Impian untuk berkunjung ke salah
satu desa yang berada di selatan Provinsi Banten ini akhirnya tercapai. Ya,
desa ini berwarna Sawarna. Salah satu lokasi yang akhir-akhir mungkin sudah tak
awam bagi penikmat wisata pantai. Tak
terkecuali bagi backpacker gembel seperti kami.
Semua berawal dari lawang biru crew yang mengajak #ceger31
berkolaborasi untuk gembel bersama dengan tujuan mengunjungi Pantai Sawarna.
Akan tetapi, adanya kesibukan masing-masing anggota membuat kongsi ini terpecah
dan akhirnya kami berangkat sendiri-sendiri.
Pertengahan September tahun lalu
saya dengan beberapa teman tingkat dua hampir mengadakan touring ke sana.
Sayangnya hal itu tidak terealisasi karena banyak pertimbangan. Selain belum matang
secara persiapan, perjalanan yang harus ditempuh untuk sampai di Sawarna dari Bintaro cukup
jauh jika harus menggunakan dengan motor. Belum lagi kami tak tau rute.
Jadi begini awal mula
ceritanya…
Kamis malam tanggal 11 April tahun 2013 saat sedang makan malam dengan Ian di KFC, telpon genggam saya bergetar. Rupa-rupanya ada sms masuk dari Nopek. Biasanya kalau saya sedang keluar malam seperti ini isi smsnya tak jauh-jauh dari minta tolong nitip makan tapi kali ini lain. Dia mengajak main ke sawarna akhir pekan ini. Dengan perasaan sedikit bimbang dan rayuan tidak ada kegiatan di akhir pekan daripada nganggur di kosan, akhirnya saya menyepakatinya. Seketika itu juga saya langsung mencari itin buat ke sana. Sayangnya, jumlah peserta menjadi kendala mengingat persiapan yang serba mendadak. Gembel tetap saja butuh persiapan. Daripada harus menunda waktu, jadilah hanya kami berlima yang ikut dalam petualangan sedikit gila kali ini. Saya, Nopek, Surya, Ndolo dan Dinto.
Surya, Dinto, Ndolo, Nopek, Aziz, dan Si Gundul Picollo |
Jumat pagi kami sudah ready di
#ceger31 untuk mengejar kereta yang berangkat ke rangkas bitung. Hal ini kami
lakukan untuk mengantisipasi tiba di Bayah sebelum hari gelap. Jadi begini rute
yang kami tempuh dari bintaro untuk sampai di sawarna.
Bintaro - Rangkas Bitung - Terminal Mandala – Bayah – Sawarna.
Jam 09.00 pagi kami sudah berada di peron stasiun pondok ranji, kereta ekonomi local dari Tanahabang dengan tarif 1500 perak siap membawa kami ke Rangkas. Lama perjalanan dari Bintaro ke Rangkas memakan waktu selama dua jam. Seperti biasanya, di kereta ekonomi kami harus berdesakan dengan penumpang dan penjual. Terlebih kami tak mendapat tempat duduk. Dengan hanya 1500 perak, kami memang tak seharusnya berekspektasi lebih. Tempat duduk benar-benar baru bisa memanjakan pantat kami tatkala kami sudah tiba di parung panjang. Rasanya lega sekali setelah lama menunggu para penumpang lain turun. Di stasiun rangkas bitung satu hal baru kami sadari, frame tenda yang kami bawa ternyata ketinggalan. Dan jadilah kami membawa barang yang sia-sia.
Setibanya di stasiun Rangkasbitung |
Setibanya di rangkas bitung kami langsung
menuju terminal mandala. Transportasi yang digunakan adalah angkot nomor 1
dengan warna merah dan motif bawah warna hitam. Perjalanan di rute ini hanya
membutuhkan waktu 15 menit dan tariff 3000 perak per orang. Setibanya di
terminal mandala kami baru benar-benar menyiapkan perbekalan. Dan kali ini indomaret
lagi-lagi menjadi sponsor di perjalanan kami.
