23 Jun 2014

Discover Banyuwangi


Notes: Thanks to Ahmad & Wisnu and their Family. Nadia yang selalu terbayang di perjalanan.

Purwosari pagi hari. Orang-orang berlalu lalang datang dan pergi. Bertiga kami duduk di peron dan menunggu datangnya kereta api. Ada sedikit yang mengganggu perhatian salah seorang dari kami. Sekelompok mahasiswi yang bisa kukenali darimana asalnya lewat atribut yang mereka pakai. Sampai pada titik ini, semua berjalan normal dan biasa seperti yang semestinya. Sri Tanjung siap membawa kami memulai perjalanan panjang ke ujung timur Pulau Jawa.
**
Perjalanan kali ini aku lakukan untuk mengganti rencana petualangan ke Lombok yang berulang kali harus batal. Pada awalnya, aku ingin berangkat sendiri. Namun, aku kemudian membayangkan betapa sepinya perjalanan nantinya tanpa hadirnya seorang kawan. Berangkat dari hal tersebut, aku memutuskan untuk mengajak Isa dan Andri.

Sedikit berbeda dari perjalanan yang kulakukan sebelumnya, kali ini aku memulainya tanpa script dan itinerary. Semua rencana aku serahkan kepada temanku, Ahmad, yang sebelumnya telah aku hubungi untuk menjadi host dalam petualangan kali ini.
**
Belum sempat tiga jam berjalan, kereta kami terhenti cukup lama di Madiun. Kendala teknis di roda gerbong tiga membuat kami terpaksa menunggu. Untung saja Isa membawa kue dan ajanan pasar yang dibelikan oleh Ibunya. Lumayan, sedikit bisa mengusir rasa bete dan lapar. Selama kereta berhenti tadi, aku tak melihat Andri. Baru tau kemudian setelah petualangan ini berakhir, kalau dia jalan-jalan di gerbong belakang dengan segenap modus untuk bisa melihat salah seorang dari sekelompok mahasiswi yang kami temui di peron tadi.

**
Perjalanan hampir 13 jam akhirnya membawa kami ke tempat tujuan. Estimasi waktu kedatangan memang tidak sesuai dengan jadwal karena ada gangguan teknis pada kereta yang sudah kusebutkan tadi. Yakh, kereta terlambat sudah biasa. Pesawat saja terkadang juga delay. Satu hal yang perlu dicamkan kawan, perjalanan harus disertai dengan sabar dan tawakal.

Setibanya di Banyuwangi, kami memutuskan untuk makan malam di dekat Stasiun Kali Setail. Kebetulan kaki lima yang kami dapati bermenukan nasi goreng. Aku sendiri tak lagi pikir panjang dalam memilih makanan karena perut sudah menahan lapar sejak ada di dalam kereta dan belum makan sejak dari rumah pagi harinya. Di warung kaki lima ini, kami bertiga dijemput oleh Ahmad dan Wisnu yang menjadi tuan rumah.

Malam itu kami menginap di rumahnya Wisnu yang jaraknya hanya beberapa menit saja dari stasiun. Wisnu adalah temen angkatannya Isa di Bea Cukai. Aku sendiri belum kenal dan belum pernah sekalipun berjumpa dengannya. 

Sesaat setelah sampai di rumahnya Wisnu, suatu hal terjadi. Tas Andri ketinggalan di warung kaki lima tadi. Kejadian seperti ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Dulu waktu kami ke Dieng, hal yang sama pernah terjadi. Ditengarai anak satu ini mengidap penyakit short term memory. Terpaksalah Andri dengan ditemani Ahmad kembali ke stasiun. Sayangnya, warung tadi sudah kukut dan tasnya tidak ditemukan. Untung saja si penjual tersebut kenal dengan keluarganya Wisnu. Dan secara tak terduga si penjual tadi mengembalikan sendiri tas tersebut ke alamat rumah kawan kami satu itu.

Di rumah keluarganya Wisnu kami disambut dengan hangat. Teh dan makanan ringan tersedia. Malam itu kami berdiskusi mengenai itinerary untuk petualangan kali ini. Tak sampai larut malam, aku memutuskan untuk tidur demi menjaga kondisi tubuh mengingat keesokan harinya perjalanan panjang akan segera dimulai.
**

Kamis (Day I)

Waktu bangun tidur, kami menjumpai Ahmad dan Wisnu tidak ada. Mereka berdua pergi ke tempatnya Ahmad untuk mengambil sepeda motor yang akan kami gunakan. Setelah menunggu kedatangan mereka berdua, kami dipersilakan untuk sarapan di rumah keluarga ini. Kami baru jalan sekitar pukul 10.30. Agenda pertama kali ini adalah mengunjungi Taman Nasional Alas Purwo. Sayangnya, kali ini Wisnu tak bisa ikut karena ada acara. Dia menjanjikan untuk join dengan kami malam harinya.

Berempat kami berangkat dari Genteng menuju Tenggara Banyuwangi. Di sana letak TN. Alas Purwo berada. Ada tiga points yang hendak kami kunjungi di TN ini, Sadengan, Pantai Pancur, dan G-Land. Beberapa kendala kami hadapi sepanjang perjalanan ke Alas Purwo, mulai dari digoda hujan yang terpaksa membuat kami terhenti beberapa kali sampai kondisi roda motor kami yang memang sedang dalam keadaan tidak well. Soal kondisi motor ini sebenarnya yang lebih membuatku cemas dan was-was di sepanjang perjalanan.

Gerbang TN. Alas Purwo berjarak dua jam lebih dari Kota Genteng. Hutan di Taman Nasional ini masih tertutup rapat alami dengan pemandangan awal berupa hutan jati. Semakin ke dalam, kondisi jalan semakin rusak. Sesuatu yang agak mistik dapat kurasakan ketika semakin masuk ke dalam hutan. Maklum saja, Alas Purwo masih dikeramatkan oleh beberapa orang. Banyak larangan ketika berada di kawasan Alas Purwo salah satunya buang air sembarangan. Di sini biasanya orang-orang dengan tujuan tertentu melakukan tapa, mencuci keris, serta melakukan kegiatan tak lazim lainnya. Intensitas orang-orang pencari spiritual yang berkunjung ke tempat ini akan semakin meningkat kalau sudah memasuki bulan Suro.

Di pintu gerbang TN, kami mengurus perizinan dan administrasi. Lokasi pertama yang kami kunjungi adalah Sadengan. Tempat ini berjarak sekitar 7 km dari pintu gerbang. Tujuan kami ke sini adalah melihat banteng dan burung merak. Sadengan merupakan savana kecil yang berada di tengah rimbun dan ganasnya hutan Alas Purwo. Di sini banyak di jumpai banteng yang sedang mencari makan. Aku sendiri lebih dibuat kagum akan burung merak yang bebas jalan-jalan sendiri layaknya ayam kampung. Tak lama kami di Sadengan, perjalanan kami berlanjut menuju Pantai Pancur.

Pantai Pancur berjarak 6 km dari Sadengan. Di sini kami menjumpai seekor rusa besar dan bertanduk yang bebas mencari makan. Perjalanan ke G-Land dapat dimulai dari pantai ini. Sayangnya, saat kami tiba di Pantai Pancur, tidak ada jeep yang tersedia untuk dipakai ke G-Land. Akses ke G-Land hanya diperbolehkan dengan menggunakan jeep. Tarifnya sekitar Rp 250.000,-. Sedikit informasi, G-Land atau yang dikenal sebagai Pantai Plengkung merupakan tempat yang cukup sohor di kalangan surfer dunia. Ombak di G-Land hanya kalah dengan ombak yang ada di Hawai. Kami sendiri yang penasaran akan ombaknya dan berencana untuk surfing di sana terpaksa harus mengubur dalam-dalam keinginan tersebut. Jeep yang kami tunggu dan akan kami sewa tak kunjung tiba. Alhasil, kami hanya bermalas-malasan saja di Pantai Pancur. Pantai ini sebenarnya cukup bagus dan sepi. Hanya saja kami datang saat matahari sedang terik-teriknya. Sebelum senja, kami memutuskan untuk keluar dari Alas Purwo.

