28 Apr 2013

Backpacker ke Ranah Minang

Tengah malam pukul 02.00 saya mesti bergegas, berjalan kaki sendirian menerobos gelap dan horornya malam dari Kos menuju Bintaro IX. Travel X-Transyang membawa ke Bandara paling pagi berangkat pukul 03.00. Sebenarnya saya agak was-was karena jadwal pesawat yang ada di tiket mengharuskan saya check in sebelum pukul 05.00. Antisipasi waktu sebenarnya telah saya lakukan dengan memesan tiket X Trans keberangkatan pukul 21.00 malam sebelumnya. Akan tetapi, saya datang terlambat beberapa menit.Dan jadilah saya ditinggal. Dari sini saya belajar banyak jika waktu memang sungguh berharga bro, apalagi waktu yang hilang tersebut harus dibayar dengan uang yang sebenarnya tidak diikhlaskan. Rp 35.000,00 melayang sia-sia! 


Selama di dalam travel sudah jelas pikiranku diliputi kecemasan. Was-was kalau travel kejebak macet atau tiba di bandara tak sesuai dengan estimasi waktu yang saya perkirakan.Namun, toh akhirnya rasa cemas itu sirna juga karena tepat pukul 04.25 saya sudah berada di lorong antrian check in terminal 3. Selepas check ini saya bergegas sholat subuh dan menuju ruang tunggu. Di ruang tunggu tak ada kesibukan yang bisa saya lakukan, berbeda  mungkin dengan para calon penumpang lainnya yang sibuk dengan telepon genggam atau gadget mereka. Maklum, untuk sekedar pamitan saya tak tau harus berpamitan dengan siapa selain dengan orangtua. Tak ada pesan kepada pacar “yang, aku berangkat ke Padang dulu ya, hati-hati selama aku tinggal. Jangan lupa sholat, tugas penelitian jangan lupa dikerjakan. Sekalian itu baju kotorku tolong kau loundrykan. Sayang kamu....”. Liburan tetap saja berasa melankolis untuk yang masih berusaha menyembuhkan hati yang luka.Akhirnya, pukul 05.35 tepat pesawat mengudara meninggalkan Jakarta.
Di kabin pesawat tak banyak yang saya lakukan kecuali memandangi awan berarak di balik jendela yang terkena semburat mentari pagi atau sesekali memperhatikan pramugari mandala yang menurutku masih kalah seksi dengan milik maskapai lion air.
Sesaat setelah landing di Bandara Minangkabau, saya bergegas mencari Bus Damri yang akan membawa saya menuju Kota padang. Di sana lah kawan-kawan Padang Backpacker Community (PBC) menunggu saya di basecamp. Kebetulan sebelumnya saya telah mengontak dan berkonsultasi dengan mereka terlebih dahulu. Sambutan mereka benar-benar hangat. Sejak turun dari Damri di depan kantor Trakindo, saya langsung dijemput oleh Riko menuju ke Basecamp PBS yang beralamat di Jl. Bunda III A. Sesampainya di basecamp yang tak lain adalah kontrakan miliknya, saya berjumpa dengan Fakhruddin atau yang biasa disapa Fakh. Fakh ini merupakan anak Bontang yang kebetulan kerja di Jakarta tepatnya di kawasan Cilandak. Beberapa waktu lalu kami sempat berkenalan di forum BPI karena kesamaan rencana kami yang bakal mengeksplorasi Sumatera Barat. Hanya saja backpacker yang lebih gemar jalan-jalan ke luar negeri ini hanya memiliki waktu 3 hari selama di ranah minang. Dan di hari kedatanganku ini adalah hari terakhir dia sebelum malamnya cabut untuk kembali ke Jakarta.

Basecamp Padang Backpacker Community di Jl Bunda IIIA
Selepas sarapan dengan nasi dan mie goreng bersama di basecamp, kami memutuskan untuk berkeliling dan mengunjungi obyek wisata yang ada di Kota Padang. Kali ini saya,  Bayu, dan Fakh sebagai pejalan ditemani oleh anak-anak PBC Dzikri, Yura dan Anto (Adminnya PBC). Bayu sendiri adalah pejalan juga dari Jakarta. Seluruh tempat penting bagi traveller di Indonesia hampir semua pernah dia kunjungi. Satu hal yang membuat saya merasa klop dengan Bayu adalah dia bisa berbahasa Jawa karena memang dia  aslinya anak Tulung Agung. Maka jadilah kami berboncengan via motor pinjaman siang itu menuju obyek lokasi wisata yang hendak kami kunjungi. Walaupun berada di ranah minang, bahasa jawa tetep usefull buat ngobrol asal ngobrolnya sama dengan orang jawa juga, heuheu.
Tujuan kami yang pertama kali ini adalah museum Adityawarman. Saya tak bisa menjelaskan tentang banyak tentang museum ini karena museum ini tiap hari senin ditutup untuk pengunjung. Maka jadilah kami hanya sebatas berfoto-foto di area halaman museum. Obyek lain yang kami kunjungi di siang itu adalah Gunung Padang. Akses menuju Gunung Padang bisa ditempuh kurang lebih sekitar 5 menit dengan motor dari jembatan Siti Nurbaya. Sebenarnya ini tak bisa disebut Gunung, saya sendiri lebih suka menyebutnya sebagai bukit. Di bukit ini terdapat makam Siti Nurbaya. Panorama yang disuguhkan pun cukup indah karena bukit ini tepat berdiridan berbatasan langsung dengan laut. Untuk mencapai puncaknya perlu tracking sekitar 30 menit dan itu cukup melelahkan. Namun, tak perlu khawatir karena jalanan sudah dibuat tangga. Di sini saya menjumpai beberapa anak SMA yang cabut dari sekolahan.

