13 Okt 2010

Datang ke Djakarta

Tak terasa akan usai sudah liburan yang ku jalani selama ini. Empat bulan lebih meninggalkan bangku kuliah dan beberapa pekan lagi mesti kembali menimba ilmu, tak lain demi masa depan.
Kali ini berbeda, aku tak kembali lagi ke Bandung untuk kuliah seperti apa yang sebelumnya ku jalani. Kepergianku dari kampung halaman kini memiliki tujuan berbeda : Bintaro. Ini ku lakukan tak lain karena aku memang sengaja pindah dari ITB ke STAN.
Di mana Bintaro? sebenarnya aku tak tau. Baik jalan menuju ke sana ataupun sekilas kehidupan mengenai kota ini, meningat sebelumnya aku belum pernah datang ke Kota ini. Yang ku tau, aku harus ke sana.
Pukul 08.30 pagi tadi akhirnya aku jadi berangkat dengan Argolawu dari Balapan ke Gambir. Sendiri dan dengan sedikit kecemasan dalam pikiran, kereta membawaku pergi dari Kota Solo tercinta.
Di perjalanan aku sempat duduk pada kursi yang salah setidaknya sampai di kota Purwokerto, ketika secara tiba-tiba ada seorang wanita yang mengklaim tempat duduk yang aku tempati. Dalam kereta, perasaan cemas semakin menghinggap dalam pikiranku. Alasan yang pertama adalah berkas yang ku bawa untuk registrasi ulang ternyata masih kurang dan ini membuatku harus mencari terlebih dahulu sebelum melakukan registrasi ulang. Dan esok adalah hari terakhir jadwal registrasi bagi jurusan akuntansi. Alasan yang kedua adalah aku tak tau harus ke mana selepas turun di st. Gambir. Aku belum pernah datang ke kota ini sebelumnya. Dan alasan yang terakhir adalah aku belum dapat kos. Beberapa waktu yang lalu sebenarnya aku diajak oleh beberapa teman untuk sama-sama mencari kos, tapi aku enggan karena ada suatu hal. (Untuk alasan yang ini, akhirnya aku dapat solusi: gembel di kosnya Tommy sebelum mencari kos-an).
Pukul 17.30 kereta sampai di st. Gambir. Satu jam lebih di sini aku merasa bingung tak tau harus ke mana dan berbuat apa. Rasa-rasanya aku seperti dibingungkan oleh petugas stasiun ketika aku bertanya pada mereka. Yaa, seperti kisah Viktor Navorski (Tom Hanks) di film The Terminal. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi mbah Darmo, temanku SMA yang kini kuliah di UGM. Darinya ku peroleh info untuk melanjutkan perjalanan ke Sepong dengan KRL. Parahnya di st. Gambir tak ada kereta yang menuju ke Serpong. Sementara hujan turun deras di luar, seorang memberitahuku jika pergi ke Serpong baiknya berangkat dari st. Tanah Abang. Batinku bertanya, lantas di mana St. Tanah Abang? Anjink...
Mulanya aku ingin naik taksi mengingat cuaca sedang hujan, tapi karena hujan berangsur reda akhirnya aku memilih ojek saja untuk meninggalkan st. Gambir menuju st. Tanah Abang. Lumayan, sedikit mengurangi pengeluaran, lagipula bawaanku tidak banyak, hanya tas berisi berkas-berkas persyaratan daftar ulang dan dua stel baju, dan gitar.
Sampai di st. Tanah Abang aku mengambil KRL jurusan Serpong. KRL di sini bentuknya mirip seperti KA Prameks jurusan Solo-Jogja, bedanya KA ini berkelas ekonomi dan bisa dibayangkan berapa banyak orang yang harus berdiri, mengingat waktu itu menunjukkan jam usai kerja. Atas anjuran Tryas, temanku di ITB, akhirnya aku turun di st. Pondok Ranji. Dari Stasiun aku memutuskan untuk ngojek lagi sampai di kosnya Tommy. Ojek di sini bias dibilang sangat tidak peduli pada keselamatan penumpangnya, tak hanya cara mengendarainya yang tergolong pecicilan, si penumpang juga tak dipinjami helm. Sekilas Kota ini tak beda jauh dari Bandung, meski tak metropolis, jalanan di kota ini begitu banyak dipenuhi angkutan umum dan kendaraan bermotor lainnya, akses jalannya juga jelek. Pukul 21.00 aku sampai di sebuah warung dekat gerbang belakang STAN, beberapa saat kemudian terlihat Tommy dan Pandu datang menjemputku. Yaa, mereka adalah kawan-kawan SMA seangkatanku yang rela melepaskan almamater lamanya demi STAN.
Aku hanya berharap semoga tiga tahun ke depan secepat tiga tahun belakangan ini yang ku alami.
(a diary Sep, 22 2010)