Perjalanan hari ini masih berlanjut, dari laut kami beranjak ke gunung, Ya, Gunung Ijen. Salah satu ikon wisata paling terkenal dari Banyuwangi. Dari ujung tenggara Banyuwangi kami bergegas ke utara sejauh lebih dari100 km malam itu. Kali ini Wisnu bergabung bersama adiknya yang baru duduk di kelas 6 SD. Meeting point kami di Masjid Agung Rogojampi. Di Masjid ini kami juga sekalian makan malam.

Perjalanan ke Ijen malam itu sungguh syahdu. Jalanan yang tak berhenti menanjak ditambah kegelapan yang mengelilingi sekitar kami benar-benar menggugah nyali. Tak ada pengendara lain kecuali kami. Belum lagi kabut tebal yang menyelimuti jalan, bahkan pandanganku hanya mampu melihat kurang dari dua meter.

Setibanya di base camp, hawa dingin langsung menyergap tubuh kami. Suhu di sini benar-benar di luar ekspektasiku. Kami segera mendirikan tenda untuk tidur melepas lelah karena jam 02.00 harus bersiap untuk memulai pendakian. Aku sendiri malam itu kurang bisa tidur dengan nyenyak.

Jumat (Day 2)

Pendakian kami lakukan tepat setelah pukul 02.00. Hal ini kami lakukan karena estimasi kami dalam pendakian membutuhkan waktu sekitar dua jam. Kami takut kalau kesiangan dan harus melewatkan blue fire yang ada di kawah ijen. Di awal pendakian kami sempat dilarang untuk mendaki oleh seorang yang mengaku petugas karena waktu belum menunjukkan jam 03.00. Aku tak peduli. Tak ada peraturan soal itu. Apalagi dari tata bahasa bicaranya, orang itu kelihatan “mayak”. Belakangan dari Wisnu aku ketahui, jika orang tersebut merupakan Orang Oesing. Orang asli Banyuwangi yang super gathel. Bukan maksudku untuk SARA. Namun, menurut penuturan orang-orang, seperti itulah keadaannya. Orang Oesing biasanya tinggal di Licin. Orang ini minoritas dibandingkan dengan Orang Jawa dan Madura yang berada di Banyuwangi.

Kondisi jalan menuju Kawah Ijen lumayan menanjak tapi tidak terlalu berat untuk kami yang sudah biasa mendaki gunung. Kebetulan malam itu sedang purnama sehingga jalanan cukup terang tanpa harus mengeluarkan lampu senter. Perjalanan ke punggungan gunung ditempuh hampir 1,5 jam kemudian melipir turun ke bawah menuju kawah sekitar setengah jam. Di dekat kawah inilah fenomena blue fire dapat dijumpai. Sepanjang perjalanan mendaki, hanya rombongan kami yang merupakan penduduk lokal sisanya merupakan turis asing.

Blue fire and Sunrise over the sky of Ijen crater

Tak lama aku berada di kawah. Baunya belerang yang sangat menyengat membuatku tak tahan untuk lama-lama berada di sana. Apalagi selepas sembulan asap putih pekat yang mengarah kepadaku. Rasanya tak lucu apabila harus mati seperti Gie. Segera setelah peristiwa itu aku langsung memutuskan untuk naik sendiri ke atas dan meninggalkan mereka di bawah. Dari kawah menuju atas kondisi jalannya berupa bebatuan cukup curam, mirip dengan Merapi. Sesampainya di atas, aku dan Isa memutuskan untuk menuju point melihat sunrise yang berjarak 1 km ke arah timur laut. Sayangnya, langkah kami dibalap oleh Andri. Toh, tetap saja sunrise masih dapat kami nikmati.

Cukup lama kami menikmati mentari pagi. Mencoba menghangatkan diri sambil memandangi teluk bali yang ada di hadapan kami. Wisnu dan adiknya kemudian menyusul di belakang kami. Ahmad yang kakinya keram tiba paling belakang. Kami berbagi makanan ringan untuk sekedar mengganjal perut yang dilanda lapar. Tak lupa kami mneyibukkan diri dengan kamera milik kami. 

**
Lelaki muda itu terpaku memandangi jingga langit pagi. Di tatapnya cakrawala penuh harap. Terbayang olehnya akan seorang gadis yang ia pendam rasa kepadanya. Gadis yang berada dalam kereta di perjalanan kemarin. Masih berharap dia mampu mengembalikan waktu. Sesuatu yang baru saja berlalu telah ia sesali.”

**

Perjalanan turun terasa santai. Kami berjalan pelan-pelan. Sesekali berpapasan dengan penambang belerang. Mengajak mereka bicara tentang kebiasaan pekerjaan ini. Salah seorang penambang itu menuturkan, dalam satu kali angkut mereka bisa memikul kurang lebih hampir 80 kg. Dalam sehari mereka bisa dua kali mengambil belerang dari kawah tadi. Aku tak bisa membayangkan sendi dan kekuatan otot macam apa yang mereka miliki. Terkadang, carrier yang hanya 15 kg saja tak kuat untuk kubawa. Belerang tersebut dijual dengan harga yang telah ditentukan, 800 perak untuk setiap kilonya.

**
“Gadis itu masih belum bisa enyah dari pikirannya. Seolah-olah bayangannya memberatkan langkah lelaki itu. Aku bisa melihat. Tak seperti biasa, ia berjalan dengan langkah gontai tak terarah seperti sarjana muda yang mencari kerja.”

**
Setibanya di basecamp, kami segera mengisi perut. Basecamp di Ijen tergolong sudah lengkap. Ada homestay dan warung makan. Kami memutuskan untuk sarapan mie telor waktu itu. Setelah mandi dan packing kami sempat tidur sebentar sebelum akhirnya meninggalkan Ijen.

**
Tak lengkap rasanya ketika kita berkunjung ke suatu tempat tapi tidak mencicipi sajian kuliner khas dari daerah tersebut. Banyuwangi memiliki sajian kuliner khas bernama rujak soto. Rujak di sini bukan berarti buah yang diparut kemudian diberi sambal lotis. Rujak dalam pengertian orang di Jawa Timur kurang lebih seperti lotek dalam tatanan pengertian bangsa Mataram seperti kami. Rujak soto sendiri merupakan rujak cingur yang disiram kuah soto. Terdengar sedikit aneh bagi yang awam tapi rasanya mantap jaya. Kami mendapati rujak soto ini di pusat Kota Banyuwangi selepas turun dari Ijen dan hendak menuju rumah Ahmad di Genteng.

Praktis setelah dari Ijen, hari Jumat ini kami memulihkan stamina di rumahnya Ahmad. Kami tiba di rumahnya Ahmad sore hari. Di jalan kami berpisah dari Wisnu dan adiknya yang memutuskan untuk pulang. Tak lupa kami sempatkan juga membengkelkan motor karena keesokan harinya medan yang kami tempuh bakal lebih berat: Taman Nasional Meru Betiri.

Sama dengan keluarganya Wisnu, keluarganya Ahmad juga sangat hangat kepada kami sebagai tamu. Ahmad di rumah ini tinggal dengan Bulik (tante) dan neneknya. Di sini, kami bahkan dijamu bak raja. Kami dimasakkan makanan untuk makan malam dan sarapan pagi. Sesuatu yang menurutku terlalu merepotkan bagi mereka.
**
“Lelaki itu masih gelisah. Malam memeluk jiwanya yang payah. Dirinya belum mampu berhenti memikirkan gadis itu. Berharap esok sebelum pulang, akan ada kesempatan lagi baginya untuk kembali berjumpa.”

**
Sabtu (Day 3)

Pagi menjemput hari, kami bersiap kembali memulai perjalanan. Kali ini kami hendak ke Pulau Merah dan Taman Nasional Merubetiri. Sambil menunggu Wisnu dan adiknya datang, kami memutuskan untuk jalan-jalan ke sawah tak jauh dari rumah di mana semalam kami tidur.