Musem Adityawarman

Sore harinya kami menikmati senja di pantai. Anak-anak PBC menyebut pantai ini sebagai Pantai Bung Hatta karena letaknya dibelakang kampus Universitas Bung Hatta. Pantai ini berada tidak jauh dari basecamp sehingga kami cukup berjalan kaki untuk menuju ke sana.
Sementara malam harinya Fakh, Bayu, dan beberapa pejalan yang sempat singgah di basecamp balik ke bandara, saya memutuskan untuk mencari kuliner di kawasan kinol dengan Riko. Perlu saya kenalkan, Riko ini adalah peserta master chef yang gugur sewaktu menuju 70 besar. Wawasan kulinernya harus saya akui memang luas. Pekerjaan sehari-harinya sebagai dosen sekaligus mahasiswa S2 di UNP. Perburuan makan malam kami yang pertama adalah es durian ganti nan lamo. Es krim durian memang  menjadi salah satu trade mark di Kota Padang, khususnya di kawasan kinol. Perjalanan kami berlanjut ke Pantai Padang. Di kawasan ini saya hanya mencicipi telur penyu yang di makan mentah-mentah. Rasanya lebih asin daripada telur ayam mentah yang biasa saya coba. Dan kuliner terakhir malam itu adalah sate padang KMS. Berbeda dengan sate padang yang biasanya di jual di Jakarta yang umumnya memakai jeroan. Sate di sini bervariasi, tak hanya jeroan semata karena ada daging bahkan lemaknya juga.
Selepas kuliner, kami langsung balik ke basecamp. Berkaca pada hari pertama yang telah dilalui, itenaries yang sudah saya susun ternyata berjalan tak sesuai rencana. Namun, bukan berarti ini bisa dibilang gagal. Karena semenjak saya tiba di basecamp pagi tadi, semua itenaries dihancurkan semua oleh Riko.
Perjalanan hari kedua kali ini saya pergi ke Kabupaten Pesisir Selatan. Sebenarnya tujuan yang satu ini pada awalnya tidak termasuk dalam itenaries yang telah saya susun. Bisikan-bisikan dari Riko yang membuat saya akhirnya memutuskan untuk mencoba menjelajahi wilayah yang berada di tepi barat bagian selatan Sumatera Barat ini. Dan sudah jelas pula dia yang harus bertanggung jawab. Maksudnya soal akomodasi dan transportasi.
Riko merupakan salah seorang asli putera dari Painan, Ibukota Kabupaten Pesisir Selatan. Sebenarnya ajakan dia bukan tanpa alasan. Maksud dan tujuannya sangat baik. Saya akan menceritakan sedikit dibalik alasan dia mengajak setiap pejalan yang singgah di Padang untuk mengunjungi daerah di mana dia berasal ini. Harus diakui bahwa potensi pariwisata di Kabupaten Pesisir Selatan sungguh sangat indah dan masih alami. Akses jalan ke sana pun sudah cukup mumpuni  untuk sekedar menunjang transportasi. Banyak aneka wisata yang bisa dieksplore di Pesisir Selatan. Mulai dari Jembatan Akar, Pantai Carocok, Wisata bahari ke pulau-pulau, panorama bukit Langkisau, dan Air terjun tujuh tingkat. Ini belum termasuk obyek wisata lainnya yang belum saya kunjungi. Sayangnya, potensi alam yang sedemikian rupa ini ternyata masih belum cukup dikenal oleh para pejalan  yang datang ke ranah minang. Pada umumnya mereka lebih suka mengeksplore Kota Padang dan Bukit Tinggi. Itulah alasan kenapa Riko begitu sangat ingin mengenalkan keistimewaan Kabupaten Pesisir Selatan kepada para pejalan.
Air terjun tujuh tingkat
Perjalanan menuju Kabupaten Pesisir Selatan dapat ditempuh sekitar dua jam lebih dari Kota Padang. Di sepanjang perjalanan, saya disuguhi pemandangan yang sangat indah karena jalan raya yang saya lintasi berada tepat di samping bibir pantai.
Benteng Portugis di Pulau Cinguak bersama Riko
Memasuki hari ketiga, saya banyak membuang waktu di basecamp karena malam sebelumnya saya kecapekan selepas pulang dari Pesisir Selatan. Agenda hari ketiga ini adalah menuju Bukit Tinggi, Ibukota Republik Indonesia  ketika terjadi Agresi Militer Belanda. Kali ini  saya berangkat dari Kota Padang sendiri dengan menggunakan Travel. Di Bukit Tinggi saya nge-host sama Fahmi, anak PBC  yang tinggal di Bukik (sebutan Kota Bukit Tinggi). Perjalanan menuju Bukik ditempuh selama dua jam dari Kota Padang. Salah satu pemandangan eksotis selama di perjalanan adalah ketika melewati Lembah Anai. Di sana terdapat air terjun yang tepat berada di tepi jalan.
Setelah turun di Terminal Aur Kuning, saya melanjutkan perjalanan dengan mengunakan angkot menuju Pasar atas. Dari pasar atas saya langsung menuju Jam Gadang. Di sini saya bertemu dengan Fahmi yang akan menjadi host saya selama berada di Bukik. Sedikit informasi, jam gadang merupakan salah satu ikon kota Bukit Tinggi. Jam ini merupakan hadiah dari ratu belanda. Pada awalnya, jam ini  atasnya bukan atap rumah gadang. Kalau diperhatikan ada sedikit keunikan dari jam yang angkanya menggunakan angka romawi ini. Angka “4” tidak ditulis dengan angka romawi “IV” melainkan “IIII”, sedangkan angka lainnya tetap menggunakan angka romawi secara normal.
Setibanya di jam gadang saya langsung memotret suasana di jam gadang sore itu yang cukup ramai oleh pengunjung dan penjual segala jenis makanan dan souvenir. Pertemuan saya dengan Fahmi kali ini  lebih banyak membicarakan tentang Kota Bukit Tinggi sambil berjalan-jalan ke pasar atas dan pasar bawah. Satu hal yang jangan sampai dilupakan kalau mampir ke Kota Bukik, rasakan kuliner Nasi Kapaunya. Dijamin Lamak Bana! Malamnya sudah jelas saya menginap di rumahnya Fahmi. Sambutan keluarganya sangat hangat dan bersahabat.
Jam Gadang, Bukittinggi
Hari keempat kami mengunjungi Ngarai Sianok, Goa Jepang, Jembatan gantung dan tembok great wall yang kemarin baru saja diresmikan. Setelah dari tempat-tempat tersebut, kami ke Puncak Lawang yang berada di Kabupaten Agam. Di puncak inilah, Danau Maninjau terlihat begitu cantik dan memesona. Selepas dari Puncak Lawang, kami turun melintasi kelok 44 Maninjau. Dan diperjalanan pulang ke Bukit Tinggi kami sempatkan minum kopi kawa. Kopi khas dari ranah minang. Minuman kopi ini terbuat bukan dari biji kopi tetapi dari daun kopi. Konon waktu jaman Belanda dulu, minuman kopi hanya diperuntukkan untuk kalangan masyarakat atas dan para mener.  Untuk mencari solusi menikmati kopi, para pribumi dan masyarakat bawah berinisatif membuat kopi dari daunnya. Cara penyajiannya juga tidak dengan menggunakan gelas atau cangkir tetapi menggunakan bathok kelapa.
Greatwall bersama Fahmi

