30 Sep 2014

benteng kota


aku seperti mendengar suaramu. mendengar lagu-lagu yang tempo hari kau nyanyikan.
begitulah kesan yang kudapat tatkala kembali ke benteng kotamu. tempat yang telah lama kau tinggalkan tanpa pesan - tanpa kata.

tapi aku tak pernah bosan berkunjung ke sana, meski jejakmu telah hilang, dan hanya ketiadaan yang kutemukan. lagu-lagu kesukaanmu yang lembut masih akrab menyambutku - meyakinkanku bahwa kau masih ada, dan mengundangku pada suatu senja untuk pulang.

*kereta pagi yang membawaku ke kota kelahiranmu, 
  Sept '14

17 Sep 2014

rahasia pertemuan

yang tersirat di sebelas juni

Pertemuan selalu menjadi rahasia Tuhan. Kita tak kan pernah tau dengan siapa dan di mana kita bertemu dengan seseorang. Kita tak perlu mencari, cukup meminta kepada yang menyimpan rahasia. Bila memang sudah waktunya, suatu saat hal itu pasti terjadi juga. Terkadang, hal itu terjadi tanpa rencana. Setelah itu, kita sendiri yang menentukan. Bertemu tak selalu bersatu.

Aku kira, Tuhan begitu sempurna menjaga keseimbangan.

-sritanjung

kecantikanmu adalah kesederhanaanmu


aku bertamu ke rumahmu suatu malam. seperti biasa kau selalu memintaku menunggu di beranda. lantas kau segera kembali masuk ke kamarmu untuk berias. selalu seperti itu. sejujurnya, aku lebih suka dirimu tanpa  memakai make-up dan berias. apalagi hari sudah malam. kita juga tak akan sedang keluar. bagiku, kau tetap istimewa dengan segala kesederhanaan yang kau punya.

lalu aku menahan langkamu masuk ke dalam. "jangan berias, nanti aku pulang!"

16 Sep 2014

aku ingin pulang


aku tidak tahu pasti kapan pertama kali mendengarkan lagu ini. hanya saja, lagu ini cukup menyita perhatianku sejak masih duduk di bangku sma. sampai sekarang, lagu ini masih menimbulkan tanya bagiku. ingin sekali rasanya aku mengajak berbincang dengan ebiet. menelusuri latar dan alasan serta bagaimana ia menciptakan lagu ini.

aku yakin frase "pulang" di sini memiliki makna yang luas dan dalam. bukan sebatas kembali ke kampung halaman,  sebagaimana seperti biasa kita mengejawantahkan makan "pulang". ada sesuatu yang menarik dan memaksaku untuk menelisik lebih dalam.

kata "pulang" bagiku menggambarkan sesuatu yang berkecamuk dan penuh pergolakan jiwa. bagaimana orang yang (ingin) "pulang" selalu diliputi  perasaan rindu, letih dan sepi. aku - atau mungkin kita, pernah mengalami hal sedemikian rupa. dalam jalan hidup yang penuh liku, dalam petualangan dan pencarian jati diri, atau mungkin dalam pelarian melepas bayang-bayang masa silam. kita akan tiba pada sebuah titik di mana kita menginginkan untuk "pulang". "pulang" dalam artian melabuhkan segenap jiwa dan raga. "pulang" yang memberikan kesan damai. "pulang" yang mengobati sejuta luka yang kita bawa dari perjalanan, meskipun hanya sesaat, sebelum kita memutuskan untuk berlari lagi.

**
"pulang" adalah engkau. tempat aku bisa menunjukkan segala ketidakberdayaan. tempat aku berteduh, bercerita, dan meringankan lara. aku selalu mencari jalan menuju ke sana. mencari celah untuk kembali mengetuk dan memasuki pintumu.

catatan: terinspirasi dari lagu aku ingin pulang oleh ebiet g ade. 
Solo, Sept 14


14 Sep 2014

14 September 2014


Lagu Blackbird terputar di playlist music. Lelaki itu, terbangun tiba-tiba dari tidur siangnya begitu mendengar alunan bridge dalam liriknya. Sementara langit di luar mendung, siang hari. 

Semenjak remaja, lelaki itu sudah terbiasa memutar beberapa lagu untuk menjadi teman pengantar tidur. Sampai ia tertidur, lagu-lagu itu masih berputar mengisi udara di ruang-ruang kosong dalam kamarnya. Dan biasanya lagu-lagu itu sudah berhenti berputar ketika lelaki itu terbangun. Selalu begitu.