Pulau Merah merupakan andalan pariwisata di Banyuwangi selain Ijen. Pantai ini tergolong sangat bersih meskipun ramai oleh pengunjung. Akses dan kondisi jalan ke sana juga bisa dijangkau secara mudah dengan menggunakan kendaraan pribadi. Belum lama ini, ada festival surfing bertaraf internasional yang diselenggarakan di sana. Ombak dan pemandangan yang tersaji sungguh memanjakan mata para pengunjung. Pantai di sini sangat cocok bagi mereka yang ingin belajar surfing. Fasilitas yang tersedia juga sudah cukup mumpuni. Hanya berharap saja, semoga kebersihan dan kelestarian di pantai ini tetap terjaga meskipun ramai oleh pengunjung.

Santai-santai di pantai, sesuatu yang menenangkan jiwa. Cukup lama kami di sini, hampir dua jam. Menikmati pemandangan laut lepas. Melepas segenap sarat beban. Dan sedikit melupakan masa lalu. Satu hal yang selalu ada dalam pikiranku ketika mendapati suasana seperti ini, ada suatu kenyamanan di tengah kekosongan yang terbentang dari garis pantai ke cakrawala. Tak ada masa lalu, tak ada masa depan.

Tak ingin kami berlama-lama dan terbuai dengan kenyamanan di pantai ini, kami bergegas menuju Meru Betiri. Perjalanan dari Pulau Merah ke Merubetiri cukup mengasyikkan. Kondisi jalan ada yang bagus dan ada pula yang buruk, terutama saat sudah memasuki kawasan Taman Nasional. Sepanjang perjalanan, mata akan dimanjakan oleh perkebunan kakao milik PTPN. 

Kawasan Taman Nasional Merubetiri terletak di sebelah selatan Banyuwangi. Konon, di sinilah habitat Harimau Jawa yang sampai saat ini kepunahannya masih diperdebatkan. Hutan di sini tergolong hutan hujan tropis. Setelah mengurus perizinan, kami mulai memasuki kawasan TN. Sedikit berbeda dengan TN Alas Purwo, di Merubetiri masih terdapat perkampungan meskipun infrastruktur kondisi jalannya jelek. Ada dua tempat yang hendak kami kunjungi di TN ini, Green bay dan Sukamade.

Tujuan pertama kami di TN Merubetiri adalah Greenbay atau yang biasa disebut Teluk Ijo. Pantai di sini benar-benar asri dan tersembunyi di antara dua bukit. Warna lautnya yang kehijauan mungkin merupakan sebab kenapa tempat ini dinamakan Teluk Ijo. Pasirnya lembut dan ombaknya sangat cocok untuk bermain air. Jangan heran, kalau Isa dan Andri suka sekali bermain ombak di tempat ini. Untuk mencapai kawasan Teluk Ijo, kita mesthi tracking menuruni bukit selama 30 menit dari parkiran sepeda motor. Tempat ini bisa dibilang masih terjaga kebersihannya. Akan tetapi, jangan berkunjung ke sini di hari minggu. Saat hari libur, bisa dipastikan tempat ini ramai oleh Anak Gaul Banyuwangi.
Greenbay
**
Aku tak tahu lagi apa yang berkecimpuk di benak lelaki itu. Greenbay, tempat di mana ia sangat berharap dapat menjumpai gadis itu. Namun, gadis itu tak ada. Tak ada yang tahu ke mana kemarin ia pergi. Semakin banyak tempat indah yang ia cari dan ia kunjungi, ia semakin merasa sepi. Ada kekuatan yang secara tak sadar membelenggu sukmanya. Perlahan-lahan dan secara diam-diam memaksa lelaki itu untuk larut dalam sesuatu bernama kerinduan.”

**
Mungkin hanya orang gila yang sudi mendatangi Sukamade. Dan kami mungkin termasuk salah satunya. Bisa dipastikan orang yang pergi ke sana adalah orang yang benar-benar punya niat. Jalan ke Sukamade dari Greenbay benar-benar menguji mental pengendara dan kemampuan sepeda motor. Terlebih kami hanya menggunakan motor bebek. Bisa dibayangkan, kalau terjadi suatu hal semisal ban bocor, mampuslah kami. 