Danau Maninjau
Ketika senja tiba, saya memutuskan untuk meninggalkan Bukittinggi dan menuju Kota Payakumbuh. Kedatangan saya di Payakumbuh ternyata sudah ditunggu oleh Adal yang kali ini gentian emnjadi host selama saya berada di sana. Oiya, link untuk nge-host dengan Adal saya peroleh dari Ika, seorang pejalan juga yang saya temui di basecamp PBC. Kebetulan juga hari sebelumnya selama di Payakumbuh, dia nge-host juga dengan Adal. Satu kata untuk host saya ini “Gila”. Bagaimana tidak, dia baru saja pulang ke Kota Asalnya setelah menjelajah bumi nusatntara dengan hanya bermodal 800k! Dan cerita ini bisa dibuktikan dengan dokumentasi yang dia tunjukkan kepada saya.
Hari terakhir di Ranah Minang kali ini saya isi dengan mengunjungi Ngalau Indah yang berada di Kota Payakumbuh dan Lembah Harau serta kelok 9 di Kota Lima Puluh Koto. Khusus Lembah Harau, pemandangan yang ada di sini sangat indah dengan hamparan sawah yang berada di tengah-tengah lembah yang diapit bukit-bukit nan permai. Udara yang begitu sejuk. Hijau.
Lembah Harau
Sesaat setelah tiba ke Kota Padang lagi dari Payakumbuh, saya langsung diantar oleh Riko ke Bandara. Tak lupa Sebelum balik lagi ke Jakarta, saya sempatkan untuk membeli oleh-oleh diantaranya Rendang Telor, Abon, dan keripik balado.




27 Apr 2013

Cerita dari Sawarna

Impian untuk berkunjung ke salah satu desa yang berada di selatan Provinsi Banten ini akhirnya tercapai. Ya, desa ini berwarna Sawarna. Salah satu lokasi yang akhir-akhir mungkin sudah tak awam bagi penikmat  wisata pantai. Tak terkecuali bagi backpacker gembel seperti kami.
Semua berawal dari lawang biru crew yang mengajak #ceger31 berkolaborasi untuk gembel bersama dengan tujuan mengunjungi Pantai Sawarna. Akan tetapi, adanya kesibukan masing-masing anggota membuat kongsi ini terpecah dan akhirnya kami berangkat sendiri-sendiri.
Pertengahan September tahun lalu saya dengan beberapa teman tingkat dua hampir mengadakan touring ke sana. Sayangnya hal itu tidak terealisasi karena banyak pertimbangan. Selain belum matang secara persiapan, perjalanan yang harus ditempuh  untuk sampai di Sawarna dari Bintaro cukup jauh jika harus menggunakan dengan motor. Belum lagi kami tak tau rute.

Jadi begini awal mula ceritanya…

Kamis malam tanggal 11 April tahun 2013 saat sedang makan malam dengan Ian di KFC, telpon genggam saya bergetar. Rupa-rupanya ada sms masuk dari Nopek. Biasanya kalau saya sedang keluar malam seperti ini isi smsnya tak jauh-jauh dari minta tolong nitip makan tapi kali ini lain. Dia mengajak main ke sawarna akhir pekan ini. Dengan perasaan sedikit bimbang dan rayuan tidak ada kegiatan di akhir pekan daripada nganggur di kosan, akhirnya saya menyepakatinya. Seketika itu juga saya langsung mencari itin buat ke sana. Sayangnya, jumlah peserta menjadi kendala mengingat persiapan yang serba mendadak. Gembel tetap saja butuh persiapan. Daripada harus menunda waktu, jadilah hanya kami berlima yang ikut dalam petualangan sedikit gila kali ini. Saya, Nopek, Surya, Ndolo dan Dinto.

Surya, Dinto, Ndolo, Nopek, Aziz, dan Si Gundul Picollo
Jumat pagi kami sudah ready di #ceger31 untuk mengejar kereta yang berangkat ke rangkas bitung. Hal ini kami lakukan untuk mengantisipasi tiba di Bayah sebelum hari gelap. Jadi begini rute yang kami tempuh dari bintaro untuk sampai di sawarna.

Bintaro - Rangkas Bitung - Terminal Mandala – Bayah – Sawarna.

