Tengah malam
pukul 02.00 saya mesti bergegas, berjalan kaki sendirian menerobos gelap dan
horornya malam dari Kos menuju Bintaro IX. Travel X-Transyang membawa ke
Bandara paling pagi berangkat pukul 03.00. Sebenarnya saya agak was-was karena
jadwal pesawat yang ada di tiket mengharuskan saya check in sebelum pukul 05.00.
Antisipasi waktu sebenarnya telah saya lakukan dengan memesan tiket X Trans
keberangkatan pukul 21.00 malam sebelumnya. Akan tetapi, saya datang terlambat
beberapa menit.Dan jadilah saya ditinggal. Dari sini saya belajar banyak jika
waktu memang sungguh berharga bro, apalagi waktu yang hilang tersebut harus
dibayar dengan uang yang sebenarnya tidak diikhlaskan. Rp 35.000,00 melayang
sia-sia!
Selama di
dalam travel sudah jelas pikiranku diliputi kecemasan. Was-was kalau travel
kejebak macet atau tiba di bandara tak sesuai dengan estimasi waktu yang saya
perkirakan.Namun, toh akhirnya rasa cemas itu sirna juga karena tepat pukul
04.25 saya sudah berada di lorong antrian check in terminal 3. Selepas check
ini saya bergegas sholat subuh dan menuju ruang tunggu. Di ruang tunggu tak ada
kesibukan yang bisa saya lakukan, berbeda mungkin dengan para calon penumpang lainnya
yang sibuk dengan telepon genggam atau gadget mereka. Maklum, untuk sekedar
pamitan saya tak tau harus berpamitan dengan siapa selain dengan orangtua. Tak
ada pesan kepada pacar “yang, aku berangkat ke Padang dulu ya, hati-hati selama
aku tinggal. Jangan lupa sholat, tugas penelitian jangan lupa dikerjakan.
Sekalian itu baju kotorku tolong kau loundrykan. Sayang kamu....”. Liburan
tetap saja berasa melankolis untuk yang masih berusaha menyembuhkan hati yang
luka.Akhirnya, pukul 05.35 tepat pesawat mengudara meninggalkan Jakarta.
Di kabin
pesawat tak banyak yang saya lakukan kecuali memandangi awan berarak di balik
jendela yang terkena semburat mentari pagi atau sesekali memperhatikan
pramugari mandala yang menurutku masih kalah seksi dengan milik maskapai lion
air.
Sesaat setelah
landing di Bandara Minangkabau, saya bergegas mencari Bus Damri yang akan
membawa saya menuju Kota padang. Di sana lah kawan-kawan Padang Backpacker
Community (PBC) menunggu saya di basecamp. Kebetulan sebelumnya saya telah
mengontak dan berkonsultasi dengan mereka terlebih dahulu. Sambutan mereka
benar-benar hangat. Sejak turun dari Damri di depan kantor Trakindo, saya
langsung dijemput oleh Riko menuju ke Basecamp PBS yang beralamat di Jl. Bunda
III A. Sesampainya di basecamp yang tak lain adalah kontrakan miliknya, saya
berjumpa dengan Fakhruddin atau yang biasa disapa Fakh. Fakh ini merupakan anak
Bontang yang kebetulan kerja di Jakarta tepatnya di kawasan Cilandak. Beberapa
waktu lalu kami sempat berkenalan di forum BPI karena kesamaan rencana kami
yang bakal mengeksplorasi Sumatera Barat. Hanya saja backpacker yang lebih
gemar jalan-jalan ke luar negeri ini hanya memiliki waktu 3 hari selama di
ranah minang. Dan di hari kedatanganku ini adalah hari terakhir dia sebelum
malamnya cabut untuk kembali ke Jakarta.