Kondisi jalan selepas memasuki gerbang TN Merubetiri memang sudah berupa bebatuan yang ditata tetapi rusak. Semakin masuk ke dalam TN, kondisi jalannya semakin parah. Kecepatan berkendara kami paling banter cuma 10km/jam. Sebenarnya motor jenis bebek tidak direkomendasikan untuk jungle track di sini. Kendaraan yang tepat tentu saja jeep dan sejenisnya.

Perjalanan kami akhirnya sampai pada ujungnya setelah melewati jalanan bebatuan, menembus hutan, dan menyeberangi sungai. Tepat sebelum maghrib, kami tiba di kawasan konservasi penyu yang berbatasan langsung dengan Pantai Sukamade. Hampir 1,5 jam tubuh kami terguncang di atas motor. Sesuatu hal yang masih belum dapat aku percaya adalah adanya desa kecil di kawasan ini.

Kami mendirikan tenda di kawasan konservasi ini setelah meminta izin terlebih dahulu dengan petugas yang ada. Di tempat ini sebenarnya terdapat kamar homestay dengan tarif Rp 200.000,- yang biasanya dipakai turis asing. Fasilitas Musholla, kantin kecil, dan MCK juga ada. Listrik di sini menggunakan diesel. 

Tukik
hunting penyu malam hari
Pada umumnya, pengunjung yang datang ke sini biasanya punya tujuan untuk melihat penyu bertelur atau melepas tukik. Kami pun juga demikian. Malam hari sekitar pukul 20.00, kami berburu penyu yang hendak bertelur di sepanjang garis pantai. Sayangnya, kami hanya menemukan satu ekor sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke tenda lewat tengah malam.

Minggu (Day 4)

Minggu pagi, kami sudah bersiap untuk ikut dalam pelepasan tukik dengan seorang turis asing. Hanya kami bertujuh ditemani dengan seorang petugas. Kegiatan seperti ini sebenarnya adalah yang kedua kalinya bagiku. Pengalaman pertama melepas tukik aku dapatkan ketika berkunjung ke Pangumbahan sekitar dua tahun lalu. Sedikit informasi, tukik yang dilepas ini menurut catatan WWF hanya akan tersisa kurang dari 10% untuk setidaknya dapat hidup lebih dari satu tahun. Aku bisa membayangkan dan mengucapkan selamat jalan bagi tukik-tukik ini karena kehidupan mereka sudah terbentang di lautan depan. Di tempat ini mereka dilepas, di tempat ini pula mereka akan kembali bertelur suatu saat nanti.

Selepas dari pantai, kami langsung packing dan bergegas untuk pulang. Tak lupa untuk mengisi kekosongan perut, kami memesan mie goreng telur di kantin yang ada di sini. Perjalanan pulang ke Genteng pun dimulai dengan melintasi jalan yang sama. Kami tiba kembali di rumahnya Ahmad setelah dzuhur. Di sini kami beristirahat untuk beberapa jam sebelum akhirnya pulang kembali ke Solo sore harinya.

Kami kehabisan tiket kereta untuk pulang ke Solo. Mau tak mau, kami akhirnya terpaksa menggunakan bus. Dari Banyuwangi kami menuju Jember. Di terminal Tawangalun Jember, kami ganti bus jurusan Surabaya. Perjalanan pulang menanti di depan.

**
“Terminal Bungurasih lewat tengah malam. Lelaki itu sudah kehilangan asa untuk sekedar bersau kembali dengan gadis yang telah menghantui pikirannya dalam beberapa hari belakangan ini. Ingin sekali dia berjumpa dengan gadis itu di setiap tempat-tempat eksotis yang kemarin ia kunjungi. Ada yang bilang keindahan selalu terbalut dengan sepi. Dalam perjalanan pulang kali ini, keinginan itu perlahan sirna tertelan keadaan. Bayangannya memudar seiring jauh jarak membawanya kembali pulang.”

**


 Our Galleries









Discover Banyuwangi, 11-15 Juni 2014
Aziz, Isa, and Andri
Lelaki itu (In memory of Novi Andriyanto)

2 komentar:

  1. Balasan
    1. terimakasih sudah berkunjung dan berkenan membaca. terimakasih juga atas apresiasinya.

      Hapus