30 Des 2013

Kisah Pendakian Perdana Sang Legenda


-Based on True Story-

Penulis : Riris Aditya
Editor: Munawar Adi


Akhir-akhir ini dunia pendakian sedang menjadi sorotan. Hal ini tak lepas dari beberapa pendaki yang  tewas ketika melakukan pendakian. Banyak hal yang menyebabkan peristiwa ini terjadi. Entah itu karena kondisi cuaca yang ekstrem dan tidak bersahabat maupun ketidaksiapan pendaki itu tersendiri dalam menghadapi berbagai macam resiko ketika melakukan pendakian.

Riris Aditya mencoba mengungkapkan kembali kisah petualangannya sewaktu muda dulu. Mendaki gunung adalah salah satu kegiatan olahraga esktrem dan petualangan yang dulu pernah ia geluti. Seperti halnya dengan pemuda pada umumnya, gejolak jiwa yang masih labil tapi penuh semangat dan bermodal nekat lekat menjadi identitasnya waktu itu. Potret perkembangan pemuda saat ini juga tak jauh beda. Bertualang demi mendapatkan kesenangan tapi abai dengan resiko dan bahaya yang menyertainya.

6 tahun lalu, Riris menjalani debutnya di dunia pendakian. Tanpa perbekalan dan persiapan yang matang, ia mencoba menakhlukkan ganasnya Gunung Lawu yang terkenal sebagai gunung paling angker dan dingin se-antero Pulau Jawa. Pendaki legendaris pendiri TPS ini melakukan pendakian pada bulan Januari ketika intensitas curah hujan sedang tinggi-tingginya. Namun, hal itu tak menyiutkan nyali sang Legenda.

Bersama rekan-rekannya, ia terjebak badai sewaktu menuju puncak tanpa perbekalan dan peralatan yang memadai. Karena ketangguhan dan kejantanannya itulah, ia disebut sebagai legenda. Benar-benar pendaki legendaris yang tidak bisa dibandingkan dengan pendaki-pendaki newbie saat ini.

Sang Legenda di Puncak Rinjani

“Waktu itu aku mengajak Aziz untuk mendaki gunung. Aku terobsesi oleh cita-citaku, yaitu sesuatu yang berbau militer. Impianku ketika itu adalah menjadi seorang polwan, tapi mana mungkin aku hanya lelaki.  Karena tidak mungkin,  kualihkan cita-citaku menjadi TNI, tapi tidak kesampaian. Untuk itulah aku ingin menguji fisikku dengan mendaki gunung. Pertimbanganku mengajak Aziz waktu itu karena orangnya sedikit tolol, enak diajak bercanda, selain juga alasan utama dia pernah kesana sebelumnya.

Pendakian perdanaku pun dimulai. Waktu itu Aziz menjadi ketua tim karena sudah pernah naik gunung sebelumnya. Harus diakui Aziz memang punya pengalaman, tapi pengalaman taek. Sedikit-sedikit lelah, minta break. Saya agak bimbang waktu itu. Di satu sisi Aziz klemak-klemek kayak bencong sapoy, sementara teman saya Istanto yang seorang petinju amatir bergerak cepat bagai ular. Istanto dan Panji yang memimpin di depan waktu itu melahap setiap trek jalan setapak Lawu. Hanya Cendy yang mampu mengimbangi waktu itu. Saya tau Wowor juga mampu mengimbangi tapi karena kesetiakawanan saya dan Wowor yang tinggi kami memutuskan mengimbangi Aziz.  Jarak kami dengan  grup depan bisa dikatakan hampir 300-500 m. Saya juga kadang di depan menyuruh agak pelan, tapi lebih banyak dibelakang.