Jam 09.00 pagi kami sudah berada di peron stasiun pondok ranji, kereta ekonomi local dari Tanahabang dengan tarif 1500 perak siap membawa kami ke Rangkas. Lama perjalanan dari Bintaro ke Rangkas memakan waktu selama dua jam. Seperti biasanya, di kereta ekonomi  kami harus berdesakan dengan penumpang dan penjual. Terlebih kami tak mendapat tempat duduk. Dengan hanya 1500 perak, kami memang tak seharusnya berekspektasi lebih. Tempat duduk benar-benar baru bisa memanjakan pantat kami tatkala kami sudah tiba di parung panjang. Rasanya lega sekali setelah lama menunggu para penumpang lain turun. Di stasiun rangkas bitung satu hal baru kami sadari, frame tenda yang kami bawa ternyata ketinggalan. Dan jadilah kami membawa barang yang sia-sia.

Setibanya di stasiun Rangkasbitung

Setibanya di rangkas bitung kami langsung menuju terminal mandala. Transportasi yang digunakan adalah angkot nomor 1 dengan warna merah dan motif bawah warna hitam. Perjalanan di rute ini hanya membutuhkan waktu 15 menit dan tariff 3000 perak per orang. Setibanya di terminal mandala kami baru benar-benar menyiapkan perbekalan. Dan kali ini indomaret lagi-lagi menjadi sponsor di perjalanan kami.
Perjalanan sebenarnya baru dimulai dari terminal mandala. Dengan jarak tempuh lebih dari 120 km, elf yang kami tumpangi siap offroad menuju Bayah. Elf merupakan satu-satunya transportasi umum yang beroperasi dari mandala ke bayah. Jam operasionalnya pun terbatas. Paling sore kalau dari mandala adalah jam 15.00. Jalan utama menuju bayah sangat jelek sekali, banyak aspal yang sudah rusak. Belum lagi kondisi jalan yang penuh lubang dan berliku. Dalam perjalanan yang pernah saya lakukan, belum pernah saya melintasi kabupaten segersang ini. Tidak ada yang menarik sama sekali selama perjalanan menyusuri Kabupaten Lebak ini. Apalagi kondisi di elf sendiri penuh sesak dan gerah. Selama lebih dari 3 jam kami termakan oleh kebosanan.
Setibanya di Bayah kami langsung disambut oleh tukang ojek. Ada 2 kartel tukang ojek di sini, tukang ojek antagonis dan tukang ojek protagonist. Tukang ojek antagonis adalah yang pertama menyambut kedatangan kami, memaksa kami dengan harga 30ribu untuk mengantar sampai ke sawarna dan rela menunggu kami sholat bahkan sampai makan. Karena saya tawar 20ribu gak mau, terpaksa nopek saya suruh cari tukang ojek lain. Dan dapatlah dengan harga 20ribu. Tukang ojek yang satu ini namanya tukang ojek protagonist karena calm, lebih murah, dan gak banyak bacot seperti tukang ojek yang pertama tadi. Akan tetapi masalah justru timbul dari sini, tukang ojek antagonis merasa tidak terima dengan tukang ojek protagonist karena mereka berasumsi tukang ojek protagonist dirasa merusak harga pasaran.  Ujung-ujungnya mereka minta uang palak. Sedikit informasi, dari berbagai catatan backpacker. Tarif ojek yang berlaku di sini sebenarnya berada di kisaran 15ribu. Pada akhirnya, kami menggunakan tukang ojek yang protagonist karena sesuai dengan kepribadian kami.
Jarak Bayah ke Sawarna memakan waktu hampir setengah jam dengan menawarkan panorama hutan dan garis pantai di setiap sisi jalannya. Dan akhirnya, total perjalanan selama 8 jam terbayar lunas ketika kami tiba di desa sawarna.

Pantai Pasir Putih, Sawarna
Memasuki gerbang kawasan pantai, perjalanan kami disambut dengan melintasi jembatan kayu yang cukup ikonik dengan sawarna. Karena tenda yang kami bawa tak ada framenya, kami akhirnya menginap di gazebo. Kebetulan sekali kami dapat kenalan baik dengan pemilik gazebo, namanya pak kumis. Selama dua malam kami menginap di sini. Sebetulnya banyak penginapan yang tidak jauh dari kawasan pantai. Namun, tarif yang ditawarkan sedikit gila. Paling murah 120ribu semalam. Atau kalau sedang bawa banyak teman, menyewa rumah penduduk bisa dijadikan opsi. Rata-rata penduduk mau menyewakan rumahnya di kisaran harga 500ribu.
Malam pertama kami disambut dengan gerimis dan belaian dingin angin darat. Perjalanan  kami yang melelahkan tadi ternyata cukup membuat kami tewas lebih cepat setelah bermain poker dan tentunya diselingi obrolan khas lelaki, kali ini wanita tetap menjadi tokoh utamanya.

