26 Jul 2014

Backpacker ke Belitung (Part 2)



Hari kedua. Kali ini saya memutuskan untuk menjelajahi Belitung Timur. Masih dengan Mega pro yang saya sewa untuk dua hari, kali ini perjalanan akan lebih panjang.

Kampung Ical menjadi target saya kali ini, Gantong. Dari Hotel di Tanjung Pandan, saya berangkat pagi hari. Setelah mengisi bahan bakar di sebuah pangkal bensin eceran dekat bandara, bergegaslah saya menerjang jalanan protokol negeri laskar pelangi ini. Sedikit berbeda dengan jalanan yang saya lalui di hari pertama. Kali ini kondisi jalannya tidak melipir di pinggir pantai. Praktis pemandangan yang ada adalah ilalang, kebun sawit, dan tambang-tambang timah. Kondisi jalan yang sepi memberikan kesan tersendiri bagi saya kali ini. Tak kurang kecepatan motor selalu saya geber di atas 80 km/jam.

Dari Tanjung Pandan saya mengambil rute ke arah Badau. Di Badau inilah terdapat persimpangan, ke arah selatan menuju Dendang dan ke timur menuju langsung ke arah Manggar. Karena tujuannya ke Gantong, saya memilih untuk mengambil rute melalui Dendang. Perkampungan yang saya sapati sepanjang jalan ini sangat jarang. Praktis pemandangan di sepinggir jalan hanyalah hutan, tambang, dan kebun sawit. Beberapa kilometer sebelum memasuki perkampungan biasanya terdapat plang yang menunjukkan nama perkampungan tersebut. Rumah-rumah di sini masih bertipe kan rumah adat khas Belitung yang sedikit mirip dengan rumah panggung dengan atap yang terbuat dari seng. Tidak ada traffic light yang saya jumpai sepanjang perjalanan kali ini.
Map

Jalanan Belitung

Tambang Timah

Setelah dua jam perjalanan lebih, saya akhirnya sampai di Gantong, kota kecil di Belitung Timur. Di sini lah kampungnya Andrea Hirata. Pengarang Tetralogi Laskar Pelangi. Pemberhentian saya pertama di Gantong adalah Museum Kata Andrea Hirata. Museum ini merupakan museum sastra pertama di Indonesia. Didirikan dan dikelola sendiri oleh Hirata dengan dibantu oleh beberapa orang kepercayaannya. Sayangnya saat saya berkunjung, Hirata sedang tidak ada di tempat. Museum ini berisikan mengenai karya-karya Hirata dalam bentuk sastra, lukisan, koleksi barang antik, dan karya-karya fotografi. Bentuknya seperti rumah biasa yang tiap ruang tersekat oleh tembok. Di sini juga menampilkan beberapa sastrawan dunia yang menjadi inspirator bagi Hirata. Di bagian belakang terdapat dapur yang menjual kopi belitung. Kopi ini namanya kopi kuli. Dinamakan kopi kuli karena yang biasa menikmatinya adalah para kuli penambang timah. Orang-orang belitong biasanya menyambut tamu di dapur dengan sajian utamanya adalah kopi kuli. Sudah menjadi jamaknya kalau para penambang itu sebelum dan sepulang kerja selalu meneguk kopi. Saya pribadi menilai kopi ini berbeda dengan kopi-kopi yang pernah saya coba. Aroma dan rasanya sungguh kuat. Sedikit penuturan dari seorang penjaga. Ternyata seluruh tokoh yang ada di laskar pelangi itu ternyata benar-benar ada, termasuk bu muslimah sendiri yang kebetulan beliau masih hidup dan bertempat tinggal tak jauh dari lokasi ini. Kesepuluh siswa-siswi laskar pelangi sekarang ini sudah tersebar ke berbagai penjuru mereguk kesuksesan mereka, katanya ada yang menjadi kepala sekolah bahkan anggota dewan. Inilah betapa mimpi benar-benar mampu merubah jalan hidup seseorang, kawan. Jangan takut untuk bermimpi, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu.
Museum Kata Hirata

Galeri Sastrawan Dunia
Galeri lukisan dan foto
Tak jauh dari museum kata, terdapat replika SD Laskar Pelangi yang menjadi salah satu tempat pengambilan film. Sayangnya bangunan ini sudah kurang terawat. Saat saya berkunjung, tempat ini kalau siang dijadikan tempat peristirahatan bagi para kuli yang sedang mengaspal jalan. Kebetulan jalan yang ada di depan tempat ini sedang di bangun. Saya tak berlama-lama di sini. Setelah mengambil gambar saya segera menuju Manggar.
Replika SD Laskar Pelangi di Gantong

Replika SD Laskar Pelangi
Manggar merupakan Ibukota dari Belitung Timur. Kota ini dikenal sebagai kota 1001 warung kopi. Berjarak sekitar 20an km dari Gantong. Saya sendiri tak menilai kota ini istimewa karena di sini merupakan pusat perdagangan dan tak ada obyek yang menarik untuk dikunjungi. Kota ini merupakan saksi perjumpaan Ical dengan Aling ketika Ical membeli kapur. Saya berhenti di kantor pos waktu itu untuk meminta cap atau stempel. Sayangnya, kantor pos yang saya kunjungi baru resmi dibuka dan belum melakukan kegiatan operasional. Dan segeralah saya bergegas menuju Kalapa Kampit.

Di dalam perjalanan ke Kalapa Kampit saya memutuskan berhenti ke beberapa obyek yang bisa dikunjungi. Di antara tempat itu adalah Pantai Burung Mandi, Pantai Serdang, dan Vihara Dewi Kwan Im. Vihara ini merupakan vihara tertua di Belitung. Pantai di Belitung Timur jauh berbeda dengan yang ada di pesisir barat laut yang di dominasi oleh batuan granit. Pantai di sini merupakan tipe pantai berpasir seperti pantai pada umumnya. Karena saat itu matahari sedang terik, saya tak bisa berlama-lama dan bermain di sana. Untuk akses ke pantai-pantai di sini, kondisi jalannya sangat bagus bahkan saat itu baru saja di hotmix. 

Vihara Dewi kwan Im
Perkebunan Sawit
Perjalanan kembali ke Tanjung Pandan pun dimulai. Hampir 150km lebih saya tempuh dari obyek yang terakhir dikunjungi. Saya sempat berhenti dua kali untuk makan dan sholat. Kali ini saya melintasi jalanan protokol di sebelah pesisir utara. Pemandangannya sangat indah karena banyak ilalang menjulang dan kebun sawit yang begitu asri.

Mie Belitung
Tugu Batu Satam, Pusat Kota Tanjung Pandan

Sore hari sebelum senja, saya sudah tiba di Tanjung Pandan kembali. Menikmati sudut kota di tugu batu satam. Merasakan kuliner mie belitung dan tentunya membeli souvenir untuk oleh-oleh. Malam harinya saya bersepeda ke penjuru Kota Tanjung Pandan yang ternyata tak terlalu besar juga. Mampir ke kedai SS untuk merasakan iga bakar. Dan sayang sekali, perjalanan ini tetap ada yang kurang: kehadiranmu di sisiku. :)

Belitung, September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar