26 Jul 2010

Destiny


“Kita tak akan pernah tau nasib seseorang”

Berbicara tentang hidup adalah berbicara tentang perjalanan. Ada orang yang menganggap hidup adalah penderitaan, beberapa menganggapnya sebagai perjuangan dan sebagian mengikuti kehidupan selayaknya air yang mengalir. Terlepas dari itu, kita boleh saja mendefinisikan hidup seperti apa yang tercermin dalam perilaku keseharian kita. Dan mimpi adalah kompas dalam bahtera kehidupan ini. Bisa dipercaya atau tidak, semua kembali pada kita untuk menjadikan karunia Tuhan sebagai sarana menapaki hidup yang lebih berarti. Tak ada satupun ciptaannya yang tak seimbang, mereka yang gagal dalam hidup adalah orang yang tak mau bersyukur dan selalu berkeluh kesah. Rasa-rasanya memang begitu.
 

“Masa depan orang siapa yang tau. Keajaiban memang ada, tapi tak akan datang begitu saja. Boleh kita mengutuki takdir, tapi pada akhirnya harus merelakan. Kita bisa menjadikannya yang terbaik atau terburuk. Tidak ada batasan waktu untuk memulai sesuatu, untuk menjadi siapapun yang kita inginkan. Nasib berada di tangan kita sendiri. Tidak ada jalan lain, kecuali bekerja keras mewujudkan mimpi karena Tuhan Maha Esa”

12 Jul 2010

Pendakian Gunung Sumbing


July, 6-7 ‘09
Setelah kemarin berunding mencari kesepakatan untuk mendaki, TPS hari ini akhirnya capcus juga ke Sumbing. Ini adalah pendakian terakhir di ujung kebersamaan kami, sebelum bengisnya waktu dan bangku perkuliahan memisahkan kami. SNMPTN sudah terlewati empat hari yang lalu, dan pikiranku yang jenuh karena harus bergulat dengan buku mengisyaratkan untuk sejenak memanjakan nurani. Walau nanti belum pasti aku akan diterima atau ditolak oleh PTN yang kemarin ku pilih. Aku sudah pasrah.
Kami rencananya akan berangkat siang habis dzuhur.  Dan rencana tinggalah rencana. Terkadang kenyataan tak sesuai dengan rencana. Seperti biasa, dalam berkumpul aku selalu datang paling akhir, karena sejak kemarin aku sama sekali tak menyipakan bekal, so butuh waktu sejenak untuk shoping dulu sebelum berangkat. Setelah berkemas, aku berangkat dan tiba di tempat perjanjian (Riris’s house at Petoran City) pukul 14.00. Dan teman-teman yang sudah nangkring sejak 1,5 jam lalu dapat ditebak reaksinya. Walau begitu, ternyata ada yang lebih parah dari diriku, karena Bima baru datang yang paling akhir.
Pendakian kali ini agak berbeda karena ada 2 orang pemula, Asep dan Aryo. Dan jadilah kami berangkat dengan formasi:
Aku-Ahimsa-Basuki-Asep-Bima-Cendy-Alwan-Rudy-Pongo-Panji-Aryo-Riris.

Perjalanan
Dalam perjalanan Pongo berperan sebagai Leader karena perjalanan kami menggunakan jalur yang melewati Boyolali-Salatiga-Ambarawa-Temanggung-Wonosobo. Memasuki Kota Boyolali, kami sempat berhenti dua kali untuk minum di warung pinggir jalan dan di SPBU untuk mengisi bahan bakar dan sholat ashar.
Sholat Ashar di Boyolali


Setibanya di Ambarawa kami mulai membentuk gap, tapi akhirnya Kota Temanggung menyatukan kami lagi. Selepas petang, kami berhenti lagi untuk sholat dan mencari makan malam di dekat Masjid Agung Temanggung. Maunya sih cari yang enak-murah, tapi karena terpaksa akhirnya kami memutuskan untuk makan pecel lele di kakilima dekat Masjid. Setidaknya selama setengah jam di kakilima, kami cukup dimanjakan dengan makanan yang dihidangkan sambil memandang orang-orang yang berlalu lalang di jantung Kota Temanggung.
Kami akhirnya tiba di Bascamp pukul 20.30 dan mulai mendaki pukul 21.00. Untuk pendakian dan parkir sepeda motor, tiap orang dikenai biaya 6ribu rupiah (yang 3ribu buat parkir sepeda motor).

Pendakian
Ada 2 jalur untukmendaki Sumbing, jalur lama dan jalur baru. Tanpa banyak cincong dengan berbekal peta, kami sepakat untuk mengambil jalur lama di sebelah kanan kaki gunung. Bedanya untuk jalur lama lebih menanjak dengan sudut tak pernah kurang dari 60˚ tapi katanya lebih cepat.
Pose bersama di basecamp

Baru sejam berjalan, fisik kami sudah terkuras sebagai bentuk penyesuaian d
engan medan yang begitu terjal. Ahim pun sudah muntah-muntah di Jalan. Aku yang berada di depan dengan Riris, Panji dan Aryo terpaksa menunggu. Selang, beberapa jam kemudian, kejadian yang sama terulang kembali, dan lagi-lagi Ahim yang menjadi actor utama. Kami pun terpaksa meninggalkan Ahim di belakang yang di temani Rudy.
Terangnya rembulan membuat kami tak perlu memakai senter yang sudah kami siapkan. Masih seperti dulu, setiap kali mendaki, lagu cahaya bulan dan mahameru mengalun diantara jejak-jejak langkah yang kami tinggalkan sambil berbincang mengenai wanita-wanita yang mengacuhkan kami. Sesekali aku melihat ke belakang, betapa indahnya cahaya kota yang menyulut mataku. Semua tak bisa terlukiskan dengan kata-kata.
Selepas 6 jam berjalan kami memutuskan untuk nge-camp dan melanjutkan pendakian paginya. Tak biasanya, angin di sini cukup kencang meski cuaca bersahabat. Kebetulan Panji membawa sundome yang memuat 3-4 orang. Aku, Riris, Panji dan Aryo termasuk yang emmakai sundome itu. Sementara yang lain cukup tidur di luar dengan SB.
Basuki, Pongo, dan Cendy sesaat setelah bangun dari tidurnya

Rudy, Pongo, Bima, Aziz, Basuki, Asep

Pagi datang menjemput hari, dan beberapa dari kami tak menyia-nyiakan indahnya sunrise untuk berfoto narsis, sedang yang lain masih tidur dan ada beberapa yang masak. Melihat peta, jalur masih panjang. sementara jam sudah menunjukkan pukul 07.00. Beberapa dari kami akhirnya timbul clash, untuk melanjutkan perjalanan atau turun. Akhirnya demi kebersamaan, kami bersepakat untuk melanjutkan perjalanan bagi yang ingin naik lagi yang ingin naik, sedangkan yang tidak mau dipersilakan untuk menunggu barang-barang kami yang ada di camp. Tak ada bekal yang kami bawa karena semua carrier ditinggal di camp tadi terkecuali air minum yang tinggal beberapa botol. Berjam-jam kami menapak perjalanan, akhirnya keputusasaan mulai hinggap. Apalagi kami sempat salah jalur.
Riris dan Panji, semangatnya berkobar bagai matahari

Di sini permainan kehidupan di Uji. Bekal air yang  tersisa sebotol air minum saja, itu pun tak penuh. Sementara perjalanan masih begitu panjang dan menanjak. Terlihat yang paling antusias tinggal Riris dan Panji. Sampai di Batu kotak kami benar-benar sudah limit air dan memutuskan untuk berhenti. Ya, walaupun mereka berdua jadi meningglakan kami ke atas (pada akhirnya tak sampai puncak), kami menanti di antara semak-semak edelweiss sambil beristirahat.
Tepat tengah siang hari kami beranjak balik ke camp tadi, dalam perjalanan aku bertemu dengan pendaki lokal. Mereka menawarkan air tapi aku tolak. Semakin siang, kabut mulai naik. Setelah packing dan minum air yang tersedia di camp kami bergegas menyusul Pongo dan Cendy yang terlebih dulu turun ke basecamp. Sebelum turun, kami sempat melakukan foto bersama untuk yang terakhir kali.
Foto terakhir sebelum turun

Sampai di basecamp pukul 17.00, dan sambil mengistirahatkan kaki, kami memesan segelas air teh hangat dan nasi goreng. Tak cukup itu saja, kami juga memasak untuk menghabiskan bekal yang tak habis di atas. Mie, Susu+gulajahe. Sebenarnya farewell tak cukup berhenti di sini, aku dan Panji sempat punya usul mandi air hangat ke Dieng. Namun, usul kami tak mendapat restu dari teman-teman yang lain karena hari sudah mulai beranjak malam sedang Pongo dan Cendy pulang terlebih dulu karena Pongo izin pulang ke Ibunya untuk pulang sebelum malam. O..iya sebelum cabut aku sempat membeli souvenir T-Shirt Sumbing.
Pulang
Waktu pulang, aku dengan Bima terjadi miss komunikasi. Kali ini, Bima yang berperan jadi leader. Dia meminta pendapatku mengenai jalur yang akan kami lewati. Dengan tenang, aku bercetus, “lewat Semarang sama seperti kemarin” (dalam asumsiku, Semarang=Ambarawa). Tak taunya Bima malah membawa kami ke Semarang (Kota) yang ia sendiri tak tau jalannya. Sempat bertanya pada orang-orang, akhirnya kami benar-benar harus memutari jalur yang semestinya dengan lintasan dimana kanan adalah hutan dan kiri adalah jurang, tak ada lampu penerang jalan, tak ada kendaraan lain yang melintas selain kami, dan selama lebih dari 25 KM. Emosi kami saat itu benar-benar terbakar, aku sendiri berfikir jika di jalan itu ban kami bocor maka tamatlah sudah. Sementara Ahim, yang berboncengan denganku cuma menggerutu pada Bima. Setelah sampai di Kota, gantian Asep yang menbentakku karena tak mau menunggu Bima yang tertinggal di belakang (dia mengira aku makai headset sehingga tak menggubris kata-katanya).
Selepas dari Ambarawa, kami benar-benar terpisah jauh satu sama lain. Dan aku yang berboncengan dengan Ahim termasuk yang paling belakang. Panji dan Aryo dengan Supra 125nya, Alwan dengan Jupiternya, Bima dengan Suprafitnya Cendy, Asep dengan Shogunnya Basuki menggeber habis gasnya sampai tak terlihat oleh mata kami yang memakai Karisma.
Kisah berlanjut, tinggal kami yang ada di posisi paling belakang. Aku yang merasa kecapekan mulai mengantuk. Bahkan sesekali rasanya mau jatuh ke belakang di jalan Salatiga-Boyolali. Dengan percikan emosi yang terjadi antara aku dengan Ahim, Aku meminta dia untuk berhenti sejenak, mampir di HIK, minum kopi (walau Ahim saat itu begitu ingin segera lekas pulang).
Tiba Kembali di Rumahnya Riris sekitar pukul 22.00, sampai di situ kami dijamu dengan kopi dan aneka makanan ringan dari keluarga Bp. Sudarsono yang benar-benar mampu menghapus kami dari kelelahan. Kami pun tidur di situ, di halaman depan Rumah beliau dengan kasur dan bantal. Aku, Asep, Ahimsa, Rudy, Bima, Alwan, Panji, Riris, dan Aryo. Sementara Basuki lebih memilih untuk kembali ke Rumahnya.

Hari ini terlalu indah untuk kita buramkan, kawan.



Basuki
   : " suk yen daki meneh jo menyia2kan n gowo sing air sing akeh , "

Alwan
   : " Pesan-cmua itu hrs mmpunyai tujuan yg jelas trmasuk dlm pndakian. Kesan-Aq menemukan arti dlm kegelapan.”

Rudy
      : "PENDAKIAN TERMASAL DAN TERGAGAL"

Asep
       : "ternyata aku tak bisa dpandang sebelah mata!! skali pendakian langsung mengalahkan mereka2 yg katanya udah sering naik turun gunung! salud bwt diriku,, pndakian kemarin saya dedikasikan utk putri langitku, puspita"


Ahim
     : "unforgotten memories..thx a lot"

Panji
     : "Sungguh melelahkan"

Aziz
        : "citylight-nya sungguh luar biasa”

Riris
       : "no, comment"

Cendol
  : " Joz tenan rek!"

2 Jul 2010

Catatan Seorang Pendaki



Sedikit berbagi cerita tentang pengalaman pendakianku dulu sekaligus mencoba untuk membangkitkan hangatnya kenangan bersama kawan-kawan di alam pegunungan.

Gunung Lawu (April 2007)
Usiaku baru akan 16 tahun ketika aku memulai sejarah pendakianku. Saat itu aku masih duduk di kelas satu SMA. Masih ku ingat waktu itu betapa sulitnya aku meyakinkan ayah dan kakakku untuk mengikuti acara pendakian masal yang diadakan oleh kelompok pecinta alam yang ada di SMA N 3 Surakarta. Aku sendiri sebenarnya bukanlah seorang anggota pecinta alam dari organisasi tertentu sejak dulu sampai sekarang. Toh, keluarga akhirnya memberikan restu dengan alasan yang ku berikan bahwa ada beberapa guru juga yang ikut serta, meskipun pada akhirnya para guru tersebut kebanyakan hanya bisa mengantarkan samapi di POS II.
                Berbekal hasrat tinggi karena mendengar cerita beberapa kawan yang pernah ke sana, sore itu aku berangkat via truck bersama rombongan yang dibawa dari Warungmiri ke Cemoro Kandang. Tak banyak bekal yang ku bawa karena memang katanya pihak panitia telah siap untuk menyediakan segala peralatan dan perlengkapan. Cuaca hari itu memang agak tak bersahabat, hujan sempat turun sore harinya.
Momentum yang ku ingat selama pendakian pertamaku ini adalah ketakutanku ketika menyusuri rimba hutan di waktu malam, bahkan sampai tak berani aku memandang di sekelilingku, yang ku tahu mataku terus melihat ke depan, ke jalan setapak yang ada di hadapan. Aku sudah agak lupa tentang orang-orang yang tergabung dalam kelompokku, hanya Sari mungkin yang masih ku ingat, waktu itu kelompok kami menjadi yang terakhir saat tiba di Hargodumilah. Sunrise pun tak terkejar karena kami baru sampai setelah pukul 8.30. Diperjalanan kami sempat break terlalu lama di Pos III sebelum akhirnya aku dan bersama beberapa anak kelas X7 memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dari Pos III, ini pun akhirnya harus terpisah di tengah jalan.
Kumpul di depan UNS

Kapok juga sebenarnya aku mendaki gunung. Betapa mahalnya sebuah keindahan harus dibayar, oleh rasa letih. Masalahnya dalam mendaki gunung bukanlah hanya bicara tentang fisik, mental juga berpengaruh. Namun, dari sini pula ada perasaan tuman atau semacam penyakit yang disebut “gila alam” mulai menjangkit diriku.


Gunung Merbabu (Oktober 2007)
Ini pendakian paling melelahkan yang pernah ku alami. Selama tak kurang dari 3 hari setelah pendakian, aku tak mapu beranjak dari tempat tidur. Kakikku lempoh.
Pendakian ini bermula dari rencana beberapa anak rohis: Hendro, Salim, Priyatno dkk. yang mengajak untuk mendaki ke Merbabu setelah lebaran tahun itu. Berdelapan kami akhirnya berangkat ke Kopeng, Salatiga. Aku, Ahimsa, Hendro, Salim, Alwan, Priyatno, Faisal dan Harun (teman kampoengku yang sengaja memang ku ajak karena aku tak punya boncengan).
Saat awal berangkat, motornya Ahim sempat bocor di Mangkunegaran. Perjalanan selama dua jam lebih akhirnya mengatarkan kami ke rumah saudaranya Hendro yang tak jauh dari kaki Gunung Merbabu. Kami terlebih dahulu mampir ke base camp untuk mengurus perizinan dan meminta peta.  Selepas Ashar kami mulai mendaki, melewati perkebunan penduduk, dan mulai ke atas melewati hutan perbukitan. Sialnya, kali ini aku menjadi racun dalam kelompokku. Kondisiku tak begitu bugar, bahkan Ahim sering melontarkan cemooh untukku yang dikit-dikit minta break. Perjalanan kami sedikit dimanjakkan pemandangan yang begitu indah. Di sini ada beberapa tempat yang agak keramat. Berjalan terus melewati setapak yang tak  satu pun dari kami yang pernah ke sini akhirnya membuat kami beberapa kali tersesat, karena memang bukit yang ada di punggung gunung ini cukup banyak, bahkan gunung ini punya julukan seven summits. Salah satu hal yang kami alami ketika tengah malam adalah kekeliruan dalam memilih jalan yang justru membawa kami ke tempat pemakaman. Perlu di ketahui bahwa di sini tak ada air kecuali di Pos I. Pukul 02.00 dinihari kami memutuskan untuk mengecamp di rondo rante, kebetulan walaupun tempatnya agak terjal, pemandangan di sini cukup eksotik karena dapat melihat sunrise di ufuk timur dan juga Gunung Sindoro dan Sumbing di sebelah baratnya. Pagi harinya sekitar pukul 06.00 kami baru menuju puncak dengan turun bukit terlebih dahulu. Di puncak kelihatan Gunung Merapi yang angkuh berdiri di pelupuk mata. Kami berfoto-foto dan memasak makanan di sini.
Puncak Merbabu

Selepas turun dari puncak, kami sempat kehabisan air karena lost kontak dengan Alwan yang berada jauh di depan. Namun inilah petualanganku, aku menyusur ke dalam ruang ketidakpastian dan penuh dengan tantangan. Ku sadari sepenuhnya ketakutan itu hanya ada di pikiranku. Setibanya di kaki gunung, kami langsung kembali ke rumah saudaranya Hendro, melepaskan lelah dengan segala hidangan yang ada. My Life, my adventure.


Gunung Lawu (Januari 2008)
Bisikan Iblis mulut siluman babi akhirnya mengoyakkan pendirianku. Januari memang selalu menjadi musim tak bersahabat bagi siapa saja, terkecuali mereka yang suka hujan. Pendakian ini menjadi sebuah keputusan paling konyol yang pernah dilakukan oleh pendaki amatir seperti diriku. Bermula dari ajakan seorang teman kelas bernama Riris (nama aslinya siluman babi), proyek ini akhirnya ku “iya”kan meski agak sedikit terpaksa. Riris sendiri sebelumnya tak punya pengalaman dalam hal berbau survival semacam gini. Tak tanggung-tanggung, dia mengajak segerombolan pasukannya macam Panji, Istanto, Fery dkk. yang juga tak punya pengalaman. Aku sendiri akhirnya mengajak Rudy, Udin, dan Cendy. Terpaksalah aku menjadi leader karena memang hanya aku yang pernah ke sini sebelumnya.
Di perjalanan, Cendy, Udin, Rudy

Keberangkatan kami menuju ke Cemoro Kandang sudah disambut dengan badai, di perjalanan kami sempat break menanti hujan di Masjid Pasar Tawangmangu. Setelah melewati petugas perizinan di basecamp, kami mulai merangsek naik ke Gunung yang memiliki tinggi 3265 M ini. Kami akhirnya tiba di POS III setelah menempuh perjalanan 5 jam dari basecamp tadi. Di sini kami break dahulu, akan tetapi akhirnya aku memutuskan untuk mengecamp di sini karena memang cuaca sudah mulai senja dan aku lebih akan merasa nikmat kalau mulai mendaki pada keesokan harinya. Atas keputusanku tersebut, timbulah clash antara golongan dewa dengan siluman. Kelompok siluman yang diketuai Riris memilih untuk berlanjut. Aku, Cendy, Rudy, Fery dan Udin memilih untuk beristirahat di sini sambil menghangatkan badan. Tenda dan perlengkapan kami (kelompok dewa) bawa karena memang sejak awal kelompok siluman hanya bermodal “awak sehat” saja. Cuaca bertambah semakin buruk malam harinya. Badai datang menerjang. Kami yang berada di tenda tak habis pikir tentang yang dialami kelompok siluman di atas sana karena kami sendiri menggigil hebat walau sudah menyalakan tungku paraffin.
Meskipun cuaca buruk, pendaki spiritual masih ada yang berkeliaran di sini mengingat bulan Januari kala itu bertepatan dengan bulan Suro, terlihat beberapa dari mereka membawa domba sebagai persembahan. Napak tilas persembahan ini terlihat di POS IV keesokan harinya ketika kami memutuskan untuk menuju puncak menyusul kelompok siluman.
Puncak Hargodumilah

Sesampainya di puncak, kami hanya berfoto-foto sebentar sebelum akhirnya memutuskan untuk turun. Untuk kedua kalinya mendaki gunung ini, aku belum pernah mendapat sunrise. Akan tetapi, ini adalah pendakian paling bersejarah karena merupakan cikal bakal berdirinya sebuah organisasi bernama TPS (Tim Pengejar Sunrise).
Bersambung…

1 Jul 2010

Resensi Perahu Kertas



Di tengah waktu lenggang yang ku punya dalam liburan ini, akhirnya aku sempatkan untuk membaca satu dari sekian banyak e-book yang tersimpan di dalam laptopku. Novel karya Dee yang berjudul Perahu-perahu Kertas kali ini menjadi menjadi pilihannya. Minggu lalu aku dapat novel ini dalam bentuk e-book setelah searching di internet. Berangkat dari rasa penasaran dari apa yang teman-teman spoilerkan, akhirnya novel ini selesai aku baca dalam 5 jam. Dua acungan jempol layaknya pantas diberikan kepada Dee yang mampu membuat jalan cerita dari karyanya ini benar-benar hidup sampai akhir.
Berikut reviewnya:
Novel ini secara garis besar menggambarkan kisah antara Kugy dan Keenan. Kugy adalah seorang yang punya mimpi untuk menjadi pendongeng. Keenan adalah seorang yang punya mimpi untuk menjadi pelukis. Keenan yang oleh ayahnya tidak direstui menjadi pelukis dipaksa untuk kuliah di jurusan manajemen pada salah satu PTN di Bandung selepas kepulangannya dari rumah neneknya di Belanda. Di Bandung, Keenan bertemu dengan Kugy, teman dekat Noni. Noni sendiri merupakan pacar dari sepupunya Keenan yang bernama Eko. Cinta memang masalah waktu ada benarnya juga, walaupun saat itu Kugy masih terikat hubungan dengan teman SMAnya yang bernama Ojos, kedua sedjoli itu akhirnya terlibat dalam kisah asmara yang menyelimuti persahabatan mereka berempat. Entah kenapa Keenan dan Kugy memilih untuk tidak mengungkapkan.

Novel ini lebih mengajarkan kepada kita tentang kejujuran hati dan penggapaian sebuah mimpi. Terlihat demi memenuhi obsesinya sebagai seorang pelukis, Keenan rela mengundurkan diri dari kuliahnya dan berpisah dari keluarganya untuk belajar menjadi pelukis di rumah teman lama Ibunya yang bernama Poyan di Ubud, Bali. Poyan yang punya galeri lukisan sendiri dianggap orang yang tepat bagi Keenan untuk belajar melukis. Di Bali, perlahan Keenan mulai menemukan cintanya yang bernama Luhde, keponakan Poyan. Kugy sendiri setelah lulus malah terlibat asmara dengan Remi, bosnya di tempat kerja. Ada satu hal yang oleh Kugy dan Keenan sadari, jika hati memang tak bisa berdusta. Cinta yang tak pernah mereka ungkapkan menjadi bumbu dalam setiap drama yang ada dalam novel ini. Dan Pada akhirnya hati adalah yang dipilih. Untuk mewujudkan mimpi sendiri, terkadang kita harus menjadi sesuatu yang bukan kita, demi bisa menjadi diri kita lagi.

Dalam novel ini, terlihat Dee memunculkan tokoh-tokoh yang sangat kentara sekali hubungannya, misalnya Remi yang notabenya adalah calon tunangan Kugy merupakan peminat lukisan-lukisan Keenan, baru pada akhir cerita mereka baru saling tahu satu sama lain. Dee juga sedikit menguraikan kisah asmara masa lalu tokoh-tokohnya. Lena, Ibunya Keenan, adalah pujaan hati Poyan ketika masih muda tetapi akhirnya harus berpisah, Poyan sendiri akhirnya tetap memilih hidup sendiri daripada harus mendustai hati. Kugy waktu SMP juga sempat ditaksir oleh Eko.
Untungnya novel ini berakhir heppi ending, sebenarnya gak heppi ending juga gak papa sih, toh ceritanya memang bagus, dan Layak untuk dibaca.

June, 2010