskan untuk balik dan tidur siang. Kantor cukup dekat dari tempat tinggal kami. Dua lagu sampai kalau jalan kaki.

Kehidupan kami di Bali tak bisa dilepaskan dari sosok Mas Andi. Sahabat lama yang kini mengabdi di Kanwil DJP Bali. Dia yang telah banyak memberikan akomodasi untuk hidup kami selama di sini. Bahkan, di hari terakhir kami semua diundang ke rumahnya untuk buka puasa bersama. Jasa-jasamu sungguh tak akan kulupakan mas....

Akhir pekan adalah precious time bagi kami. Ini adalah waktunya jalan-jalan. Tak pernah sekalipun waktu itu terlewatkan tanpa mencumbui keeksotisan pulau ini. Mulai dari menikmati keindahan pantai sampai mendaki dan menapaki atap ranah dewata. Terlalu banyak kisah yang tak bisa disebutkan tetapi akan selamanya terkenang.

Lembayung Bali

Menatap lembayung di langit Bali

dan kusadari betapa berharga kenanganmu
Di kala jiwaku tak terbatas
bebas berandai memulang waktu

Hingga masih bisa kuraih dirimu
sosok yang mengisi kehampaan kalbuku
Bilakah diriku berucap maaf
masa yang tlah kuingkari dan meninggalkanmu...oh cinta

Teman yang terhanyut arus waktu
mekar mendewasa
masih kusimpan suara tawa kita
kembalilah sahabat lawasku
semarakkan keheningan lubuk

Hingga masih bisa kurangkul kalian
sosok yang mengaliri cawan hidupku
Bilakah kita menangis bersama
tegar melawan tempaan semangatmu itu..oh jingga

Hingga masih bisa kujangkau cahaya
senyum yang menyalakan hasrat diriku
Bilakah kuhentikan pasir waktu
tak terbangun dari khayal keajaiban ini..oh mimpi

Andai ada satu caratuk kembali menatap agung surya-Mu
Lembayung Bali