Basecamp Padang Backpacker Community di Jl Bunda IIIA |
Selepas
sarapan dengan nasi dan mie goreng bersama di basecamp, kami memutuskan untuk
berkeliling dan mengunjungi obyek wisata yang ada di Kota Padang. Kali ini
saya, Bayu, dan Fakh sebagai pejalan
ditemani oleh anak-anak PBC Dzikri, Yura dan Anto (Adminnya PBC). Bayu sendiri
adalah pejalan juga dari Jakarta. Seluruh tempat penting bagi traveller di
Indonesia hampir semua pernah dia kunjungi. Satu hal yang membuat saya merasa
klop dengan Bayu adalah dia bisa berbahasa Jawa karena memang dia aslinya anak Tulung Agung. Maka jadilah kami
berboncengan via motor pinjaman siang itu menuju obyek lokasi wisata yang
hendak kami kunjungi. Walaupun berada di ranah minang, bahasa jawa tetep
usefull buat ngobrol asal ngobrolnya sama dengan orang jawa juga, heuheu.
Tujuan kami
yang pertama kali ini adalah museum Adityawarman. Saya tak bisa menjelaskan
tentang banyak tentang museum ini karena museum ini tiap hari senin ditutup
untuk pengunjung. Maka jadilah kami hanya sebatas berfoto-foto di area halaman
museum. Obyek lain yang kami kunjungi di siang itu adalah Gunung Padang. Akses
menuju Gunung Padang bisa ditempuh kurang lebih sekitar 5 menit dengan motor
dari jembatan Siti Nurbaya. Sebenarnya ini tak bisa disebut Gunung, saya
sendiri lebih suka menyebutnya sebagai bukit. Di bukit ini terdapat makam Siti
Nurbaya. Panorama yang disuguhkan pun cukup indah karena bukit ini tepat
berdiridan berbatasan langsung dengan laut. Untuk mencapai puncaknya perlu
tracking sekitar 30 menit dan itu cukup melelahkan. Namun, tak perlu khawatir
karena jalanan sudah dibuat tangga. Di sini saya menjumpai beberapa anak SMA yang cabut dari sekolahan.
Musem Adityawarman |
Sore harinya
kami menikmati senja di pantai. Anak-anak PBC menyebut pantai ini sebagai
Pantai Bung Hatta karena letaknya dibelakang kampus Universitas Bung Hatta. Pantai
ini berada tidak jauh dari basecamp sehingga kami cukup berjalan kaki untuk
menuju ke sana.
Sementara
malam harinya Fakh, Bayu, dan beberapa pejalan yang sempat singgah di basecamp
balik ke bandara, saya memutuskan untuk mencari kuliner di kawasan kinol dengan
Riko. Perlu saya kenalkan, Riko ini adalah peserta master chef yang gugur
sewaktu menuju 70 besar. Wawasan kulinernya harus saya akui memang luas.
Pekerjaan sehari-harinya sebagai dosen sekaligus mahasiswa S2 di UNP. Perburuan
makan malam kami yang pertama adalah es durian ganti nan lamo. Es krim durian
memang menjadi salah satu trade mark di
Kota Padang, khususnya di kawasan kinol. Perjalanan kami berlanjut ke Pantai
Padang. Di kawasan ini saya hanya mencicipi telur penyu yang di makan mentah-mentah.
Rasanya lebih asin daripada telur ayam mentah yang biasa saya coba. Dan kuliner
terakhir malam itu adalah sate padang KMS. Berbeda dengan sate padang yang
biasanya di jual di Jakarta yang umumnya memakai jeroan. Sate di sini
bervariasi, tak hanya jeroan semata karena ada daging bahkan lemaknya juga.
Selepas
kuliner, kami langsung balik ke basecamp. Berkaca pada hari pertama yang telah
dilalui, itenaries yang sudah saya susun ternyata berjalan tak sesuai rencana.
Namun, bukan berarti ini bisa dibilang gagal. Karena semenjak saya tiba di basecamp
pagi tadi, semua itenaries dihancurkan semua oleh Riko.