Perjalanan sebenarnya baru dimulai
dari terminal mandala. Dengan jarak tempuh lebih dari 120 km, elf yang kami
tumpangi siap offroad menuju Bayah. Elf merupakan satu-satunya transportasi
umum yang beroperasi dari mandala ke bayah. Jam operasionalnya pun terbatas.
Paling sore kalau dari mandala adalah jam 15.00. Jalan utama menuju bayah
sangat jelek sekali, banyak aspal yang sudah rusak. Belum lagi kondisi jalan
yang penuh lubang dan berliku. Dalam perjalanan yang pernah saya lakukan, belum
pernah saya melintasi kabupaten segersang ini. Tidak ada yang menarik sama
sekali selama perjalanan menyusuri Kabupaten Lebak ini. Apalagi kondisi di elf
sendiri penuh sesak dan gerah. Selama lebih dari 3 jam kami termakan oleh
kebosanan.
Setibanya di Bayah kami langsung
disambut oleh tukang ojek. Ada 2 kartel tukang ojek di sini, tukang ojek
antagonis dan tukang ojek protagonist. Tukang ojek antagonis adalah yang
pertama menyambut kedatangan kami, memaksa kami dengan harga 30ribu untuk
mengantar sampai ke sawarna dan rela menunggu kami sholat bahkan sampai makan.
Karena saya tawar 20ribu gak mau, terpaksa nopek saya suruh cari tukang ojek
lain. Dan dapatlah dengan harga 20ribu. Tukang ojek yang satu ini namanya
tukang ojek protagonist karena calm, lebih murah, dan gak banyak bacot seperti
tukang ojek yang pertama tadi. Akan tetapi masalah justru timbul dari sini,
tukang ojek antagonis merasa tidak terima dengan tukang ojek protagonist karena
mereka berasumsi tukang ojek protagonist dirasa merusak harga pasaran. Ujung-ujungnya mereka minta uang palak.
Sedikit informasi, dari berbagai catatan backpacker. Tarif ojek yang berlaku di
sini sebenarnya berada di kisaran 15ribu. Pada akhirnya, kami menggunakan
tukang ojek yang protagonist karena sesuai dengan kepribadian kami.
Jarak Bayah ke Sawarna memakan waktu
hampir setengah jam dengan menawarkan panorama hutan dan garis pantai di setiap
sisi jalannya. Dan akhirnya, total perjalanan selama 8 jam terbayar lunas
ketika kami tiba di desa sawarna.
Pantai Pasir Putih, Sawarna |
Memasuki gerbang kawasan pantai,
perjalanan kami disambut dengan melintasi jembatan kayu yang cukup ikonik
dengan sawarna. Karena tenda yang kami bawa tak ada framenya, kami akhirnya
menginap di gazebo. Kebetulan sekali kami dapat kenalan baik dengan pemilik
gazebo, namanya pak kumis. Selama dua malam kami menginap di sini. Sebetulnya
banyak penginapan yang tidak jauh dari kawasan pantai. Namun, tarif yang
ditawarkan sedikit gila. Paling murah 120ribu semalam. Atau kalau sedang bawa
banyak teman, menyewa rumah penduduk bisa dijadikan opsi. Rata-rata penduduk
mau menyewakan rumahnya di kisaran harga 500ribu.
Malam pertama kami disambut dengan
gerimis dan belaian dingin angin darat. Perjalanan kami yang melelahkan tadi ternyata cukup
membuat kami tewas lebih cepat setelah bermain poker dan tentunya diselingi
obrolan khas lelaki, kali ini wanita tetap menjadi tokoh utamanya.
