Cak Dikin boleh saja menyebut tali kotang
sebagai saksi cintanya yang suci. Akan tetapi, kami punya kampes sebagai tanda
persahabatan yang abadi.
Beginilah
ceritanya:
September 2010.
Hujan mengguyur Merbabu. Waktu itu, Aku,
Rudy, Riris, Ramdhan, Pongo dan Basuki sedang melakukan pendakian. Jarang
sekali kami bisa berkumpul bersama semenjak lulus SMA. Maklum, kami berada di kota
yang terpisah satu sama lain untuk melanjutkan study masing-masing. Rudy,
Ramdhan, dan Basuki ada di Surabaya. Riris di Malang. Pongo yang memang tipe
kurang suka tantangan tetap di Solo. Sedangkan aku ditakdirkan di Bandung.
Untuk mengisi kegiatan libur lebaran edisi tahunan kali ini akhirnya kami
memutuskan untuk mendaki Merbabu.
Hujan deras sudah mengguyur kami
semenjak tiba di base camp. Ramdhan yang waktu itu menjadi pendaki newbie tak
disangka ternyata membawa bekal pakaian yang cukup komplit termasuk baju,
jaket, dan kampes serep untuk mengantisipasi keadaan cuaca. Betul ternyata,
kampes serepnya Ramdhan ternyata berguna juga karena cuaca memang tidak
bersahabat. Riris yang waktu itu kurang antisipasi akhirnya mau tak mau harus
meminjam kampesnya Ramdhan karena kampes yang dia bawa basah semua. Ramdhan
sendiri baru membeli kampes itu untuk dipakai di Merbabu dan belum sempat
memakainya. Sampai kami turun, kampes
itu tetap melekat di selangkangnya Riris bahkan terbawa sampai ke Kota Malang.
Desember 2010.
Libur Natal mengantarku ke Kota Malang. Agenda
kali ini adalah mengunjungi Pulau Sempu. Aku berangkat dari Solo bersama Aryo
dan Panji. Untuk mensukseskan misi ini, tentu saja aku mengajak Riris karena
aku tau dia bisa dimanfaatkan. Apalagi dia masih di Malang meskipun telah
menyelesaikan kuliah D1 nya. Cerita tentang kisah petualangan ke P. Sempu bisa
dibaca di postingan lamaku. Yang menjadi masalah dalam edisi “mbolang” kali ini
adalah aku tak mau membawa sisa pakain kotorku. Maka aku titipkan saja pada
Riris biar diloundrykan dan membawanya ke Solo kalau dia balik nantinya biar
bisa ku ambil. Aku sendiri akhirnya meminjam pakaian dan bahkan kampesnya untuk
ku kenakan dalam perjalanan menuju pulang. Uniknya, kampes yang ia pinjamkan
adalah kampes yang dulu ia pernah pinjam dari Ramdhan sewaktu di Merbabu.
Jadilah ini menjadi sebuah lingkaran setan. Kampes itu berwarna biru. Sampai
saat ini, kampes itu sudah tidak ku kenakan dan ku museumkan di lemari rumah.
Oktober 2011.
Riris
yang sudah penempatan di Batam akhirnya main dan menginap di kosku. Kebetulan
saat itu ia baru saja mengikuti diklat prajab di Depok. Beberapa hari menginap
di kosku ternyata membuat persediaan kampesnya habis. Dia tak sempat
mencucinya. Membeli barupun enggan. Ternyata sebagai bentuk dendam, dia
menyuruhku untuk meloundry dan meminjamkan kampesku kepadanya seperti halnya yang
pernah dia lakukan kepadaku sewaktu di Malang dulu. Karena merasa kasihan
meihatnya merengek-rengek terus, akhirnya ku pinjamkan juga kampesku.
Begitulah cerita tentang persahabatan kami yang
senantiasa dihiasi oleh tragedi kampes. Maaf saja kalau postingan kali ini tak
disertai gambar karena sungguh saru dan memalukan jika harus dicantumkan. Berharap pembaca bisa menggunakan imajinasinya
sendiri untuk meresapi cerita di atas. Hehehe