Tanjung Layar

Hari kedua di sawarna kami isi dengan tracking bukit dan telusur pantai. Satu hal yang perlu diketahui, sawarna menawarkan tipe pantai yang berkarang dan berpasir lembut. Di sini juga menjadi destinasi favorit bagi peselancar dan fotografer. Dua tempat yang kami kunjungi adalah tanjung layar dan laguna pari yang pasirnya lembut.  Tanjung layar adalah ikon pantai dari sawarna, banyak orang yang mengambil gambar di kawasan ini. Sedangkan laguna pari adalah tempat bagi mereka yang mencari ketenangan. Perjalanan dari tanjung layar ke laguna pari menawarkan keunikan karang yang seolah membentuk benteng  kecil berlapis yang teratur di sepanjang tepi pantai. Laguna pari sendiri diisi oleh beberapa nelayan. Dan penjual kelapa muda. Kelapa muda di sini dijual dengan harga gocap dengan kualitas yang worth it. Jangan heran bila satu buah kelapa saja kami tak habis. Setelah mabok minum air kelapa, kami tertidur pulas di bangku yang berada di tepi pantai ini. Sedikit cerita, di sini kami bertemu dengan komunitas petualang Indonesia. Percumbuan yang dilakukan oleh salah satu pasangan anggotanya cukup menjadi bahan perbincangan kami waktu itu. Sebetulnya kami hendak mengunjungi goa lawa juga hari itu tetapi jarak yang masih jauh memaksa kami untuk kembali ke tanjung layar dan akhirnya menikmati senja dengan bermain ombak di pasir putih, tempat gazebo kami berada.

Karang yang kami lalui dari Tanjung Layar-Laguna Pari
Laguna Pari
Malam kedua kami isi dengan cerita mengenai perjalanan cinta kami masing-masing. Untuk yang satu ini saya tak membahas lebih detail di catatan ini. Everybody wants to hide their secrets away. Di malam ini juga akhirnya kami berkesampaian makan ikan laut bakar. Maklum sesampainya tiba di sini, kami hanya menjejali perut kosong kami dengan mie instan.

Foto bareng dengan keluarga Pak Kumis sebelum pulang

Minggu pagi tiba, saatnya kami bergegas pulang setelah berpamitan dengan pak kumis yang pagi itu memberikan sarapan gratis untuk para gembel macam kami. Perjalanan pulang kali ini sedikit menyimpan cerita berbeda meskipun melalui rute yang sama saat berangkat kemarin. Dari sawarna menuju bayah, kami ikut menumpang pick up. Tentu saja pengalaman ini menjadi sangat berkesan karena kami tak harus naik ojek lagi dan membuat duit lagi. Bayangkan saja, jika kami punya duit pasti kami tidak akan mengalami pengalaman seperti ini.

Di Pickup tumpangan

Sedikit hal yang menguras emosi kami di edisi petualangan kali ini adalah elf “bangsat” yang kami tumpangi sewaktu balik dari bayah ke mandala. Bayangkan saja elf ukuran mini seperti itu dipaksakan oleh kernetnya sampai melebihi kapasitas normal, bahkan sampai ada yang duduk di atap. Kalau boleh dikatakan seperti “ana rego tapi ara ono rupo”, jelas kami emosi karena kami berlima disuruh duduk berdesakan di kursi paling belakang selama 4 jam perjalanan. Kelebihan penumpang ini pula sampai membuat elf tua ini  dua kali berhenti karena bannya pecah. Tarif elf normalnya 30ribu, karena elf kali ini edisi gathel harganya pun jadi lebih mahal gocap dari yang berangkat kemarin. Oiya, elf paling siang dari bayah menuju mandala adalah jam 10.00.
Pukul 14.00 kami akhirnya sudah sampai di rangkas bitung kembali.  Perjalanan yang melelahkan dan penuh cerita ini akhirnya membawa kami tiba di Bintaro sore harinya.