Tanjung Layar |
Hari kedua di sawarna kami isi
dengan tracking bukit dan telusur pantai. Satu hal yang perlu diketahui,
sawarna menawarkan tipe pantai yang berkarang dan berpasir lembut. Di sini juga
menjadi destinasi favorit bagi peselancar dan fotografer. Dua tempat yang kami
kunjungi adalah tanjung layar dan laguna pari yang pasirnya lembut. Tanjung layar adalah ikon pantai dari
sawarna, banyak orang yang mengambil gambar di kawasan ini. Sedangkan laguna
pari adalah tempat bagi mereka yang mencari ketenangan. Perjalanan dari tanjung
layar ke laguna pari menawarkan keunikan karang yang seolah membentuk
benteng kecil berlapis yang teratur di
sepanjang tepi pantai. Laguna pari sendiri diisi oleh beberapa nelayan. Dan
penjual kelapa muda. Kelapa muda di sini dijual dengan harga gocap dengan
kualitas yang worth it. Jangan heran bila satu buah kelapa saja kami tak habis.
Setelah mabok minum air kelapa, kami tertidur pulas di bangku yang berada di
tepi pantai ini. Sedikit cerita, di sini kami bertemu dengan komunitas
petualang Indonesia. Percumbuan yang dilakukan oleh salah satu pasangan
anggotanya cukup menjadi bahan perbincangan kami waktu itu. Sebetulnya kami
hendak mengunjungi goa lawa juga hari itu tetapi jarak yang masih jauh memaksa
kami untuk kembali ke tanjung layar dan akhirnya menikmati senja dengan bermain
ombak di pasir putih, tempat gazebo kami berada.
Karang yang kami lalui dari Tanjung Layar-Laguna Pari
|
Malam kedua kami isi dengan cerita
mengenai perjalanan cinta kami masing-masing. Untuk yang satu ini saya tak
membahas lebih detail di catatan ini. Everybody wants to hide their secrets
away. Di malam ini juga akhirnya kami berkesampaian makan ikan laut bakar.
Maklum sesampainya tiba di sini, kami hanya menjejali perut kosong kami dengan
mie instan.
Foto bareng dengan keluarga Pak Kumis sebelum pulang |
Minggu pagi tiba, saatnya kami
bergegas pulang setelah berpamitan dengan pak kumis yang pagi itu memberikan
sarapan gratis untuk para gembel macam kami. Perjalanan pulang kali ini sedikit
menyimpan cerita berbeda meskipun melalui rute yang sama saat berangkat
kemarin. Dari sawarna menuju bayah, kami ikut menumpang pick up. Tentu saja
pengalaman ini menjadi sangat berkesan karena kami tak harus naik ojek lagi dan
membuat duit lagi. Bayangkan saja, jika kami punya duit pasti kami tidak akan
mengalami pengalaman seperti ini.
Di Pickup tumpangan |
Sedikit hal yang menguras emosi kami
di edisi petualangan kali ini adalah elf “bangsat” yang kami tumpangi sewaktu
balik dari bayah ke mandala. Bayangkan saja elf ukuran mini seperti itu
dipaksakan oleh kernetnya sampai melebihi kapasitas normal, bahkan sampai ada
yang duduk di atap. Kalau boleh dikatakan seperti “ana rego tapi ara ono rupo”,
jelas kami emosi karena kami berlima disuruh duduk berdesakan di kursi paling
belakang selama 4 jam perjalanan. Kelebihan penumpang ini pula sampai membuat
elf tua ini dua kali berhenti karena
bannya pecah. Tarif elf normalnya 30ribu, karena elf kali ini edisi gathel
harganya pun jadi lebih mahal gocap dari yang berangkat kemarin. Oiya, elf
paling siang dari bayah menuju mandala adalah jam 10.00.
Pukul 14.00 kami akhirnya sudah
sampai di rangkas bitung kembali.
Perjalanan yang melelahkan dan penuh cerita ini akhirnya membawa kami
tiba di Bintaro sore harinya.
gan boleh minta nomer telp pak kumis nya soalnya ad rencana kesana deket" ini
BalasHapusmakasih
terimakasih sudah mampir, maaf baru bisa reply komentarnya.
BalasHapuskontaknya udah hilang ketelen sama hp yang lama bro. sorry yaa
pak kumis sawarna : 085881146280
BalasHapus085775109253 no pa kumis yang baru
BalasHapus085775109253
BalasHapus