Perjalanan
hari kedua kali ini saya pergi ke Kabupaten Pesisir Selatan. Sebenarnya tujuan
yang satu ini pada awalnya tidak termasuk dalam itenaries yang telah saya
susun. Bisikan-bisikan dari Riko yang membuat saya akhirnya memutuskan untuk
mencoba menjelajahi wilayah yang berada di tepi barat bagian selatan Sumatera
Barat ini. Dan sudah jelas pula dia yang harus bertanggung jawab. Maksudnya
soal akomodasi dan transportasi.
Riko merupakan
salah seorang asli putera dari Painan, Ibukota Kabupaten Pesisir Selatan.
Sebenarnya ajakan dia bukan tanpa alasan. Maksud dan tujuannya sangat baik.
Saya akan menceritakan sedikit dibalik alasan dia mengajak setiap pejalan yang
singgah di Padang untuk mengunjungi daerah di mana dia berasal ini. Harus
diakui bahwa potensi pariwisata di Kabupaten Pesisir Selatan sungguh sangat
indah dan masih alami. Akses jalan ke sana pun sudah cukup mumpuni untuk sekedar menunjang transportasi. Banyak
aneka wisata yang bisa dieksplore di Pesisir Selatan. Mulai dari Jembatan Akar,
Pantai Carocok, Wisata bahari ke pulau-pulau, panorama bukit Langkisau, dan Air
terjun tujuh tingkat. Ini belum termasuk obyek wisata lainnya yang belum saya
kunjungi. Sayangnya, potensi alam yang sedemikian rupa ini ternyata masih belum
cukup dikenal oleh para pejalan yang
datang ke ranah minang. Pada umumnya mereka lebih suka mengeksplore Kota Padang
dan Bukit Tinggi. Itulah alasan kenapa Riko begitu sangat ingin mengenalkan
keistimewaan Kabupaten Pesisir Selatan kepada para pejalan.
Air terjun tujuh tingkat |
Perjalanan
menuju Kabupaten Pesisir Selatan dapat ditempuh sekitar dua jam lebih dari Kota
Padang. Di sepanjang perjalanan, saya disuguhi pemandangan yang sangat indah
karena jalan raya yang saya lintasi berada tepat di samping bibir pantai.
Benteng Portugis di Pulau Cinguak bersama Riko |
Memasuki hari
ketiga, saya banyak membuang waktu di basecamp karena malam sebelumnya saya
kecapekan selepas pulang dari Pesisir Selatan. Agenda hari ketiga ini adalah
menuju Bukit Tinggi, Ibukota Republik Indonesia
ketika terjadi Agresi Militer Belanda. Kali ini saya berangkat dari Kota Padang sendiri
dengan menggunakan Travel. Di Bukit Tinggi saya nge-host sama Fahmi, anak
PBC yang tinggal di Bukik (sebutan Kota
Bukit Tinggi). Perjalanan menuju Bukik ditempuh selama dua jam dari Kota
Padang. Salah satu pemandangan eksotis selama di perjalanan adalah ketika
melewati Lembah Anai. Di sana terdapat air terjun yang tepat berada di tepi
jalan.
Setelah turun
di Terminal Aur Kuning, saya melanjutkan perjalanan dengan mengunakan angkot
menuju Pasar atas. Dari pasar atas saya langsung menuju Jam Gadang. Di sini
saya bertemu dengan Fahmi yang akan menjadi host saya selama berada di Bukik.
Sedikit informasi, jam gadang merupakan salah satu ikon kota Bukit Tinggi. Jam
ini merupakan hadiah dari ratu belanda. Pada awalnya, jam ini atasnya bukan atap rumah gadang. Kalau
diperhatikan ada sedikit keunikan dari jam yang angkanya menggunakan angka
romawi ini. Angka “4” tidak ditulis dengan angka romawi “IV” melainkan “IIII”,
sedangkan angka lainnya tetap menggunakan angka romawi secara normal.
