12 Sep 2012

Legend Of Kampes


Cak Dikin boleh saja menyebut tali kotang sebagai saksi cintanya yang suci. Akan tetapi, kami punya kampes sebagai tanda persahabatan yang abadi.

                Beginilah ceritanya:

September 2010.
Hujan mengguyur Merbabu. Waktu itu, Aku, Rudy, Riris, Ramdhan, Pongo dan Basuki sedang melakukan pendakian. Jarang sekali kami bisa berkumpul bersama semenjak lulus SMA. Maklum, kami berada di kota yang terpisah satu sama lain untuk melanjutkan study masing-masing. Rudy, Ramdhan, dan Basuki ada di Surabaya. Riris di Malang. Pongo yang memang tipe kurang suka tantangan tetap di Solo. Sedangkan aku ditakdirkan di Bandung. Untuk mengisi kegiatan libur lebaran edisi tahunan kali ini akhirnya kami memutuskan untuk mendaki Merbabu.
Hujan deras sudah mengguyur kami semenjak tiba di base camp. Ramdhan yang waktu itu menjadi pendaki newbie tak disangka ternyata membawa bekal pakaian yang cukup komplit termasuk baju, jaket, dan kampes serep untuk mengantisipasi keadaan cuaca. Betul ternyata, kampes serepnya Ramdhan ternyata berguna juga karena cuaca memang tidak bersahabat. Riris yang waktu itu kurang antisipasi akhirnya mau tak mau harus meminjam kampesnya Ramdhan karena kampes yang dia bawa basah semua. Ramdhan sendiri baru membeli kampes itu untuk dipakai di Merbabu dan belum sempat memakainya.  Sampai kami turun, kampes itu tetap melekat di selangkangnya Riris bahkan terbawa sampai ke Kota Malang.

Desember 2010.
                Libur Natal mengantarku ke Kota Malang. Agenda kali ini adalah mengunjungi Pulau Sempu. Aku berangkat dari Solo bersama Aryo dan Panji. Untuk mensukseskan misi ini, tentu saja aku mengajak Riris karena aku tau dia bisa dimanfaatkan. Apalagi dia masih di Malang meskipun telah menyelesaikan kuliah D1 nya. Cerita tentang kisah petualangan ke P. Sempu bisa dibaca di postingan lamaku. Yang menjadi masalah dalam edisi “mbolang” kali ini adalah aku tak mau membawa sisa pakain kotorku. Maka aku titipkan saja pada Riris biar diloundrykan dan membawanya ke Solo kalau dia balik nantinya biar bisa ku ambil. Aku sendiri akhirnya meminjam pakaian dan bahkan kampesnya untuk ku kenakan dalam perjalanan menuju pulang. Uniknya, kampes yang ia pinjamkan adalah kampes yang dulu ia pernah pinjam dari Ramdhan sewaktu di Merbabu. Jadilah ini menjadi sebuah lingkaran setan. Kampes itu berwarna biru. Sampai saat ini, kampes itu sudah tidak ku kenakan dan ku museumkan di lemari rumah.

Oktober 2011.
                Riris yang sudah penempatan di Batam akhirnya main dan menginap di kosku. Kebetulan saat itu ia baru saja mengikuti diklat prajab di Depok. Beberapa hari menginap di kosku ternyata membuat persediaan kampesnya habis. Dia tak sempat mencucinya. Membeli barupun enggan. Ternyata sebagai bentuk dendam, dia menyuruhku untuk meloundry dan meminjamkan kampesku kepadanya seperti halnya yang pernah dia lakukan kepadaku sewaktu di Malang dulu. Karena merasa kasihan meihatnya merengek-rengek terus, akhirnya ku pinjamkan juga kampesku.

Begitulah cerita tentang persahabatan kami yang senantiasa dihiasi oleh tragedi kampes. Maaf saja kalau postingan kali ini tak disertai gambar karena sungguh saru dan memalukan jika harus dicantumkan.  Berharap pembaca bisa menggunakan imajinasinya sendiri untuk meresapi cerita di atas. Hehehe