Siang itu memang sedikit berbeda. Musim panas yang biasanya memancarkan terik di tengah harinya, kali ini tersaput mendung mega. Barangkali awan dan cuaca sedang mewakili apa yang terendap di jiwanya. Semesta rupanya telah bersekongkol memelankoliskan suasana.

Lelaki itu diliputi kegamangan tentang masa depan. Masa depan yang ingin sekali ia jelang dan lalui dengan perempuan yang dicintanya.

**
Ini tak lebih dari berbicara mengenai ketetapan takdir ataupun nasib anak manusia. Lelaki itu diliputi kekhawatiran yang menyelimuti batinnya. Tidak tahu bagaimana mengungkap perasaan dalam wujud kata untuk memantrai perempuannya agar ia tahu apa yang dirahasiakan oleh lelaki itu. Sebab waktu akan terus berlalu. Dan lelaki itu tahu, cepat atau lambat perpisahan adalah sesuatu yang pasti. Setidaknya sebelum itu terjadi, lelaki itu ingin mengatakan sesuatu yang belum tersampaikan dari segenap perjalanan yang telah mereka lalui berdua. Barangkali sesuatu itu diejawantahkan sebagai cinta.

Perjalanan waktu akan membuat lelaki itu meninggalkan kotanya, tempat di mana ia pertama kali bertemu dengan perempuannya. Di kota itu pula, segala kisahnya bersemi. Cerita mereka tersimpan lekat di jalanan dan bangunan tua kota itu yang menjadi saksi. Begitu pula dengan perempuan yang menjadi pujaannya, ia mesthi meninggalkan kota yang begitu banyak meninggalkan kenangan. Mereka tak tahu takdir akan membawa mereka berlabuh ke mana. Satu hal yang pasti, semua orang membutuhkan pulang dari jauh perjalanan yang mereka lakukan. Setidaknya lelaki itu ingin berujar, jika perempuan itu adalah rumahnya, perlabuhan yang ia tuju ketika pulang.

Kehilangan adalah sesuatu yang lelaki itu khawatirkan. Perasaan takut. Perempuan itu akan hilang dari dekapannya. Ia masih butuh waktu untuk meyakinkan perempuannya. Sedangkan perempuan, (terkadang) tak bisa menunggu waktu. Ingin sekali ia mewujudkan mimpi-mimpi perempuan yang telah dikenalnya sejak remaja itu. Dan sekali lagi, kebisuan dalam sekejap membekap mulutnya untuk mengucap yang tertunda.

**
Lelaki itu lantas duduk dan mengambil gitarnya. Dia bernyanyi. Begitulah ia menuangkan perasaan. Selalu begitu.
...........................................

"Ascend may you find no resistance. Know that you've made such a difference. All you leave behind will live to the end. The cycle of suffering goes on. But, memories of you stay strong. Someday I too will fly and find you again."

6 Sep 2014

rela

ns

"... sebab jalan masih panjang. kita tak kan pernah tahu pasti ke mana kita akan melangkah. kita tak kan pernah tahu siapa yang akan kita temui. begitulah aku belajar untuk merelakan."

Sept, '14

2 Sep 2014

Tragedi Stasiun Pasar Senen


Ini bukan cerita tentang Chairil Anwar yang “jajan” di kawasan Senen pada suatu ketika dan ia lupa membawa dompet untuk membayar. Kemudian ia memberi secarik kertas berisi alamat pada seorang pramuria yang telah ia pakai jasanya. Usut punya usut, alamat yang Chairil berikan pada pramuria di kawasan Senen itu ternyata alamat milik maestro seni lukis Indonesia: Affandi! Kejadian inilah yang melatarbelakangi poligami yang dilakukan oleh Affandi karena keesokan harinya Maryati, istri Affandi, marah-marah ketika pramuria itu meminta tagihan pembayaran ke rumahnya. Maryati merasa sudah “tidak cukup” untuk suaminya, kemudian ia meminta agar Affandi menikahi perempuan lain atas usulannya.

Ini bukan tragedi asmara sepasang anak manusia seperti yang mungkin terjadi pada maestro campur sari dari Solo: Didi Kempot. Tragedi ini bisa dihayati dalam lagu Stasiun Balapan, tempat di mana ia melepas kekasihnya pergi dan tak kunjung kembali. Tak bisa kubayangkan lebih lanjut betapa kehilangannya ditinggal seseorang yang begitu dicintai.

Ini bukan sekelumit kisah tentang perjumpaan pertamaku dengan Nadia yang kebetulan juga mengambil stasiun kereta sebagai latarnya. Bukan juga soal orang-orang yang berlalu lalang datang dan pergi dengan menampakkan wajah berseri dan wajah kalah. Ini cerita tentang kepulangan kami berempat (Aku, Ian, Uzi, dan Yusuf). 


#Ceger31, Rabu 27 Agustus

TKD (Test Kompetensi Dasar) adalah alasan kenapa kami kembali ke Jakarta. Berbulan-bulan bahkan hampir setahun kami menunggunya. Sampai pada akhirnya, tibalah kami di hari-hari yang dinantikan: Hari Pelaksanaan TKD. Test ini diselenggarakan pada tanggal 25-30 Agustus. Aku sendiri kebagian di hari kedua. Pengertian dan tujuan dari test ini, aku tak akan menceritakan.

Di Jakarta, aku sengaja untuk tinggal tak berlama-lama. Sehari setelah menyelesaikan test, aku memutuskan memesan tiket untuk pulang. Kali ini PT. KAI yang beruntung. Atas segala kondisi yang ada dan moda transportasi yang masih tersedia, aku memutuskan booking tiket Senja Utama untuk keberangkatan sabtu malam. Tak lupa, aku mengajak kawan-kawan untuk turut serta. Pada akhirnya, hanya Ian, Uzi, dan Yusuf yang memutuskan untuk ikut. Reservasi tiket dan pembayaran secara online kami serahkan pada Yusuf. Kebetulan saldo ATM-nya lagi tebal. Setelah reservasi dan pembayaran berhasil dilakukan, kode tiket pun kami terima. Kami siap untuk pulang!


#Pasar Senen, Sabtu 30 Agustus

Aku duduk sendiri di peron kereta dekat tempat cetak tiket. Menunggu kedatangan Ian, Uzi, dan Yusuf. Kebetulan aku berangkat lebih dulu karena harus mampir ke tempat saudara untuk menitipkan motor. Waktu itu jam menunjukkan pukul 20.35. Setengah jam lebih, aku menunggu Yusuf dkk. datang. Sambil berharap bakal bertemu gadis manis dan lucu seperti Nadia yang bisa diajak ngobrol untuk mengisi kekosongan waktu.

Setelah tiket berhasil dicetak, Aku dan Yusuf berjalan menuju gate check in. Di sana Ian dan Uzi menunggu. Karena lapar, kami memutuskan untuk makan malam terlebih dahulu dan menitipkan barang yang kami bawa kepada Cypi dan Yayul yang kebetulan juga tengah berada di stasiun.

Sekembalinya dari makan pecel lele yang berada di seberang jalan stasiun, kami melakukan check in. Dan di sinilah permasalahan terjadi. Kami tidak diperbolehkan masuk karena tanggal yang tertera di tiket kami tertulis tanggal 6 September! Astaga, kenapa ini bisa dan mesthi terjadi? Hal ini sungguh diluar dugaan. Kami merasa jika kemarin telah benar memsan tiket untuk tanggal 30 Agustus. Nah ini, malah tercetak mundur seminggu dari yang semestinya. Tidak ada yang bisa disalahkan memang. Mungkin sistemnya error atau mungkin juga itu benar-benar kelalaian kami sewaktu melakukan reservasi. Dengan wajah bengong kami tertahan di stasiun, seolah-olah tak percaya pada apa yang baru saja menimpa kami.

Sebenarnya aku pribadi atau mungkin kami tak mempermasalahkannya. Ini bisa jadi bahan cerita yang cukup epic dari akhir petualangan kami di Jakarta, mungkin. Mengingat setelah ini, kami tak tahu akan berlabuh di kota mana pasca penempatan kerja. Masalah utamanya adalah Surya dkk. yang masih tinggal di #Ceger31. Kami tak kuat membayangkan ejekan dan kegathelannya karena ia tahu kami tak jadi pulang. Kami hanya bisa pasrah. Aku percaya, Tuhan selalu menyimpan rencana.

Kami memutuskan balik dari Pasar Senen dengan menggunakan taksi. Sesampainya di #Ceger31, peristiwa yang kami khawatirkan terjadi juga. Berbagai reaksi dan hinaan kami terima.

**
Kami sendiri akhirnya tetap jadi pulang sehari setelah tragedi ini. Masih sama menggunakan Senja Utama dengan tiket yang kami pesan lagi. Bedanya kali ini Surya ikut. Jadilah kami berlima sebelum digenapi oleh ndoLo yang kami temui di stasiun dan kebetulan juga naik kereta yang sama.

Stasiun kereta selalu menyimpan cerita...

catatan harian,  September 2014