Setibanya di
jam gadang saya langsung memotret suasana di jam gadang sore itu yang cukup
ramai oleh pengunjung dan penjual segala jenis makanan dan souvenir. Pertemuan
saya dengan Fahmi kali ini lebih banyak
membicarakan tentang Kota Bukit Tinggi sambil berjalan-jalan ke pasar atas dan
pasar bawah. Satu hal yang jangan sampai dilupakan kalau mampir ke Kota Bukik,
rasakan kuliner Nasi Kapaunya. Dijamin Lamak Bana! Malamnya sudah jelas saya
menginap di rumahnya Fahmi. Sambutan keluarganya sangat hangat dan bersahabat.
Jam Gadang, Bukittinggi |
Hari keempat
kami mengunjungi Ngarai Sianok, Goa Jepang, Jembatan gantung dan tembok great
wall yang kemarin baru saja diresmikan. Setelah dari tempat-tempat tersebut,
kami ke Puncak Lawang yang berada di Kabupaten Agam. Di puncak inilah, Danau
Maninjau terlihat begitu cantik dan memesona. Selepas dari Puncak Lawang, kami
turun melintasi kelok 44 Maninjau. Dan diperjalanan pulang ke Bukit Tinggi kami
sempatkan minum kopi kawa. Kopi khas dari ranah minang. Minuman kopi ini
terbuat bukan dari biji kopi tetapi dari daun kopi. Konon waktu jaman Belanda
dulu, minuman kopi hanya diperuntukkan untuk kalangan masyarakat atas dan para
mener. Untuk mencari solusi menikmati
kopi, para pribumi dan masyarakat bawah berinisatif membuat kopi dari daunnya.
Cara penyajiannya juga tidak dengan menggunakan gelas atau cangkir tetapi
menggunakan bathok kelapa.
Greatwall bersama Fahmi
|
Ketika senja tiba, saya memutuskan
untuk meninggalkan Bukittinggi dan menuju Kota Payakumbuh. Kedatangan saya di
Payakumbuh ternyata sudah ditunggu oleh Adal yang kali ini gentian emnjadi host
selama saya berada di sana. Oiya, link untuk nge-host dengan Adal saya peroleh
dari Ika, seorang pejalan juga yang saya temui di basecamp PBC. Kebetulan juga
hari sebelumnya selama di Payakumbuh, dia nge-host juga dengan Adal. Satu kata
untuk host saya ini “Gila”. Bagaimana tidak, dia baru saja pulang ke Kota
Asalnya setelah menjelajah bumi nusatntara dengan hanya bermodal 800k! Dan cerita
ini bisa dibuktikan dengan dokumentasi yang dia tunjukkan kepada saya.
Hari terakhir di Ranah Minang kali
ini saya isi dengan mengunjungi Ngalau Indah yang berada di Kota Payakumbuh dan
Lembah Harau serta kelok 9 di Kota Lima Puluh Koto. Khusus Lembah Harau,
pemandangan yang ada di sini sangat indah dengan hamparan sawah yang berada di
tengah-tengah lembah yang diapit bukit-bukit nan permai. Udara yang begitu
sejuk. Hijau.
Lembah Harau |
Sesaat setelah tiba ke Kota Padang
lagi dari Payakumbuh, saya langsung diantar oleh Riko ke Bandara. Tak lupa Sebelum
balik lagi ke Jakarta, saya sempatkan untuk membeli oleh-oleh diantaranya Rendang
Telor, Abon, dan keripik balado.
salam, mengapa musibah yang terjadi tidak diberitakan he he, btw makasih ya sdh mention sy dengan traveler yang lbh gemar ke LN (meskipun tdk benar 100 %) :p
BalasHapus#fakh
teman2 PBC mah memang gemar merusak itin he he, saya juga menjadi korban disetir mereka & mau ga mau kudu menikmati wisata alam yg sbnrnya bukan selera sy :D
BalasHapusyang sedih-sedih gak perlu diceritakan. ambil hikmahnya saja. haha
BalasHapusberuntung sekali ketemu dan kenal dengan mereka.
salam kenal..maaf boleh tanya kalo untuk damri ada yang langsung menuju ke bukit tinggi?
BalasHapusOm adi, ada contact person mereka nggak? Rencana solo ke padang neh bulan maret
BalasHapus