Di tengah perjalanan Aziz membuang beberapa wedang putih untuk mengurangi beban dengan alasan musim hujan. Sesuatu hal yang bisa disebut sebagai tindakan kebodohan. Anda bisa menebak sendiri mengapa saya berkata kebodohan, pikirku waktu itu “o.. ya mungkin ini pengalaman”. Perlu digaris bawahi pengalaman.
Kisah pun berlanjut. Saat itu terjadi clash antara kami. Ya memang benar, saat itu terjadi clash antara Aziz dan Istanto tapi masih dalam taraf yang wajar. Jujur Istanto merasa geli dengan tingkah laku Aziz yang sok berpengalaman perlu digaris bawahi tapi kenyataannya klemak-klemek.

Akhirnya kami pun terpisah, saya dan Istanto cs. melanjutkan perjalanan sedangkan Aziz dan antek-anteknya berhenti di Shelter III. Sebenarnya, yang menyebabkan saya melanjutkan perjalanan bukan soal clash tapi karena gojekan Istanto untuk mengejar daging kambing yang dibawa pendaki lain. Saat itu di perjalanan, kami memang melihat beberapa pendaki yang membawa kambing hidup ke atas. Gojekan Istanto ini sebenarnya mengetes siapa yang berani lanjut. Saya yang bermodal tekad bulat untuk mendapatkan sunrise memutuskan lanjut. nDarun dan Panji hanya ikut-ikutan lanjut (mungkin obsesi daging). Dingin benar-benar menyelimuti kami dalam perjalanan waktu itu.

Bermodalkan badan sehat, kami menuju ke atas, horas beh !!

Tidak peduli dengan Aziz dan antek-anteknya. Setelah berjalan menahan dingin dan menerjang badai selama berjam-jam,  akhirnya kami berempat tiba di Shelter IV. Saat itu pula, dengan penuh semangat mengejar puncak dan mengejar daging kambing, kami langsung tancap gas menuju puncak.
Baru 20 menit mendaki ke atas, kami melihat pemandangan yang begitu menakjubkan. Lampu-lampu kota yang sangat indah. Sampai saya terharu bila mengingatnya. Namun, tiba-tiba….. ASU……. badai besar datang. Kami hampir tersapu olehnya. Kami bergerak cepat kembali turun ke Shelter IV. Ini cerita paling menyedihkan, saya menulis biar semua orang tahu.


Dengan kondisi cuaca yang dingin seperti itu ditambah dengan badai dan rintik hujan, saya dan teman-teman memutuskan istirahat sejenak. Menunggu sampai cuaca kembali bersahabat. Minimal tidak hujan dan badai segera hilang.

Dingin kembali saya katakan. Dingin yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Kami gelar mantol milik panji, karena itulah satu-satunya peralatan yang kami bawa. Kami berencana untuk beristirahat sejenak. Akan tetapi, setelah menunggu hampir 1 jam lebih, cuaca tidak memihak. Badai malah semakin besar  sehingga kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan besok. 

Di  Shelter IV dengan kondisi sebagian atap hilang, beralaskan mantel, dan berselimutkan satu sarung yang kami pakai buat berempat, kami mencoba menyalakan api. Beruntung ada kayu-kayu yang agak basah disekitar Shelter IV. Anehnya, di sini saya lupa minta paraffin kepada Aziz yang kuakui memang peralatan dia lengkap.

Dengan tidak berputus asa, aku keluarkan lilin dari dalam tasku yang kuambil di meja dapur rumahku sebelum berangkat, kira aja berguna. Hampir setenggah jam lebih kami mati-matian menyalakan api. Aku sudah frustasi waktu itu. Berkat kegigihan Istanto dan nDarun, akhirnya api berhasil menyala untuk mengurangi dinginnya Shelter IV waktu itu. Dingin yang jujur kuakui sampai menusuk sumsum tulang. Kami akhirnya bisa sampai puncak keesokan harinya setelah matahari terbit menghangatkan tulang-tulang kami. Aziz dan antek-anteknya juga menyusul ke puncak beberapa jam setelah kami. Pada akhirnya, kami selamat sampai pulang ke rumah dan bertemu dengan keluarga kami masing-masing.”