8 Feb 2011

Kenangan (PPD)


Beberapa waktu lalu, kampus baru saja mengadakan event besar tahunan yang bernama HOE (Heritage and Organda Expo). Setelah melewati seleksi dari panitia, Kota Solo akhirnya berhasil lolos untuk mengikuti event ini meskipun hanya organda exponya saja. Maklum, heritage (acara adat ruwatan) yang kami usung tak berhasil lolos dalam seleksi yang kebanyakan diisi oleh  tarian daerah dari organda-organda lain. Sebagai konsekuensi atas diterimanya proposal kami dalam organda expo (hanya 24 organda), Solo mewakilkan PPDnya ke ajang ini. Dan aku terpilih sebagai putra daerah mewakili Solo. Walaupun ada perasaan tak berniat untuk mengikuti acara ini, toh akhirnya aku maju juga.
Pemilihan PPD kali ini berjalan agak ruwet dari tahun-tahun sebelumnya. Kami sebagai peserta harus mengikuti diklat setidaknya dalam waktu tak kurang dari dua minggu, dari mulai tanggal 14 Januari sampai pada acara puncaknya tanggal 31 Januari. Tak heran, waktu belajarku agak terganggu akibat acara ini, belum lagi kesibukan dalam menyiapkan diri sebagai calon wakil ketua Paspilo baru periode tahun ini. Pembuatan karya tulis untuk tugas besar  mata kuliah bahasa Indonesia semester ini pun turut berjalan tersendat.
TM pertama tanggal 14 Januari diisi oleh perkenalan antar peserta dan briefing dari panitia, sebagai penutup ada tugas untuk menyusun essay mengenai daerah asal  masing-masing peserta. Aku sendiri akhirnya bisa sedikit meluangkan waktu sejenak untuk menyelesaikan tugas yang dideadlinekan selama 4 hari ini. Selain tugas dia atas, kami juga diwajibkan membuat koreo. Dan inilah tugas memalukan yang pernah ku buat. Aku harus belajar tari dengan Kunthi, rekanku dari Solo. Yah..walaupun akhirnya jadi juga untuk ditampilkan pada hari H.
TM kedua kali ini diisi dengan perkenalan kembali, materi pariwisata dan tentunya mengumpulkan tugas essay. TM dibuka dengan senam pemanasan; aku sendiri datang terlambat. Kunthi apalagi, malah lebih molor lagi datangnya.
Depan Gedung P, dekat kolam air mancur menjadi saksi atas pertemuanku dengan seorang. Bukan apa, entah kenapa ada yang membuat hatiku sedikit bergetar malam itu. Seorang gadis yang juga datang terlambat dan mencari posisi di sampingku. Aku teringat dia berdiri di sebelahku sewaktu senam pemanasan. Dari kegiatan ini setidaknya aku menemukan banyak teman baru dari berbagai daerah. Tak lupa, aku terkadang juga ngobrol banyak dengan mereka, berbicara mengenai budaya dan potensi pariwisata dari daerah kami masing-masing.
Satu minggu sebelum acara puncak, hampir setiap malam kami selalu berada di lapangan A. Diskusi, catwalk, parade, debat, tanya jawab sampai dengan koreo menjadi menu latihan kami. Sesekali kami berlatih dengan vocawardhana sebagai pengiring kami di acara puncak nanti. Entah kenapa, kali ini PPD seolah menjadi prioritas  utamaku, mengesampingkan tugas akhir mata kuliah bahasa Indonesia. Di lain sisi, Ku akui tragedi di depan gedung P kemarin masih menggelayuti pikiranku. Gadis itu terlihat cantik, ada sesuatu yang membuat jiwaku bergetar. Dan tiba-tiba saja diriku tak punya keberanian untuk sekedar mengajak berkenalan dan berbincang. It’s dejavu. Purnama tanggal 25 seakan menggantikan malam tragedi HPP tepat 41 bulan lalu.
Hari minggu terakhir bulan Januari 2011 akhirnya tiba, acara puncak HOE. Dua hari belakangan, selain disibukkan oleh PPD, aku juga harus bekerja bakti dengan paspilovers untuk menyiapkan stand organda expo yang kami ikuti. Kali ini stand kami mengambil tema Pasar Gede Solo , di situ kami menjual berbagai kuliner (seperti pecel ndeso, plencing, selat, beras kencur, es dawet ayu, dan sate kere) yang menjadi salah satu alat untuk menarik pengunjung untuk datang dan membeli apa saja yang ada di stand kami.
Pukul 8 pagi para peserta PPD diwajibkan kumpul. Dengan memakai beskap yang tak sesuai dengan harapan akhirnya aku datang, meski sebelumnya harus sedikit dipermak di salon. Penampilanku terlihat paling sederhana jika dibandingkan dengan peserta lain. Gadis itu sendiri terlihat sangat cantik hari itu dengan pakain adat daerahnya.
Malamnya, ada deklarasi budaya yang kami ikrarkan beserta perwakilan dari Depbudpar, sebelum akhirnya ditutup oleh penampilan dari penari internasional, Didi Nini Towok. Di backstage kami sempat foto-foto bersama dengan seniman serba bisa ini. Sewaktu menyaksikan humor segar yang dibawakan Om Didi, ternyata gadis itu turut menyaksikan duduk dekat dibelakangku, sedikit sekali aku berbincang dengannya. Tak ada, hanya percakapan angin. Dan semua berlalu begitu saja sewaktu pertunjukkan usai. Ada sesuatu yang membuat lidahku kaku.
Aku masih mencari kata untuk memahami apa yang kurasa. Entah apa pun itu namanya. Ini seperti penyesalan yang sama pernah ku rasakan sewaktu HPP tiga tahun lebih yang lalu. Ku akui, gadis itu seperti halnya Reta dalam tragedi HPP. Dan entah kenapa hal itu masih membayang dalam pikiranku hingga kini dengan segala realita yang menyudutkanku. Seolah perasaan yang sama hadir kembali. Terkadang aku hanya berfikir, ini bukanlah cinta.  Namun, aku juga tak berfikir tentang hal lain. Bukankah cinta dengan akal sehat hanya bisa tumbuh ketika kita dekat dan mengenal obyeknya secara lebih dekat?



Di tengah perjalanan pulang malam itu, aku membisikkan nama gadis itu pada angin malam.

**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar